Selain itu, perlunya peningkatan pemahaman tentang keanekaragaman budaya dan penghormatan terhadap hak-hak setiap individu dapat menjadi landasan kuat bagi kesadaran berbangsa yang berkemajuan—tentu dengan berbagai kegiatan positif untuk mengaplikasikannya.
Dengan langkah nyata, termasuk reformasi politik, pendidikan, dan partisipasi aktif masyarakat, kita dapat bersama-sama mengatasi tantangan ini dan membangun Indonesia yang kokoh dalam keragaman.
Kesadaran berbangsa bukanlah tujuan akhir, melainkan perjalanan panjang menuju persatuan yang semakin erat dan kokoh.
Kandungan Ibu Pertiwi kali ini, rupanya perlu mendapat penanganan khusus. Sebab di dalam rahimnya bersemayam seorang pemimpin berikutnya yang akan melanjutkan tongkat estafet kepresidenan yang ke delapan.
Namun sepertinya ada gelagat, seolah ia tak bisa melahirkan secara normal— dan harus ada upaya sesar.
Mengapa? Kalau tidak disesar, maka bayi yang suci dengan potensi baik tidak akan lahir dan akan mati bersama ibunya. Kalaulah iya, maka dokter sesarnya harus sang resi agung berhati bersih dengan budi pekerti yang luhur.
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia pada 2024, jadi Pemilu ke-13 bagi kita. Berbeda jauh dengan Pemilu perdana pada 1955 yang tercatat sebagai paling demokratis, Pemilu kali ini diwarnai begitu banyak peristiwa dan praktik mencengangkan—yang terpampang secara gamblang dan sulit terpahami secara lugas, entah karena apa.
Lucunya, melihat kehebohan dan kemusykilan yang berlangsung itu, bangsa kita nyaris tak bisa berbuat apa-apa, kecuali menelan ludah bolak-balik.
Semua piranti yang ada, seolah tak sadar dan digerakkan untuk melanggengkan drama fenomenal hasrat dan melibas asumsi, sakwasangka dan pemikiran siapa pun yang mengamatinya.
Terkait itu, sejatinya kita sudah punya preseden yang bagus. Pada 1 Desember 1956, Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai wakil presiden—setelah dua kali melayangkan surat pengunduran diri kepada Ketua DPR, Sartono.
Apa pasal? Ia mengaku tak lagi seiring jalan dengan Bung Karno selaku presiden—yang kala itu hanya berpusat pada dirinya sendiri (egosentris).
Sayangnya, teladan sebagus itu tak lagi jadi pedoman dan seakan tak digubris para putra terbaik yang menjadi kontestan dan pengusungnya saat ini.
Mereka seolah menganggap posisi strategisnya, diyakini dengan iman yang kuat, tidak akan menimbulkan konflik kepentingan.
Meskipun kenyataan yang terjadi, justru sebaliknya... Ehm, fenomena pelangi yang luar biasa dan para penidur yang tersadar pun hanya kaget dan tergagap dengan bergumam—memang boleh?
Pemilu paling kiwari yang sedang kita gelar tahun ini, tentu menjadi momen krusial dalam perjalanan demokrasi bangsa, menyongsong Indonesia Emas 2045.