Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andang Subaharianto
Dosen

Antropolog, dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, Rektor UNTAG Banyuwangi, Sekjen PERTINASIA (Perkumpulan Perguruan Tinggi Nasionalis Indonesia)

Proses Politik Pilpres 2024: Kritik Kebudayaan

Kompas.com - 01/02/2024, 08:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

INTI kebudayaan adalah cara hidup manusia secara bersama. Kebudayaan terbentuk berkat tendensi manusia untuk selalu memperbaiki kehidupannya. Hari ini mestilah lebih baik daripada kemarin. Hari esok mestilah lebih baik daripada hari ini.

Kehidupan yang diperbaiki meliputi kehidupan lahir dan batin, material dan imaterial. Manusia tidak cukup memenuhi pangan, sandang, dan papan. Manusia butuh pula rasa aman dan nyaman. Butuh pula pengakuan dan penghargaan.

Bahkan, Alex Honneth, pemikir generasi ketiga Mazhab Frankfurt, menempatkan pengakuan (rekognisi) sebagai dasar penataan masyarakat. Tanpa rekognisi yang baik, berimbang, dinamika masyarakat hanya akan menghasilkan malapetaka.

Kehidupan tak lain adalah arena perjuangan untuk memperoleh pengakuan (struggle for recognition). Pengakuan tentang hak-hak dan identitas, baik individu maupun kelompok sosial.

Berbagai konflik sosial, di mata Honneth, tak lain adalah perjuangan untuk memperoleh pengakuan. Maka, keadilan bukan sekadar distribusi ekonomi yang merata, bukan “economic equality”.

Keadilan adalah situasi tatkala seseorang atau kelompok sosial mendapatkan pengakuan dan penghargaan tentang hak-hak dan martabatnya; perlakuan yang sama kepada seseorang atau kelompok sosial yang berbeda-beda.

Ruang belajar kebudayaan

Ada dua kata kunci terkait kebudayaan, yakni adaptasi dan belajar. Adaptasi merupakan cara dan kemampuan manusia merespons lingkungannya untuk bertahan hidup.

Kemampuan beradaptasi terbentuk melalui proses belajar. Tak ada kebudayaan diwariskan melalui transmisi biologis. Kebudayaan tumbuh dan berkembang melalui proses belajar.

Karena itu, ruang belajar kebudayaan menjadi penting. Apakah setiap manusia dapat merespons lingkungannya tanpa halangan-halangan?

Apakah setiap manusia dapat mengekspresikan sesuatu yang dipandang baik dan bernilai tanpa dibayangi ketakutan-ketakutan? Jawabannya berada pada ruang belajar kebudayaan.

Atas dasar itulah praktik politik Orde Baru waktu itu dikritik keras. Konsolidasi kekuasaannya berimplikasi pada penyempitan ruang belajar kebudayaan.

Orde Baru bukan hanya anti-oposisi, tapi juga memberangus kebebasan berpendapat. Pikiran lain dilarang. Sejumlah media massa dibredel, karena memberi tempat pikiran lain.

Tidak sedikit buku dilarang atau ditarik dari peredaran, meskipun buku akademik, buku sastra. Karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang dikagumi dunia justru susah dicari di negerinya.

Saya masih ingat betul waktu itu. Untuk menghabiskan novel Pram yang berjudul “Bumi Manusia”, jantung harus berdegup kencang, karena dibayangi ketakutan. Jangan-jangan ada aparat negara yang membuntuti dan siap menangkap. Maklum, novel-novel Pram termasuk yang dilarang.

Hal itu bertolak belakang dengan pandangan seorang profesor dari negeri K-Pop, Koh Young Hun (2014). Ahli sastra dari Hankuk University, Korea Selatan itu justru menempatkan Pram sebagai salah satu ikon penting Indonesia. Pram sangat membantu memperkenalkan konten Indonesia ke dunia luar.

Dunia mengapresiasi Pram, karena kualitas pemikiran kemanusiaannya. Pramoedya, kata Koh Young Hun (2014), mengembara dari dunia kekecewaan (dunia nyata yang menjadi halangan) ke dunia harapan (dunia impian yang memberi semangat rakyat dan bangsanya sendiri). Namun, Pram dianggap hantu oleh penguasa Orde Baru.

