Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andang Subaharianto
Dosen

Antropolog, dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, Rektor UNTAG Banyuwangi, Sekjen PERTINASIA (Perkumpulan Perguruan Tinggi Nasionalis Indonesia)

Proses Politik Pilpres 2024: Kritik Kebudayaan

Kompas.com - 01/02/2024, 08:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Begitu pula Presiden Megawati Soekarnoputri memberikan dukungan dengan Keppres Nomor 19 Tahun 2002, yang meresmikan Hari Raya Imlek sebagai salah satu hari libur nasional.

Dampak negatif praktik politik Orde Baru sangat serius dan mendalam dari sudut kebudayaan. Kita kehilangan ruang belajar kebudayaan tiga dasawarsa lebih.

Belajar kebudayaan mengandaikan adanya refleksi dari hubungan antarteks. Kreativitas tak akan tumbuh dari teks yang tunggal, yang monolitik. Ruang belajar kebudayaan harus berisi persilangan antarteks agar muncul refleksi, sintesis-sintesis dari persilangan itu.

Sejarah kebudayaan negeri ini mengajarkannya. Epos Ramayana dan Mahabarata dari India tidak diterjemahkan secara langsung begitu saja oleh para pujangga dahulu, melainkan dialih-ubah secara kreatif.

Diterjemahkan dengan memasukkan perspektif lokal. Umar Kayam (1989) menyebutnya proses “indonesianisasi” dari pengaruh peradaban India, bukan “indianisasi”.

Sejarah Indonesia modern pun mengajarkan. Nasionalisme yang melahirkan bangsa Indonesia tumbuh dari refleksi hubungan antarteks. Pancasila sebagai dasar negara dari sudut kebudayaan merupakan efek hubungan antarteks.

Pancasila bukan tumbuh dari warisan nenek moyang, juga bukan contekan Barat. Warisan nenek moyang dikritik, karena feodalismenya. Barat pun dikritik, karena penjajahannya.

Namun, demi kekuasan, Orde Baru menutup ruang belajar kebudayaan. Orde Baru tak mengizinkan persilangan antarteks. Teks yang beredar dan dibaca publik adalah teks yang monolitik, teks yang hanya memuja-muja dan melegitimasi rezim.

Dampaknya sangat luar biasa, bahkan masih terasa hingga kini. Meski era reformasi sebagai koreksi total atas praktik politik Orde Baru sudah berusia 25 tahun.

Kemampuan adaptasi dan belajar kita sebagai bangsa untuk terus memperbaiki kehidupan terasa jalan di tempat (involusi), bahkan mundur. Era reformasi tak mampu menumbuhkan kesadaran kritis bangsa.

Kita terkesan tak mampu memilah-memilih kebudayaan yang baik dan bermutu bagi kehidupan manusia Indonesia.

Revolusi mental yang digaungkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak awal menjabat presiden terasa tak berbekas. Revolusi mental berhenti sebagai jargon tanpa makna.

Masalah besar dan krusial

Hal itu terlihat nyata pada proses politik Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Proses Pilpres 2024 sama sekali tak mewariskan hal positif dari sudut kebudayaan. Justru sebaliknya berpotensi mendegradasi perkembangan kebudayaan Indonesia.

Banyak persoalan politik di sekitar pemilu yang masih problematis dari sudut kebudayaan, misalnya soal politik uang. Sementara itu, proses politik Pilpres 2024 justru mewariskan sejumlah masalah besar dan krusial dari sisi kebudayaan.

Pertama, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah syarat capres dan cawapres, yang melibatkan Anwar Usman, paman Gibran Rakabuming Raka (putra sulung Presiden Jokowi) selaku ketua MK.

Putusan itu berujung pada pemberhentian Anwar Usman dari jabatan ketua MK oleh Majelis Kehormatan MK (MKMK).

Anwar Usman dinilai telah melakukan pelanggaran etik berat, karena ikut mengadili norma yang menguntungkan keponakannya, Gibran Rakabuming Raka. Melalui putusan tersebut, Gibran lalu berhasil menjadi cawapres Prabowo Subianto dengan nomor urut 2.

Putusan MK tersebut meninggalkan noda hitam kebudayaan: ketidaktaatan pada hukum dan etika. Di usia reformasi yang sudah 25 tahun ini ternyata kekuasaan masih bisa mengotak-atik hukum dan etika yang mestinya ditaati.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com