Lebih celaka lagi terkesan dimaklumi, bahkan diamini oleh sebagian publik, termasuk kaum terdidik-terpelajar. Hal ini sangat membahayakan kebudayaan, karena menciptakan ketidakpastian sistem sosial, termasuk meritokrasi.
Padahal, menilik semangat dan cita-cita para pendiri bangsa, kebudayaan Indonesia didesain sebagai kebudayaan modern yang berlandaskan hukum dan etika. Bukan kebudayaan yang membiarkan kekuasaan bertindak sewenang-wenang.
Para pendiri bangsa memilih negara hukum dengan sistem demokrasi, bukan negara kekuasaan, karena kekuasaan yang tak dibatasi oleh hukum akan cenderung sewenang-wenang.
Sejak awal Indonesia berdiri sudah menolak kekuasaan yang sewenang-wenang, yang terbukti menyengsarakan banyak orang.
Kedua, nepotisme dan politik dinasti mendapatkan pembenaran kembali. Saat Orde Baru dikritik keras, karena dipandang sebagai bagian dari ketidakadilan. Ternyata kini justru ditempuh dan dicari-cari pembenarannya.
Tak ada larangan bagi setiap warga negara, termasuk kerabat presiden, menteri, gubernur, bupati, untuk menjadi pemimpin politik. Yang dikritik dari sudut kebudayaan, nepotisme dan politik dinasti cenderung menghalang-halangi pihak lain, bertentangan dengan prinsip demokrasi dan keadilan yang diperjuangkan dalam kebudayaan Indonesia.
Hal ini tampak sekali dari perkataan dan sikap Presiden Jokowi terkait putranya sebagai cawapres nomor urut 2. Jokowi kerap inkonsisten dan hipokrit. Antara yang dipidatokan dan dikerjakan kerap bertolak belakang.
Mustahil Jokowi akan melepas sang putra untuk menjalani kontestasi secara bebas, jujur, dan adil tanpa menghalang-halangi pihak lain. Jokowi, saya kira, akan terus dibayangi kekalahan pasangan sang putra dengan segenap akibat politiknya.
Bayangan itu akan terus mengganggunya, sehingga mustahil Jokowi akan diam. Kekuasaan yang masih di tangannya berpotensi disalahgunakan untuk memenangkan pasangan sang putra.
Ketiga, politik tirani, sentralisme dan totalitarianisme kekuasaan dikhawatirkan akan kembali dipraktikkan oleh penguasa. Politik tirani, sentralisme dan totalitarianisme tak lain adalah politik penyeragaman yang cenderung menggunakan kekerasan.
Proses politik Pilpres 2024, sebagaimana diuraikan di atas, membuat legitimasi hasilnya lemah. Belajar dari Orde Baru, kekuasaan yang legitimasinya lemah cenderung mengambil jalan tirani dan kekerasan.
Maka, hasil Pilpres 2024 berpotensi besar memproduksi konflik dan kekerasan serta mengancam integrasi sosial.
Tentu saja tak sejalan dengan tendensi bangsa Indonesia untuk memperbaiki kehidupannya. Tak sejalan dengan kebudayaan Indonesia yang diharapkan.
Masalah besar dan krusial tersebut justru sangat bertentangan dengan semangat dan arah revolusi mental yang digaungkan Presiden Jokowi sejak periode pertama.
Revolusi mental mestinya diawali dari pemimpin dan elite bangsa sebagai teladan. Revolusi mental mestinya menghasilkan optimisme bangsa dalam menatap masa depan.
Karena kekuasaan, Jokowi telah melupakan gagasannya sendiri, revolusi mental, yang saat itu mengundang kekaguman sebagian besar rakyat. Tapi, sayang sekali justru Jokowi sendiri yang menjauhkannya dari kenyataan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.