Bukan hanya pelarangan pemikiran, melalui Inpres Nomor 14 Tahun 1967, Orde Baru juga melarang orang-orang Tionghoa mengekspresikan keyakinannya. Tak ada peringatan Hari Raya Imlek, apalagi libur nasional, sepanjang pemerintahan Orde Baru.

Saya yakin, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mencabut larangan itu melalui Keppres Nomor 6 Tahun 2000 bukan sekadar pertimbangan politik, tapi juga kebudayaan.

Begitu pula Presiden Megawati Soekarnoputri memberikan dukungan dengan Keppres Nomor 19 Tahun 2002, yang meresmikan Hari Raya Imlek sebagai salah satu hari libur nasional.

Dampak negatif praktik politik Orde Baru sangat serius dan mendalam dari sudut kebudayaan. Kita kehilangan ruang belajar kebudayaan tiga dasawarsa lebih.

Belajar kebudayaan mengandaikan adanya refleksi dari hubungan antarteks. Kreativitas tak akan tumbuh dari teks yang tunggal, yang monolitik. Ruang belajar kebudayaan harus berisi persilangan antarteks agar muncul refleksi, sintesis-sintesis dari persilangan itu.

Sejarah kebudayaan negeri ini mengajarkannya. Epos Ramayana dan Mahabarata dari India tidak diterjemahkan secara langsung begitu saja oleh para pujangga dahulu, melainkan dialih-ubah secara kreatif.

Diterjemahkan dengan memasukkan perspektif lokal. Umar Kayam (1989) menyebutnya proses “indonesianisasi” dari pengaruh peradaban India, bukan “indianisasi”.

Sejarah Indonesia modern pun mengajarkan. Nasionalisme yang melahirkan bangsa Indonesia tumbuh dari refleksi hubungan antarteks. Pancasila sebagai dasar negara dari sudut kebudayaan merupakan efek hubungan antarteks.

Pancasila bukan tumbuh dari warisan nenek moyang, juga bukan contekan Barat. Warisan nenek moyang dikritik, karena feodalismenya. Barat pun dikritik, karena penjajahannya.

Namun, demi kekuasan, Orde Baru menutup ruang belajar kebudayaan. Orde Baru tak mengizinkan persilangan antarteks. Teks yang beredar dan dibaca publik adalah teks yang monolitik, teks yang hanya memuja-muja dan melegitimasi rezim.

Dampaknya sangat luar biasa, bahkan masih terasa hingga kini. Meski era reformasi sebagai koreksi total atas praktik politik Orde Baru sudah berusia 25 tahun.

Kemampuan adaptasi dan belajar kita sebagai bangsa untuk terus memperbaiki kehidupan terasa jalan di tempat (involusi), bahkan mundur. Era reformasi tak mampu menumbuhkan kesadaran kritis bangsa.

Kita terkesan tak mampu memilah-memilih kebudayaan yang baik dan bermutu bagi kehidupan manusia Indonesia.

Revolusi mental yang digaungkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak awal menjabat presiden terasa tak berbekas. Revolusi mental berhenti sebagai jargon tanpa makna.

Masalah besar dan krusial

Hal itu terlihat nyata pada proses politik Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Proses Pilpres 2024 sama sekali tak mewariskan hal positif dari sudut kebudayaan. Justru sebaliknya berpotensi mendegradasi perkembangan kebudayaan Indonesia.

Banyak persoalan politik di sekitar pemilu yang masih problematis dari sudut kebudayaan, misalnya soal politik uang. Sementara itu, proses politik Pilpres 2024 justru mewariskan sejumlah masalah besar dan krusial dari sisi kebudayaan.

Pertama, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah syarat capres dan cawapres, yang melibatkan Anwar Usman, paman Gibran Rakabuming Raka (putra sulung Presiden Jokowi) selaku ketua MK.

Putusan itu berujung pada pemberhentian Anwar Usman dari jabatan ketua MK oleh Majelis Kehormatan MK (MKMK).

