Salin Artikel

Presiden Boleh Berkampanye, Salah Kaprah Jokowi

Menurut Jokowi, seorang presiden juga boleh memihak kepada calon tertentu dalam kontestasi pesta demokrasi, karena adalah hak politik.

"Yang penting, presiden itu boleh loh kampanye. Presiden itu boleh loh memihak. Boleh. Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara. (Jadi) boleh (presiden kampanye)," kata Jokowi (Kompas.com, 24/01/2024).

Menyimak pendapat atau komentar Jokowi itu, tentu saja ada yang perlu dikoreksi, karena menjadi salah kaprah, ada dalam logika yang bisa jadi menyesatkan.

Sebab, menurut UUD 1945, presiden disebut bukan sekadar jabatan politik, melainkan melekat pada dirinya sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara. Sehingga dalam kontestasi pemilu, presiden sejatinya wajib untuk bersikap netral.

Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, presiden juga membawahi jutaan aparat penegak hukum, baik polisi, jaksa, tentara hingga aparatur sipil negara. Jika presiden tidak netral, maka akan muncul berbagai persoalan lanjutan di level bawah.

Lain lagi jika Jokowi menyebut bahwa dirinya secara pribadi boleh berkampanye, itu mungkin sah-sah saja, karena sebagai warga negara, merupakan hak politiknya terlibat, ambil bagian dalam proses politik.

Karena itu kemudian bila presiden atau pejabat publik lainnya yang akan terlibat atau ikut dalam kampanye politik, mesti mengajukan cuti, untuk memisahkan atau menarik garis yang tegas antara urusan pribadi dengan jabatan yang sedang di sandang.

Pemisahan jabatan publik dengan kepentingan pribadi adalah prinsip penting dalam menjaga integritas dan transparansi pejabat publik dalam pelayanan publik.

Hal ini mencegah konflik kepentingan yang merugikan masyarakat, serta memastikan setiap keputusan dan tindakan pemerintah (presiden) didasarkan pada kepentingan umum, bukan sublimasi agenda pribadi.

itu artinya, presiden juga pejabat publik lainnya, sesungguhnya dapat terlibat dalam kegiatan kampanye politik, tetapi dilakukan di luar waktu kerja resmi, tanpa menggunakan sumber daya negara.

Hal ini penting, menjadi pagar utama, sehingga jabatan presiden dapat dipertahankan netralitasnya, dan mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan politik pribadi atau kelompok.

Prinsip inilah yang diperlukan untuk memisahkan fungsi pemerintahan (presiden) dengan aktivitas politik agar tidak ada pengaruh yang merugikan integritas lembaga, yang dapat berujung pada abuse of power.

Mengatasnamakan diri sebagai presiden dalam kampanye politik, tanpa mandat konstitusi, atau melakukan tindakan yang dapat menyesatkan publik, dapat dianggap tidak etis, sekalipun ada alibi atau alasan pembenar bahwa itu tidak melanggar hukum.

Pastinya, dan perlu dicatat adalah, sekalipun adalah hak politik, keikutsertaan presiden dalam kampanye politik secara terbuka memiliki potensi dampak buruk yang lebih besar, bagi demokrasi dan bagi pelaksanaan pemilu itu sendiri.

Pertama, penyalahgunaan kekuasaan. Potensi ini berpeluang besar terjadi, karena sekalipun kampanye politik yang dilakukan oleh presiden di luar agenda kenegaraan, tapi sejumlah perangkat yang melekat pada presiden sulit untuk ditanggalkan.

Seperti protokoler, pasukan pengamanan presiden, tim advance sebelum presiden turun ke lapangan, hingga pemerintah daerah yang mau tak mau ikut memberikan fasilitas tambahan, dan semua itu tentu saja akan diambil atau berasal dari anggaran negara.

Belum lagi bila kemudian aktivitas politik itu menyertakan atau disertai dengan kegiatan pembagian bantuan langsung tunai atau bantuan sosial (bansos).

Dalam konteks Presiden Jokowi, misalnya, belum kampanye secara terbuka saja, penyaluran bantuan sosial sudah kerap dinyatakan sebagai bantuan Jokowi, dan pesan semacam itu akan mudah diterima oleh masyarakat yang masih minim literasi politik.

Seperti oleh Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan dan Ketua Umum PAN dan Airlangga Hartarto Menko Bidang Perekonomian yang juga Ketua Umum Golkar, saat membagikan bansos, mereka menyatakan atau menyampaikan dengan gamblang pada warga kalau itu adalah bantuan dari Presiden Jokowi.

Sejumlah spanduk di lokasi juga menuliskan pesan yang sama. Hingga Menko Polhukam Mahfud MD, yang juga merupakan calon wakil presiden, merasa perlu berikan klarifikasi bahwa bansos, bukan bantuan pemerintah (presiden), tapi adalah bantuan dari negara.

Mahfud menilai perilaku menggunakan jabatan (lewat bansos) untuk kepentingan politik akan menjadi dosa yang meracuni generasi penerus bangsa.

Penggunaan sumber daya dan wewenang presiden secara tidak langsung, apalagi langsung, untuk mendukung kampanye dapat dianggap sebagai penyalahgunaan kekuasaan, menurunkan integritas jabatan publik yang sedang disandang.

Apalagi yang ikut berkontestasi atau menjadi kontestan pemilihan presiden adalah anggota keluarga presiden. Presiden yang turut berkampanye, selain memperkuat legitimasi, juga untuk melanggengkan kekuasaan.

