Dalam sumpah itu disebutkan bahwa presiden dan wakil presiden, atas nama Allah akan memenuhi kewajibannya dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.
Oleh karena itu, ketika seorang presiden atau wakil presiden melenceng dari garis konstitusi dan hukum, maka sejatinya dia telah melanggar sumpahnya, yang pertanggungjawabannya tidak hanya di dunia, tapi di akhirat karena bersumpah atas nama Allah.
Dalam konteks kebangsaan, etika dalam kehidupan berbangsa sangat penting sebagai acuan dasar bagaimana para penyelenggara negara menjalankan Pancasila dan UUD 1945 dalam koridor etika dan juga moralitas.
Untuk menguatkannya, Indonesia memiliki TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
Dalam pertimbangannya, disebutkan bahwa pengamalan etika kehidupan berbangsa diperlukan agar Indonesia mencapai tujuannya. Ditambah lagi, kini etika kehidupan berbangsa mengalami kemunduran sehingga turut terjadinya krisis multidimensi.
TAP MPR tersebut memang dibuat 2001 karena kondisi bangsa yang masih mencoba keluar dari krisis multidimensi saat itu. Namun, rasanya TAP MPR tersebut seolah menjadi relevan kembali bila dikaitkan dengan kondisi bangsa saat ini.
Contohnya, jumlah kasus korupsi yang ditangani KPK kurun waktu 2004 – 2022 sebanyak 1.351 kasus dengan mayoritas dilakukan di instansi pemerintah kabupaten/kota sebanyak 548 kasus dan diikuti oleh instansi kementerian/lembaga dan pemeritah provinsi masing-masing 422 kasus dan 174 kasus. Bahkan, rentang Januari – Oktober 2023, KPK telah menangani setidaknya 85 kasus.
Selain kasus korupsi, yang tidak kalah adalah kasus etik hakim konstitusi. Dalam memutus perkara pengujian UU Pemilu dengan putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, Majelis Kehormatan MK memutuskan hakim konstitusi mendapatkan teguran lisan maupun tertulis.
Yang paling berat adalah pemberhentian Anwar Usman dari jabatan Ketua MK melalui Putusan MKMK Nomor 02/MKMK/L/11/2023.
Anwar terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan untuk para hakim MK.
Terkini, permasalahan etik juga mengancam Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam salah satu kesempatan, Presiden Jokowi menyatakan bahwa dalam Pasal 299 UU Pemilu, presiden dan wakil presiden memiliki hak untuk kampanye.
Pasal tersebut juga diperkuat dengan Pasal 281 ayat (1) yang memperbolehkan pejabat negara dan daerah ikut kegiatan kampanye selama tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara, serta menjalani cuti luar tanggungan negara.
Namun demikian, penggunaan pasal ini menimbulkan kritik dari banyak pihak. Pertama, dalam kapasitasnya sebagai Presiden, Jokowi tentu akan sangat sulit untuk tidak menggunakan fasilitas negara atau bahkan berpotensi melakukan “kampanye” dengan menggunakan fasilitas negara dalam rangka kunjungan kerja ke daerah.
Kedua, penafsiran atas bolehnya presiden kampanye juga menimbulkan perdebatan. Membolehkannya presiden berkampanye karena kapasitas beliau sebagai calon petahana; mendukung partai politiknya; atau mendukung calon presiden yang dicalonkan oleh partai politiknya.
Hal tersebut tidak sesuai dengan kondisi Presiden Jokowi saat ini: beliau tidak dapat lagi mencalonkan diri dan tidak sedang berkampanye untuk partainya.