Anwar Usman dinilai telah melakukan pelanggaran etik berat, karena ikut mengadili norma yang menguntungkan keponakannya, Gibran Rakabuming Raka. Melalui putusan tersebut, Gibran lalu berhasil menjadi cawapres Prabowo Subianto dengan nomor urut 2.

Putusan MK tersebut meninggalkan noda hitam kebudayaan: ketidaktaatan pada hukum dan etika. Di usia reformasi yang sudah 25 tahun ini ternyata kekuasaan masih bisa mengotak-atik hukum dan etika yang mestinya ditaati.

Lebih celaka lagi terkesan dimaklumi, bahkan diamini oleh sebagian publik, termasuk kaum terdidik-terpelajar. Hal ini sangat membahayakan kebudayaan, karena menciptakan ketidakpastian sistem sosial, termasuk meritokrasi.

Padahal, menilik semangat dan cita-cita para pendiri bangsa, kebudayaan Indonesia didesain sebagai kebudayaan modern yang berlandaskan hukum dan etika. Bukan kebudayaan yang membiarkan kekuasaan bertindak sewenang-wenang.

Para pendiri bangsa memilih negara hukum dengan sistem demokrasi, bukan negara kekuasaan, karena kekuasaan yang tak dibatasi oleh hukum akan cenderung sewenang-wenang.

Sejak awal Indonesia berdiri sudah menolak kekuasaan yang sewenang-wenang, yang terbukti menyengsarakan banyak orang.

Kedua, nepotisme dan politik dinasti mendapatkan pembenaran kembali. Saat Orde Baru dikritik keras, karena dipandang sebagai bagian dari ketidakadilan. Ternyata kini justru ditempuh dan dicari-cari pembenarannya.

Tak ada larangan bagi setiap warga negara, termasuk kerabat presiden, menteri, gubernur, bupati, untuk menjadi pemimpin politik. Yang dikritik dari sudut kebudayaan, nepotisme dan politik dinasti cenderung menghalang-halangi pihak lain, bertentangan dengan prinsip demokrasi dan keadilan yang diperjuangkan dalam kebudayaan Indonesia.

Hal ini tampak sekali dari perkataan dan sikap Presiden Jokowi terkait putranya sebagai cawapres nomor urut 2. Jokowi kerap inkonsisten dan hipokrit. Antara yang dipidatokan dan dikerjakan kerap bertolak belakang.

Mustahil Jokowi akan melepas sang putra untuk menjalani kontestasi secara bebas, jujur, dan adil tanpa menghalang-halangi pihak lain. Jokowi, saya kira, akan terus dibayangi kekalahan pasangan sang putra dengan segenap akibat politiknya.

Bayangan itu akan terus mengganggunya, sehingga mustahil Jokowi akan diam. Kekuasaan yang masih di tangannya berpotensi disalahgunakan untuk memenangkan pasangan sang putra.

Ketiga, politik tirani, sentralisme dan totalitarianisme kekuasaan dikhawatirkan akan kembali dipraktikkan oleh penguasa. Politik tirani, sentralisme dan totalitarianisme tak lain adalah politik penyeragaman yang cenderung menggunakan kekerasan.

Proses politik Pilpres 2024, sebagaimana diuraikan di atas, membuat legitimasi hasilnya lemah. Belajar dari Orde Baru, kekuasaan yang legitimasinya lemah cenderung mengambil jalan tirani dan kekerasan.

Maka, hasil Pilpres 2024 berpotensi besar memproduksi konflik dan kekerasan serta mengancam integrasi sosial.

Tentu saja tak sejalan dengan tendensi bangsa Indonesia untuk memperbaiki kehidupannya. Tak sejalan dengan kebudayaan Indonesia yang diharapkan.

Masalah besar dan krusial tersebut justru sangat bertentangan dengan semangat dan arah revolusi mental yang digaungkan Presiden Jokowi sejak periode pertama.

Revolusi mental mestinya diawali dari pemimpin dan elite bangsa sebagai teladan. Revolusi mental mestinya menghasilkan optimisme bangsa dalam menatap masa depan.

