Rilis email oleh WikiLeaks memicu perdebatan dan memengaruhi persepsi publik terhadap kampanye Clinton. Sekalipun Hillary Clinton dan tim kampanyenya mengklaim bahwa rilis tersebut merupakan upaya untuk merusak reputasi mereka,
Sementara WikiLeaks berpendapat bahwa mereka hanya bertujuan untuk memberikan informasi yang relevan kepada publik, juga untuk mengedukasi.
Cerita soal tentang "game changer" juga mewarnai pilpres Perancis 2017. Emmanuel Macron menjadi "game changer" dengan membentuk partai sendiri sebagai ‘perahu’ politik.
Dengan Partai En Marche!, Macron berhasil memenangkan pemilihan. Sekalipun merupakan kandidat yang relatif baru dalam politik Perancis, ia berhasil mengatasi partai-partai tradisional yang telah lama berkuasa atau lama ada peta politik Perancis.
Pada tahun yang sama, dalam pilpres Korea Selatan 2017, Moon Jae-in pun menjadi "game changer" setelah menggantikan Presiden Park Geun-hye yang terlibat dalam skandal politik.
Moon Jae-in akhirnya memenangkan pemilihan dengan menjanjikan perubahan dan reformasi. Hal ini menjadi efektif setelah periode ketidakstabilan politik.
Begitu pula pada pilpres Brasil 2018, Jair Bolsonaro juga dianggap sebagai "game changer." Sebagai seorang tokoh militer yang kontroversial, Bolsonaro muncul dari latar belakang yang tidak biasa dan berhasil memenangkan dukungan dengan pesan-pesan kontroversial, namun efektif dalam menarik pemilih.
Peristiwa-peristiwa ini mencerminkan bagaimana faktor-faktor seperti figur, pesan kampanye, isu-isu kunci, dan perubahan dalam konteks politik nasional maupun lokal dapat menjadi "game changer" dalam pemilihan presiden di berbagai negara.
Kita di Indonesia juga punya pengalaman menarik soal faktor “game changer” ini. Dalam Pilpres 2014, kemenangannya Joko Widodo (Jokowi) dianggap sebagai "game changer."
Jokowi berlatar belakang wali kota kota kecil (Solo) dan kemudian Gubernur Jakarta, menawarkan citra kepemimpinan sederhana dan pro-rakyat. Kampanyenya yang inovatif dan dekat dengan masyarakat, turut mengubah paradigma politik di Indonesia saat itu.
Kemenangan Jokowi dalam pemilihan tersebut menandai transisi politik di Indonesia, dengan memunculkan pemimpin yang bukan berasal dari elitis politik tradisional.
Hal ini mencerminkan dorongan untuk perubahan dan partisipasi lebih besar dari kalangan rakyat dalam proses politik.
Setiap pemilihan memiliki dinamika sendiri, dan peristiwa yang mengubah permainan dapat bervariasi tergantung pada konteks politik dan faktor-faktor yang melatarinya.
Bisa saja soal tokoh maupun figur yang tampil, maupun isu, baik itu secara natural atau insiden politik yang bisa jadi adalah rekayasa dan by design.
Lantas bagaimana dengan Pilpres 2024 yang besok, pada 14 Januari, telah masuk hari pemilihan, menyusul pemilihan yang sudah dilakukan di TPS di luar negeri?