Argumentasi ini diperkuat dengan contoh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika Pemilu 2014 mengajukan cuti untuk berkampanye bagi Partai Demokrat karena kapasitas beliau sebagai Ketua Umum.
Namun, yang perlu diingat, SBY tidak berkampanye untuk Prabowo-Hatta, meskipun pasangan itu didukung oleh Partai Demokrat.
Dalam konteks kampanye untuk calon presiden penerusnya, pernah dilakukan oleh Barrack Obama untuk Hillary Clinton. Obama jelas mendukung calon penerusnya yang berasal dari partai yang sama, yakni Partai Demokrat.
Namun menariknya, kampanye Obama untuk Hillary ini dinilai bersejarah karena sebelumnya tidak pernah seorang Presiden AS berkampanye total untuk mendukung penerusnya.
Bahkan ketika Al Gore mencalonkan diri pun, dia memilih untuk menjaga jarak dengan Bill Clinton, terutama pascakasus Clinton dengan Monica Lewinsky. Padahal Al Gore adalah wakil presiden pada masa itu.
Kritik ketiga adalah salah satu pasangan calon wakil presiden adalah Gibran Rakabuming Raka yang notabene adalah anak kandung Presiden Jokowi.
Apabila Jokowi memutuskan untuk berkampanye, besar kemungkinan akan mendukung pasangan Prabowo-Gibran. Padahal, pasangan ini juga tidak diusung oleh partai Jokowi, yakni PDI-Perjuangan sehingga akan menjadi preseden baru.
Apalagi proses pencalonan Gibran tidak lepas dari akrobat politik yang terjadi di MK dengan menghasilkan penambahan norma terhadap Pasal 169 huruf q UU Pemilu dan penjatuhan sanksi etik kepada Ketua MK. Oleh karena itu, ketiga kritik ini perlu dipertimbangkan dalam kerangka etika.
MPR Nomor VI/MPR/2001 telah memberikan pedoman etika terhadap etika sosial dan budaya; etika politik dan pemerintahan; etika ekonomi dan bisnis; etika penegakan hukum yang berkeadlian; etika keilmuan; dan etika lingkungan.
Dalam konteks ini, etika dalam politik dan pemerintahan yang dirasa telah banyak dilanggar oleh para pemangku kebijakan.
Etika politik dan pemerintahan bermaksud untuk mewujudkan pemerintahan bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggungjawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa.
Etika pemerintahan juga mengamanatkan agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara.
Dengan demikian, kita berharap nantinya setiap pejabat dan elite politik memiliki sikap jujur, amanah, sportif.
Siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijaknnya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Berbagai etika yang terdapat dalam TAP Nomor VI/MPR/2001 perlu diimplementasikan secara tegas dalam level UU.
Adanya RUU Etika Penyelenggara Negara dirasa penting agar penegakkan etika semakin kuat, khususnya untuk para penyelenggara negara.
Sejatinya, RUU ini telah masuk daftar Prolegnas 2020-2024, tetapi belum ada kepastian kapan pembahasannya. Padahal, persiapan pembentukan RUU ini telah lebih lama lagi.
Namun, RUU ini ternyata masih tersimpan dalam kotak pandora dan entah kapan kotak tersebut akan terbuka.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.