Asumsi dan persangkaan ini dengan sendirinya gugur karena nyatanya, Megawati tidak mendesakkan keinginan untuk menjadikan putrinya, Puan Maharani, menjadi calon presiden, mewakili PDI-P. Justru Ganjar Pranowo yang didapuk menjadi calon presiden dari PDI-P.
Pendirian kokoh seorang Mega untuk menjaga Konstitusi agar tidak dengan mudah diamandemen demi melayani kepentingan pribadi, tidak lepas dari pengalaman empiriknya yang getir di masa lalu.
Pada 2014, partainya menjadi pemenang nomor satu. Menurut Undang-Undang MPR, DPR, DPRD dan DPD saat itu, partai pemenang nomor 1 berhak mendapatkan posisi sebagai Ketua DPR RI.
Melalui persekongkolan sejumlah partai politik ketika itu, undang-undang tersebut mendadak direvisi. Partai pemenang tidak secara otomatis memperoleh jatah menjadi Ketua DPR RI.
Pupus sudah harapan Megawati menempatkan kader dan anaknya sendiri, Puan Maharani, menjadi Ketua DPR RI. Ia mengurut dada saja sembari beristigfar, beginilah politik nihil etika dan defisit moral dijalankan.
Cerita lain, menjelang pembentukan kabinet Jokowi-Jusuf Kalla pada 2014, JK mendatangi Megawati dan menawarkan tujuh posisi kabinet dari PDI-P karena jumlah perolehan suara partai dalam pemilu.
Megawati tidak memberi tujuh nama. Ia mengatakan cukup empat orang. Silahkan cari dari sumber yang lain. Ini berarti, Megawati berpolitik bukan sekadar mencari kuasa, tapi ingin membagi kuasa.
Maka, ia menolak untuk mengamandemen Konstitusi hanya untuk kepuasan orang perorang, bukan untuk kepentingan bangsa.
Ia sesak dan sakit ketika itu, tetapi tetap bersabar. Ia tak hendak membagi rasa sakit itu ke pihak lain sehingga ia menampik untuk mengubah Konstitusi secara mendadak.
Pengalaman empirik yang menyesakkan tersebut, membuat Mega selalu berbicara, termasuk malam itu, betapa urgennya kehidupan bangsa ini dilandasi dengan pertimbangan etika dan moralitas.
Konstitusi dan aturan main formal saja tidak cukup karena aturan tersebut bisa saja dibengkokkan sedemikian rupa atau dimarjinalkan.
Namun, kata Mega, etika dan moralitas melekat dalam diri tiap individu, terlepas ada tidaknya persetujuan bersama. Etika dan moralitas berlaku bagi siapa saja, bukan hanya berlaku bagi pihak-pihak yang menyetujui untuk diikat dalam kesepakatan.
Megawati dalam perspektif ini, paham dan mengalami betul, bagaimana prinsip etika dan moral itu sangat penting artinya dalam kehidupan politik.
Anda boleh mengakali aturan formal secara sistematis karena memanfaatkan celah, tetapi Anda tidak bisa mengibuli hati nurani Anda sendiri.
Masalahnya, wilayah jelajah hukum atau aturan formal, adalah penegakan tatanan kehidupan. Sementara wilayah edar prinsip moral dan etika adalah ketaatan batin, kepatuhan hati nurani. Adakah di antara kita yang mampu membohongi hati nurani itu?