Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
M. Ikhsan Tualeka
Pegiat Perubahan Sosial

Direktur Indonesian Society Network (ISN), sebelumnya adalah Koordinator Moluccas Democratization Watch (MDW) yang didirikan tahun 2006, kemudian aktif di BPP HIPMI (2011-2014), Chairman Empower Youth Indonesia (sejak 2017), Direktur Maluku Crisis Center (sejak 2018), Founder IndoEast Network (2019), Anggota Dewan Pakar Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (sejak 2019) dan Executive Committee National Olympic Academy (NOA) of Indonesia (sejak 2023). Alumni FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (2006), IVLP Amerika Serikat (2009) dan Political Communication Paramadina Graduate School (2016) berkat scholarship finalis ‘The Next Leaders’ di Metro TV (2009). Saat ini sedang menyelesaikan studi Kajian Ketahanan Nasional (Riset) Universitas Indonesia, juga aktif mengisi berbagai kegiatan seminar dan diskusi. Dapat dihubungi melalui email: ikhsan_tualeka@yahoo.com - Instagram: @ikhsan_tualeka

Presiden Boleh Berkampanye, Salah Kaprah Jokowi

Kompas.com - 25/01/2024, 06:22 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Apa yang dilakukan oleh instrumen pemerintah, jelang pemilu sejauh ini (penyalahgunaan kekuasan lewat bantuan sosial) untuk memompa legitimasi kekuasaan mengingatkan kita atau penulis pada satu cerita yang cukup kesohor, “Stalin dan Ayam Bondol”.

Diceritakan pada satu pertemuan bersama seluruh anggota parlemen, Stalin (diktator Soviet 1878-1953) meminta asistennya untuk membawakannya seekor ayam betina di ruang pertemuan itu.

Dia kemudian memegang erat ayam hidup itu dengan satu tangan dan mulai mencabuti bulunya satu persatu dengan tangan lainnya. Ayam itu kesakitan dan mencoba lepas dari cengkraman, tetapi tidak bisa.

Lalu Stalin berkata kepada asistennya yang berdiri di sampingnya, dan seluruh anggota parlemen yang hadir: "Sekarang lihat apa yang akan terjadi”.

Setelah meletakan ayam itu, Stalin kemudian berjalan sedikit menjauh. Kemudian ia mengambil segenggam gandum, sementara itu semua anggota parlemen menyaksikan dengan rasa penasaran.

Sejurus kemudian, ayam betina yang ketakutan, sakit dan berdarah itu justru berlari mendatangi, saat Stalin menghamburkan gandum di hadapannya.

Kemudian Stalin berkata: “Begitu mudahnya memerintah orang bodoh (minim literasi politik) dan orang yang hidupnya susah. Kalian lihat bagaimana ayam itu mengejarku, meski aku sudah memperlakukan atau membuatnya kesakitan”.

Begitulah kebanyakan orang, mereka dianiaya dan diperalat oleh para pemimpin dan politisi dengan sewenang-wenang, tapi jadi pengagum hanya karena menerima hadiah murahan, makanan yang mungkin untuk bisa bertahan selama satu atau dua hari saja.

Sepotong cerita yang agaknya cukup relevan untuk kita memaknai kembali relasi pemerintah dan warga negara, yang hari ini dijembatani oleh ‘bansos politik’.

Kedua, ketidaknetralan. Hal ini yang bakal terjadi, setidaknya memengaruhi nuansa itu di tengah masyarakat pemilih, utamanya di struktur birokrasi.

Karena dengan terlibatnya presiden dalam kampanye politik, tentu saja dapat mengurangi persepsi netralitas dan objektivitas di pemerintahan, secara berjenjang dari pusat hingga ke daerah.

Apalagi bila yang di-endorse atau didukung oleh presiden adalah keluarga atau kerabat dekatnya sendiri, semisal anak, istri atau saudara kandung, netralitas tentu hanya akan menjadi slogan semata.

Ketiga, gangguan pada tugas pemerintahan. Aktivitas kampanye politik yang diikuti langsung oleh presiden, dengan tetap menyandang atau mengatasnamakan diri sebagai presiden, dapat mengalihkan perhatian dan sumber daya dari tugas-tugas pemerintahan yang seharusnya menjadi prioritas utamanya.

Konsentrasi urusan pemerintah atau kenegaraan akan tersita atau bahkan terganggu oleh berbagai agenda kampanye politik. Pelayanan publik bakal abai, karena struktur pemerintah terutama di wilayah kampanye ikut melebur dalam aktivitas kampanye.

Keempat, polarisasi masyarakat. Bagaimana pun, keterlibatan presiden dalam kampanye dapat meningkatkan polarisasi dan konflik di masyarakat, mengingat kedudukan presiden sebagai figur simbolik.

Sehingga kelompok pendukung dan kontra pemerintah (presiden), akan dengan mudah terpolarisasi, dalam kubu-kubu saling berlawanan, berhadap-hadapan, meningkatkan tensi dan konstelasi politik.

