Apa yang dilakukan oleh instrumen pemerintah, jelang pemilu sejauh ini (penyalahgunaan kekuasan lewat bantuan sosial) untuk memompa legitimasi kekuasaan mengingatkan kita atau penulis pada satu cerita yang cukup kesohor, “Stalin dan Ayam Bondol”.
Diceritakan pada satu pertemuan bersama seluruh anggota parlemen, Stalin (diktator Soviet 1878-1953) meminta asistennya untuk membawakannya seekor ayam betina di ruang pertemuan itu.
Dia kemudian memegang erat ayam hidup itu dengan satu tangan dan mulai mencabuti bulunya satu persatu dengan tangan lainnya. Ayam itu kesakitan dan mencoba lepas dari cengkraman, tetapi tidak bisa.
Lalu Stalin berkata kepada asistennya yang berdiri di sampingnya, dan seluruh anggota parlemen yang hadir: "Sekarang lihat apa yang akan terjadi”.
Setelah meletakan ayam itu, Stalin kemudian berjalan sedikit menjauh. Kemudian ia mengambil segenggam gandum, sementara itu semua anggota parlemen menyaksikan dengan rasa penasaran.
Sejurus kemudian, ayam betina yang ketakutan, sakit dan berdarah itu justru berlari mendatangi, saat Stalin menghamburkan gandum di hadapannya.
Kemudian Stalin berkata: “Begitu mudahnya memerintah orang bodoh (minim literasi politik) dan orang yang hidupnya susah. Kalian lihat bagaimana ayam itu mengejarku, meski aku sudah memperlakukan atau membuatnya kesakitan”.
Begitulah kebanyakan orang, mereka dianiaya dan diperalat oleh para pemimpin dan politisi dengan sewenang-wenang, tapi jadi pengagum hanya karena menerima hadiah murahan, makanan yang mungkin untuk bisa bertahan selama satu atau dua hari saja.
Sepotong cerita yang agaknya cukup relevan untuk kita memaknai kembali relasi pemerintah dan warga negara, yang hari ini dijembatani oleh ‘bansos politik’.
Kedua, ketidaknetralan. Hal ini yang bakal terjadi, setidaknya memengaruhi nuansa itu di tengah masyarakat pemilih, utamanya di struktur birokrasi.
Karena dengan terlibatnya presiden dalam kampanye politik, tentu saja dapat mengurangi persepsi netralitas dan objektivitas di pemerintahan, secara berjenjang dari pusat hingga ke daerah.
Apalagi bila yang di-endorse atau didukung oleh presiden adalah keluarga atau kerabat dekatnya sendiri, semisal anak, istri atau saudara kandung, netralitas tentu hanya akan menjadi slogan semata.
Ketiga, gangguan pada tugas pemerintahan. Aktivitas kampanye politik yang diikuti langsung oleh presiden, dengan tetap menyandang atau mengatasnamakan diri sebagai presiden, dapat mengalihkan perhatian dan sumber daya dari tugas-tugas pemerintahan yang seharusnya menjadi prioritas utamanya.
Konsentrasi urusan pemerintah atau kenegaraan akan tersita atau bahkan terganggu oleh berbagai agenda kampanye politik. Pelayanan publik bakal abai, karena struktur pemerintah terutama di wilayah kampanye ikut melebur dalam aktivitas kampanye.
Keempat, polarisasi masyarakat. Bagaimana pun, keterlibatan presiden dalam kampanye dapat meningkatkan polarisasi dan konflik di masyarakat, mengingat kedudukan presiden sebagai figur simbolik.
Sehingga kelompok pendukung dan kontra pemerintah (presiden), akan dengan mudah terpolarisasi, dalam kubu-kubu saling berlawanan, berhadap-hadapan, meningkatkan tensi dan konstelasi politik.
Oleh karena itu, menjaga pemisahan antara fungsi pemerintahan dalam hal ini jabatan presiden dengan kegiatan politik, dapat turut mempertahankan integritas dan efektivitas lembaga pemerintahan (kepresidenan).
Artinya, presiden sebaiknya menjaga netralitasnya dan fokus pada tugas-tugas kenegaraan. Jika ingin mendukung capres tertentu, maka sebaiknya melibatkan diri secara pribadi, dengan mengajukan cuti atau setelah masa jabatannya berakhir, untuk menghindari konflik kepentingan dan menjaga integritas lembaga negara.
Di Amerika Serikat, kiblat kita berdemokrasi, presiden terbiasa menjaga netralitasnya, sehingga terhindar dari mendukung calon presiden tertentu secara terbuka.
Mereka biasanya menunggu hingga akhir masa jabatan sebelum secara aktif terlibat dalam kampanye politik atau memberikan dukungan kepada calon tertentu. Hal ini untuk memastikan posisi kepresidenan tetap independen, tidak terpengaruh oleh pertimbangan politik di masa jabatan.
Sebagai contoh, mantan Presiden AS Barack Obama mematuhi tradisi ini. Setelah menyelesaikan dua masa jabatan sebagai presiden pada 2017, Obama baru aktif mendukung calon dan isu-isu tertentu secara terbuka.
Misalnya, pada pemilu presiden 2020, Obama memberikan dukungan terbuka kepada calon dari Partai Demokrat, Joe Biden, setelah ia tidak lagi menjabat atau ada dalam posisi sebagai presiden.
Hal ini boleh jadi tidak dilarang, atau bukan sesuatu yang tidak diperbolehkan secara hukum, tapi adalah norma, etika dan kebijakan, menjaga independensi jabatan presiden selama masa pemerintahan.
Lagi-lagi ini soal etika, yang oleh kalangan berperadaban maju sering dianggap lebih tinggi daripada hukum karena mencakup pandangan moral dan nilai-nilai yang melebihi kerangka hukum formal.