INTI kebudayaan adalah cara hidup manusia secara bersama. Kebudayaan terbentuk berkat tendensi manusia untuk selalu memperbaiki kehidupannya. Hari ini mestilah lebih baik daripada kemarin. Hari esok mestilah lebih baik daripada hari ini.
Kehidupan yang diperbaiki meliputi kehidupan lahir dan batin, material dan imaterial. Manusia tidak cukup memenuhi pangan, sandang, dan papan. Manusia butuh pula rasa aman dan nyaman. Butuh pula pengakuan dan penghargaan.
Bahkan, Alex Honneth, pemikir generasi ketiga Mazhab Frankfurt, menempatkan pengakuan (rekognisi) sebagai dasar penataan masyarakat. Tanpa rekognisi yang baik, berimbang, dinamika masyarakat hanya akan menghasilkan malapetaka.
Kehidupan tak lain adalah arena perjuangan untuk memperoleh pengakuan (struggle for recognition). Pengakuan tentang hak-hak dan identitas, baik individu maupun kelompok sosial.
Berbagai konflik sosial, di mata Honneth, tak lain adalah perjuangan untuk memperoleh pengakuan. Maka, keadilan bukan sekadar distribusi ekonomi yang merata, bukan “economic equality”.
Keadilan adalah situasi tatkala seseorang atau kelompok sosial mendapatkan pengakuan dan penghargaan tentang hak-hak dan martabatnya; perlakuan yang sama kepada seseorang atau kelompok sosial yang berbeda-beda.
Ada dua kata kunci terkait kebudayaan, yakni adaptasi dan belajar. Adaptasi merupakan cara dan kemampuan manusia merespons lingkungannya untuk bertahan hidup.
Kemampuan beradaptasi terbentuk melalui proses belajar. Tak ada kebudayaan diwariskan melalui transmisi biologis. Kebudayaan tumbuh dan berkembang melalui proses belajar.
Karena itu, ruang belajar kebudayaan menjadi penting. Apakah setiap manusia dapat merespons lingkungannya tanpa halangan-halangan?
Apakah setiap manusia dapat mengekspresikan sesuatu yang dipandang baik dan bernilai tanpa dibayangi ketakutan-ketakutan? Jawabannya berada pada ruang belajar kebudayaan.
Atas dasar itulah praktik politik Orde Baru waktu itu dikritik keras. Konsolidasi kekuasaannya berimplikasi pada penyempitan ruang belajar kebudayaan.
Orde Baru bukan hanya anti-oposisi, tapi juga memberangus kebebasan berpendapat. Pikiran lain dilarang. Sejumlah media massa dibredel, karena memberi tempat pikiran lain.
Tidak sedikit buku dilarang atau ditarik dari peredaran, meskipun buku akademik, buku sastra. Karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang dikagumi dunia justru susah dicari di negerinya.
Saya masih ingat betul waktu itu. Untuk menghabiskan novel Pram yang berjudul “Bumi Manusia”, jantung harus berdegup kencang, karena dibayangi ketakutan. Jangan-jangan ada aparat negara yang membuntuti dan siap menangkap. Maklum, novel-novel Pram termasuk yang dilarang.
Hal itu bertolak belakang dengan pandangan seorang profesor dari negeri K-Pop, Koh Young Hun (2014). Ahli sastra dari Hankuk University, Korea Selatan itu justru menempatkan Pram sebagai salah satu ikon penting Indonesia. Pram sangat membantu memperkenalkan konten Indonesia ke dunia luar.
Dunia mengapresiasi Pram, karena kualitas pemikiran kemanusiaannya. Pramoedya, kata Koh Young Hun (2014), mengembara dari dunia kekecewaan (dunia nyata yang menjadi halangan) ke dunia harapan (dunia impian yang memberi semangat rakyat dan bangsanya sendiri). Namun, Pram dianggap hantu oleh penguasa Orde Baru.
Bukan hanya pelarangan pemikiran, melalui Inpres Nomor 14 Tahun 1967, Orde Baru juga melarang orang-orang Tionghoa mengekspresikan keyakinannya. Tak ada peringatan Hari Raya Imlek, apalagi libur nasional, sepanjang pemerintahan Orde Baru.
Saya yakin, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mencabut larangan itu melalui Keppres Nomor 6 Tahun 2000 bukan sekadar pertimbangan politik, tapi juga kebudayaan.