Segala keindahan itu terasa paripurna dengan ramah senyum para penduduk. Senyum manis yang membuat para pendatang, boleh jadi, mengira hidup di Banda Neira dijalani tanpa lara.
Ganjar kaget alang-kepalang ketika berkeliling dan menemui seorang ibu pedagang mengeluh harga beras mencapai lebih dari Rp 18.000 sekilo.
"Hah, mahal sekali!" ujar dia terbelalak.
"Sejak kapan?" ia sontak balas bertanya.
"Dari dulu," jawab ibu itu.
Di lain kesempatan, seorang ibu pedagang lain mengaku bahwa pamor pala, komoditi yang membuat Nusantara mendunia, terus meredup.
"Sekarang sudah tidak (istimewa) lagi," ucap si ibu yang mengaku kepada saya memiliki kebun pala dan juga mengolahnya menjadi manisan.
Sederet masalah ini boleh jadi terangkai dengan problem transportasi yang masih jauh dari ideal.
Dipisahkan lautan di sisi timur laut Kota Ambon, seseorang perlu menghabiskan waktu hingga 12 jam untuk berlayar dari ibu kota Maluku itu ke Banda Neira menumpang kapal feri.
Penerbangan sanggup memangkas durasi itu, namun banderolnya bisa di atas Rp 300.000 untuk sekali terbang, itu pun sudah disubsidi. Frekuensi penerbangan cukup langka, itu pun satu pesawat hanya dapat ditumpangi belasan orang.
Semua keadaan itu berlangsung dalam musim yang baik. Saat cuaca tak bersahabat, jelas keadaan akan berbeda.
Ganjar menilai, tidak ada pilihan baginya jika terpilih menjadi presiden, untuk membangun transportasi berbasis laut di Indonesia Timur, termasuk Banda Neira dan Maluku.
Ia membayangkan agar masalah ini diberi intervensi melalui afirmasi, alih-alih diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah atau mekanisme pasar.
Baca juga: Penerbangannya Gagal, Ganjar Tetap Upayakan Sambangi Banda Neira karena Hal Ini
Ia meyakini, dalam kondisi yang belum terbangun dengan baik, swasta akan gamang untuk berinvestasi membangun tata kelola transportasi laut yang terjangkau.
"State entity business atau BUMN harus dipakai untuk pioneering. Jadi apa? Kapal Pelni ditambah, atau penerbangan perintis masuk dulu sampai kemudian bagus, negara pelan-pelan keluar terus kemudian swasta boleh masuk," kata Ganjar
"Atau kemudian ya berkolaborasi (dengan swasta) atau berkompetisi juga boleh. Itu yang mesti dilakukan dengan potensi yang sehebat ini," ujar dia.
Usai bertandang ke Banda Neira, Ganjar langsung bertolak ke Ambon dan tancap gas ke Makassar, Sulawesi Selatan. Ia dipastikan akan terlambat beberapa jam untuk acara kampanye di Kota Angin Mammiri.
Padahal, semestinya, jadwal kunjungan ke Banda Neira sudah dicoret. Kemarin, masalah pesawat yang membuatnya menunda keberangkatan dari Yogyakarta ke Ambon, membuat Ganjar gagal mengejar penerbangan Ambon-Banda Neira pada siang hari.
Namun, pada pagi hari yang mestinya ia berkampanye di kota berpenduduk sekitar 1,5 juta jiwa, ia justru menyempatkan dirinya melawat ke kepulauan yang cuma dihuni tak sampai 20.000 jiwa.
Begitu spesialnya, Banda Neira sampai-sampai ia justru menepikan asa di sisa 12 hari terakhir kampanye yang krusial untuk meraup suara pendukung di wilayah berpenduduk padat.
"Itu (Banda Neira) daerah yang saya impikan sejak kecil," kata Ganjar kemarin, ketika berdiskusi dengan kalangan muda di Ambon.
Ia mengakui, lawatan ini mungkin tak membawa keuntungan elektoral yang signifikan dalam perolehan hasil suara Pilpres 2024.