Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hamid Awaludin

Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia.

Determinasi dan Air Mata Megawati

Kompas.com - 10/02/2024, 05:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TANGGAL 8 Februari 2024, malam hari, dalam acara Rosi, Kompas TV menayangkan wawancara eksklusif Megawati Soekarnoputri, Presiden RI ke-5 dan Ketua Umum PDI Perjuangan, dengan Rosiana Silalahi.

Saya, satu di antara sekian banyak pemirsa, terhenyak tak kepalang menyaksikan tuturan lancar dengan bahasa yang sangat encer dari seorang Megawati.

Mbak Mega, seolah berselancar tanpa hambatan. Ia bertutur dengan bahasa hati, tanpa beban sedikit pun. Rona wajahnya memperlihatkan muka seorang yang bebas mengutarakan perasaan dan kegalauannya.

Segalanya jadi terbuka. Ia sukses meyakinkan para pemirsa bahwa di pundaknya tak ada yang tersampir menghalangi kebebasannya bersuara dan berseru.

Alur pikirnya mengalir deras. Pilihan katanya sangat sederhana dan enteng dipahami. Segalanya jadi terang benderang. Tak ada yang diselubungi dan disarukan. Itulah khas Mbak Mega dalam politik Indonesia.

Rosiana, pewawancara, sangat sukses malam itu, membawa Mbak Mega ke pelataran, memaklumkan isi hati dan mendeklarasikan kegelisahannya.

Kata Mega, ada masa ia mendengar Presiden Jokowi ingin menambah masa jabatannya menjadi tiga periode. Saya kokoh dalam pendirian bahwa Konstitusi harus ditaati: hanya dua periode. Kalau bukan kita sendiri yang menaati Konstitusi, siapa lagi yang diharapkan menaatinya, tegas Mega malam itu.

Saya tahu, Konstitusi memang bisa diamandemen untuk memenuhi keinginan. Posisi saya jelas, jangan hanya karena ambisi kekuasaan kita harus mengutak atik Konstitusi. Kapan kita memiliki sistem yang baik bila selalu mau mengubah Konstitusi untuk melayani kepentingan pribadi. Konstitusi kita tegakkan sebagai panduan untuk kita melayani rakyat. Begitu jalan pikiran Mega.

Pernyataan itu, membuka selubung teka teki tentang hubungan Presiden Jokowi dengan Mbak Mega. Akar persilangan sikap politik antara Jokowi dan Mbak Mega bisa jadi, antara lain, dipicu dan bermula dari determinasi Mega untuk tidak melayani ambisi kekuasaan Jokowi tadi. Dan itu menimbulkan luka bagi seorang Jokowi.

Partai Mega, PDIP, memang pernah berniat dan beirkhtiar untuk mengamandemen Konstitusi dengan tujuan menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara supaya presiden tidak selalu mengubah-ubah program dan perencanaan.

Jalan pikiran PDI-P ketika itu, adalah menjaga stabilitas perencanaan pembangunan dan arah kemajuan bangsa.

Namun, atas inisiatif PDI-P, niat dan ikhtiar tersebut diurungkan. Megawati sangat khawatir bila amandemen Konstitusi untuk menghidupkan kembali GBHN, disusupi agenda lain, misalnya, keinginan memperpanjang masa jabatan presiden.

Di sinilah kebesaran hati seorang Mega yang menihilkan keinginan demi tegaknya Konstitusi.

Mega dalam konteks ini, lebih memilih mengorbankan kehendaknya dibanding mengutak-atik Konstitusi hanya untuk memuaskan selera individu. Determinasi Mega untuk merawat Konstitusi sangat teruji.

Mungkin saja ada yang berpendirian bahwa Megawati menolak mengamandemen Konstitusi untuk memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi, karena Megawati mempersiapkan putrinya sendiri untuk maju jadi calon presiden.

Asumsi dan persangkaan ini dengan sendirinya gugur karena nyatanya, Megawati tidak mendesakkan keinginan untuk menjadikan putrinya, Puan Maharani, menjadi calon presiden, mewakili PDI-P. Justru Ganjar Pranowo yang didapuk menjadi calon presiden dari PDI-P.

Pendirian kokoh seorang Mega untuk menjaga Konstitusi agar tidak dengan mudah diamandemen demi melayani kepentingan pribadi, tidak lepas dari pengalaman empiriknya yang getir di masa lalu.

Pada 2014, partainya menjadi pemenang nomor satu. Menurut Undang-Undang MPR, DPR, DPRD dan DPD saat itu, partai pemenang nomor 1 berhak mendapatkan posisi sebagai Ketua DPR RI.

Melalui persekongkolan sejumlah partai politik ketika itu, undang-undang tersebut mendadak direvisi. Partai pemenang tidak secara otomatis memperoleh jatah menjadi Ketua DPR RI.