Karena kekuasaan, Jokowi telah melupakan gagasannya sendiri, revolusi mental, yang saat itu mengundang kekaguman sebagian besar rakyat. Tapi, sayang sekali justru Jokowi sendiri yang menjauhkannya dari kenyataan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ahli Sebut Keawetan dan Usia Tol MBZ Berkurang karena Spesifikasi Material Diubah

Ahli Sebut Keawetan dan Usia Tol MBZ Berkurang karena Spesifikasi Material Diubah

Nasional
PKB Siapkan Ida Fauziyah Jadi Kandidat Cagub Jakarta, Bukan Anies

PKB Siapkan Ida Fauziyah Jadi Kandidat Cagub Jakarta, Bukan Anies

Nasional
PKB Akui Pertimbangkan Airin Jadi Bacagub di Pilkada Banten 2024

PKB Akui Pertimbangkan Airin Jadi Bacagub di Pilkada Banten 2024

Nasional
Bantah Dapat Jatah 4 Menteri dari Prabowo, PAN: Jangan Tanggung-tanggung, 6 Lebih Masuk Akal

Bantah Dapat Jatah 4 Menteri dari Prabowo, PAN: Jangan Tanggung-tanggung, 6 Lebih Masuk Akal

Nasional
Kisah Runiti Tegar Berhaji meski Suami Meninggal di Embarkasi

Kisah Runiti Tegar Berhaji meski Suami Meninggal di Embarkasi

Nasional
Jokowi Mengaku Tak Bahas Rencana Pertemuan dengan Megawati Saat Bertemu Puan di Bali

Jokowi Mengaku Tak Bahas Rencana Pertemuan dengan Megawati Saat Bertemu Puan di Bali

Nasional
Soal Efek Samping Vaksin AstraZeneca, Menkes Sebut WHO Sudah Ingatkan Risikonya

Soal Efek Samping Vaksin AstraZeneca, Menkes Sebut WHO Sudah Ingatkan Risikonya

Nasional
Kemendikbud Akan Turun Periksa Kenaikan UKT, Komisi X DPR: Semoga Bisa Jawab Kegelisahan Mahasiswa

Kemendikbud Akan Turun Periksa Kenaikan UKT, Komisi X DPR: Semoga Bisa Jawab Kegelisahan Mahasiswa

Nasional
TII Serahkan Petisi Pansel KPK, Presiden Jokowi Didesak Pilih Sosok Berintegritas

TII Serahkan Petisi Pansel KPK, Presiden Jokowi Didesak Pilih Sosok Berintegritas

Nasional
Dilaporkan Nurul Ghufron ke Polisi, Ketua Dewas KPK: Ini Tidak Mengenakkan

Dilaporkan Nurul Ghufron ke Polisi, Ketua Dewas KPK: Ini Tidak Mengenakkan

Nasional
Tak Takut Dilaporkan ke Bareskrim, Dewas KPK: Orang Sudah Tua, Mau Diapain Lagi Sih?

Tak Takut Dilaporkan ke Bareskrim, Dewas KPK: Orang Sudah Tua, Mau Diapain Lagi Sih?

Nasional
Kemendikbud Kini Sebut Pendidikan Tinggi Penting, Janji Buka Akses Luas untuk Publik

Kemendikbud Kini Sebut Pendidikan Tinggi Penting, Janji Buka Akses Luas untuk Publik

Nasional
26 Tahun Reformasi, Aktivis 98 Pajang Nisan Peristiwa dan Nama Korban Pelanggaran HAM

26 Tahun Reformasi, Aktivis 98 Pajang Nisan Peristiwa dan Nama Korban Pelanggaran HAM

Nasional
Permohonan Dinilai Kabur, MK Tak Dapat Terima Gugatan Gerindra Terkait Dapil Jabar 9

Permohonan Dinilai Kabur, MK Tak Dapat Terima Gugatan Gerindra Terkait Dapil Jabar 9

Nasional
Dewas KPK Heran Dilaporkan Ghufron ke Bareskrim Polri

Dewas KPK Heran Dilaporkan Ghufron ke Bareskrim Polri

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com