Oleh karena itu, menjaga pemisahan antara fungsi pemerintahan dalam hal ini jabatan presiden dengan kegiatan politik, dapat turut mempertahankan integritas dan efektivitas lembaga pemerintahan (kepresidenan).

Artinya, presiden sebaiknya menjaga netralitasnya dan fokus pada tugas-tugas kenegaraan. Jika ingin mendukung capres tertentu, maka sebaiknya melibatkan diri secara pribadi, dengan mengajukan cuti atau setelah masa jabatannya berakhir, untuk menghindari konflik kepentingan dan menjaga integritas lembaga negara.

Di Amerika Serikat, kiblat kita berdemokrasi, presiden terbiasa menjaga netralitasnya, sehingga terhindar dari mendukung calon presiden tertentu secara terbuka.

Mereka biasanya menunggu hingga akhir masa jabatan sebelum secara aktif terlibat dalam kampanye politik atau memberikan dukungan kepada calon tertentu. Hal ini untuk memastikan posisi kepresidenan tetap independen, tidak terpengaruh oleh pertimbangan politik di masa jabatan.

Sebagai contoh, mantan Presiden AS Barack Obama mematuhi tradisi ini. Setelah menyelesaikan dua masa jabatan sebagai presiden pada 2017, Obama baru aktif mendukung calon dan isu-isu tertentu secara terbuka.

Misalnya, pada pemilu presiden 2020, Obama memberikan dukungan terbuka kepada calon dari Partai Demokrat, Joe Biden, setelah ia tidak lagi menjabat atau ada dalam posisi sebagai presiden.

Hal ini boleh jadi tidak dilarang, atau bukan sesuatu yang tidak diperbolehkan secara hukum, tapi adalah norma, etika dan kebijakan, menjaga independensi jabatan presiden selama masa pemerintahan.

Lagi-lagi ini soal etika, yang oleh kalangan berperadaban maju sering dianggap lebih tinggi daripada hukum karena mencakup pandangan moral dan nilai-nilai yang melebihi kerangka hukum formal.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

SYL Sebut Perjalanan Dinas Atas Perintah Presiden untuk Kepentingan 280 Juta Penduduk

SYL Sebut Perjalanan Dinas Atas Perintah Presiden untuk Kepentingan 280 Juta Penduduk

Nasional
DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

Nasional
Lima Direktorat di Kementan Patungan Rp 1 Miliar Bayari Umrah SYL

Lima Direktorat di Kementan Patungan Rp 1 Miliar Bayari Umrah SYL

Nasional
DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik, Diprediksi Terus Bertambah Jelang Pilkada

DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik, Diprediksi Terus Bertambah Jelang Pilkada

Nasional
KPK Bakal Usut Dugaan Oknum BPK Minta Rp 12 Miliar Terkait 'Food Estate' Ke Kementan

KPK Bakal Usut Dugaan Oknum BPK Minta Rp 12 Miliar Terkait "Food Estate" Ke Kementan

Nasional
Pejabat Kementan Tanggung Sewa 'Private Jet' SYL Rp 1 Miliar

Pejabat Kementan Tanggung Sewa "Private Jet" SYL Rp 1 Miliar

Nasional
Pejabat Kementan Tanggung Kebutuhan SYL di Brasil, AS, dan Arab Saudi

Pejabat Kementan Tanggung Kebutuhan SYL di Brasil, AS, dan Arab Saudi

Nasional
Gubernur Maluku Utara Akan Didakwa Terima Suap dan Gratifikasi Rp 106,2 Miliar

Gubernur Maluku Utara Akan Didakwa Terima Suap dan Gratifikasi Rp 106,2 Miliar

Nasional
MK Jadwalkan Putusan 'Dismissal' Sengketa Pileg pada 21-22 Mei 2024

MK Jadwalkan Putusan "Dismissal" Sengketa Pileg pada 21-22 Mei 2024

Nasional
Mahfud Ungkap Jumlah Kementerian Sudah Diminta Dipangkas Sejak 2019

Mahfud Ungkap Jumlah Kementerian Sudah Diminta Dipangkas Sejak 2019

Nasional
Tanggapi Ide Tambah Kementerian, Mahfud: Kolusinya Meluas, Rusak Negara

Tanggapi Ide Tambah Kementerian, Mahfud: Kolusinya Meluas, Rusak Negara

Nasional
[POPULER NASIONAL] Perbandingan Jumlah Kementerian Masa Megawati sampai Jokowi | Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah

[POPULER NASIONAL] Perbandingan Jumlah Kementerian Masa Megawati sampai Jokowi | Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah

Nasional
Tanggal 12 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 12 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 11 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 11 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Demokrat Anggap Rencana Prabowo Tambah Kementerian Sah Saja, asal...

Demokrat Anggap Rencana Prabowo Tambah Kementerian Sah Saja, asal...

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com