Pupus sudah harapan Megawati menempatkan kader dan anaknya sendiri, Puan Maharani, menjadi Ketua DPR RI. Ia mengurut dada saja sembari beristigfar, beginilah politik nihil etika dan defisit moral dijalankan.

Cerita lain, menjelang pembentukan kabinet Jokowi-Jusuf Kalla pada 2014, JK mendatangi Megawati dan menawarkan tujuh posisi kabinet dari PDI-P karena jumlah perolehan suara partai dalam pemilu.

Megawati tidak memberi tujuh nama. Ia mengatakan cukup empat orang. Silahkan cari dari sumber yang lain. Ini berarti, Megawati berpolitik bukan sekadar mencari kuasa, tapi ingin membagi kuasa.

Maka, ia menolak untuk mengamandemen Konstitusi hanya untuk kepuasan orang perorang, bukan untuk kepentingan bangsa.

Ia sesak dan sakit ketika itu, tetapi tetap bersabar. Ia tak hendak membagi rasa sakit itu ke pihak lain sehingga ia menampik untuk mengubah Konstitusi secara mendadak.

Pengalaman empirik yang menyesakkan tersebut, membuat Mega selalu berbicara, termasuk malam itu, betapa urgennya kehidupan bangsa ini dilandasi dengan pertimbangan etika dan moralitas.

Konstitusi dan aturan main formal saja tidak cukup karena aturan tersebut bisa saja dibengkokkan sedemikian rupa atau dimarjinalkan.

Namun, kata Mega, etika dan moralitas melekat dalam diri tiap individu, terlepas ada tidaknya persetujuan bersama. Etika dan moralitas berlaku bagi siapa saja, bukan hanya berlaku bagi pihak-pihak yang menyetujui untuk diikat dalam kesepakatan.

Megawati dalam perspektif ini, paham dan mengalami betul, bagaimana prinsip etika dan moral itu sangat penting artinya dalam kehidupan politik.

Anda boleh mengakali aturan formal secara sistematis karena memanfaatkan celah, tetapi Anda tidak bisa mengibuli hati nurani Anda sendiri.

Masalahnya, wilayah jelajah hukum atau aturan formal, adalah penegakan tatanan kehidupan. Sementara wilayah edar prinsip moral dan etika adalah ketaatan batin, kepatuhan hati nurani. Adakah di antara kita yang mampu membohongi hati nurani itu?

Tatkala agenda interview malam itu, menyentuh masalah kebanggan jiwa sebagai bangsa Indonesia, Megawati tersedu-sedu. Ia menangis.

Kebanggan sebagai bangsa telah dipancangkan oleh para pendiri republik, dan mereka telah membayar segala harga untuk kebanggaan tersebut.

Tangis Mega dalam agenda yang sama, telah saya saksikan langsung ketika saya bertandang ke rumahnya, sepekan sebelumnya. Ia juga terisak-isak, membatin. Tiba-tiba saja terjadi kesenyapan ketika itu. Air matanya meleleh, membasahi pipinya.

Saya yakin, air mata Megawati yang meleleh pada saat berbicara tentang kebanggan sebagai bangsa Indonesia yang disaksikan lewat layar kaca, dan yang saya saksikan langsung dari jarak satu setengah meter, adalah air mata ketulusan buat bangsa ini.

Bukan air mata yang dipaksa untuk menghibur penonton, karena Megawati bukan pemain tonil (sandiwara). Ia bukan seorang artis yang ikut dengan skenario sutradara, berpura-pura menangis.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Nasional
Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Nasional
Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Nasional
Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Nasional
Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Nasional
Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Nasional
Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Nasional
Polri Setop Sementara Kirim Surat Tilang Lewat WhatsApp, Bakal Evaluasi Lebih Dulu

Polri Setop Sementara Kirim Surat Tilang Lewat WhatsApp, Bakal Evaluasi Lebih Dulu

Nasional
Selain Eko Patrio, PAN Juga Dorong Yandri Susanto Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran

Selain Eko Patrio, PAN Juga Dorong Yandri Susanto Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Fahira Idris Kecam Serangan di Rafah, Sebut Israel dan Sekutu Aib Peradaban Umat Manusia

Fahira Idris Kecam Serangan di Rafah, Sebut Israel dan Sekutu Aib Peradaban Umat Manusia

Nasional
PELNI Buka Lowongan Kerja Nahkoda dan KKM Periode Mei 2024

PELNI Buka Lowongan Kerja Nahkoda dan KKM Periode Mei 2024

Nasional
Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK

Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK

Nasional
Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Nasional
SYL Sebut Perjalanan Dinas Atas Perintah Presiden untuk Kepentingan 280 Juta Penduduk

SYL Sebut Perjalanan Dinas Atas Perintah Presiden untuk Kepentingan 280 Juta Penduduk

Nasional
DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com