Apa yang dilakukan oleh instrumen pemerintah, jelang pemilu sejauh ini (penyalahgunaan kekuasan lewat bantuan sosial) untuk memompa legitimasi kekuasaan mengingatkan kita atau penulis pada satu cerita yang cukup kesohor, “Stalin dan Ayam Bondol”.

Diceritakan pada satu pertemuan bersama seluruh anggota parlemen, Stalin (diktator Soviet 1878-1953) meminta asistennya untuk membawakannya seekor ayam betina di ruang pertemuan itu.

Dia kemudian memegang erat ayam hidup itu dengan satu tangan dan mulai mencabuti bulunya satu persatu dengan tangan lainnya. Ayam itu kesakitan dan mencoba lepas dari cengkraman, tetapi tidak bisa.

Lalu Stalin berkata kepada asistennya yang berdiri di sampingnya, dan seluruh anggota parlemen yang hadir: "Sekarang lihat apa yang akan terjadi”.

Setelah meletakan ayam itu, Stalin kemudian berjalan sedikit menjauh. Kemudian ia mengambil segenggam gandum, sementara itu semua anggota parlemen menyaksikan dengan rasa penasaran.

Sejurus kemudian, ayam betina yang ketakutan, sakit dan berdarah itu justru berlari mendatangi, saat Stalin menghamburkan gandum di hadapannya.

Kemudian Stalin berkata: “Begitu mudahnya memerintah orang bodoh (minim literasi politik) dan orang yang hidupnya susah. Kalian lihat bagaimana ayam itu mengejarku, meski aku sudah memperlakukan atau membuatnya kesakitan”.

Begitulah kebanyakan orang, mereka dianiaya dan diperalat oleh para pemimpin dan politisi dengan sewenang-wenang, tapi jadi pengagum hanya karena menerima hadiah murahan, makanan yang mungkin untuk bisa bertahan selama satu atau dua hari saja.

Sepotong cerita yang agaknya cukup relevan untuk kita memaknai kembali relasi pemerintah dan warga negara, yang hari ini dijembatani oleh ‘bansos politik’.

Kedua, ketidaknetralan. Hal ini yang bakal terjadi, setidaknya memengaruhi nuansa itu di tengah masyarakat pemilih, utamanya di struktur birokrasi.

Karena dengan terlibatnya presiden dalam kampanye politik, tentu saja dapat mengurangi persepsi netralitas dan objektivitas di pemerintahan, secara berjenjang dari pusat hingga ke daerah.

Apalagi bila yang di-endorse atau didukung oleh presiden adalah keluarga atau kerabat dekatnya sendiri, semisal anak, istri atau saudara kandung, netralitas tentu hanya akan menjadi slogan semata.

Ketiga, gangguan pada tugas pemerintahan. Aktivitas kampanye politik yang diikuti langsung oleh presiden, dengan tetap menyandang atau mengatasnamakan diri sebagai presiden, dapat mengalihkan perhatian dan sumber daya dari tugas-tugas pemerintahan yang seharusnya menjadi prioritas utamanya.

Konsentrasi urusan pemerintah atau kenegaraan akan tersita atau bahkan terganggu oleh berbagai agenda kampanye politik. Pelayanan publik bakal abai, karena struktur pemerintah terutama di wilayah kampanye ikut melebur dalam aktivitas kampanye.

Keempat, polarisasi masyarakat. Bagaimana pun, keterlibatan presiden dalam kampanye dapat meningkatkan polarisasi dan konflik di masyarakat, mengingat kedudukan presiden sebagai figur simbolik.

Sehingga kelompok pendukung dan kontra pemerintah (presiden), akan dengan mudah terpolarisasi, dalam kubu-kubu saling berlawanan, berhadap-hadapan, meningkatkan tensi dan konstelasi politik.

Oleh karena itu, menjaga pemisahan antara fungsi pemerintahan dalam hal ini jabatan presiden dengan kegiatan politik, dapat turut mempertahankan integritas dan efektivitas lembaga pemerintahan (kepresidenan).

Artinya, presiden sebaiknya menjaga netralitasnya dan fokus pada tugas-tugas kenegaraan. Jika ingin mendukung capres tertentu, maka sebaiknya melibatkan diri secara pribadi, dengan mengajukan cuti atau setelah masa jabatannya berakhir, untuk menghindari konflik kepentingan dan menjaga integritas lembaga negara.

Di Amerika Serikat, kiblat kita berdemokrasi, presiden terbiasa menjaga netralitasnya, sehingga terhindar dari mendukung calon presiden tertentu secara terbuka.

Mereka biasanya menunggu hingga akhir masa jabatan sebelum secara aktif terlibat dalam kampanye politik atau memberikan dukungan kepada calon tertentu. Hal ini untuk memastikan posisi kepresidenan tetap independen, tidak terpengaruh oleh pertimbangan politik di masa jabatan.

Sebagai contoh, mantan Presiden AS Barack Obama mematuhi tradisi ini. Setelah menyelesaikan dua masa jabatan sebagai presiden pada 2017, Obama baru aktif mendukung calon dan isu-isu tertentu secara terbuka.

Misalnya, pada pemilu presiden 2020, Obama memberikan dukungan terbuka kepada calon dari Partai Demokrat, Joe Biden, setelah ia tidak lagi menjabat atau ada dalam posisi sebagai presiden.

Hal ini boleh jadi tidak dilarang, atau bukan sesuatu yang tidak diperbolehkan secara hukum, tapi adalah norma, etika dan kebijakan, menjaga independensi jabatan presiden selama masa pemerintahan.

Lagi-lagi ini soal etika, yang oleh kalangan berperadaban maju sering dianggap lebih tinggi daripada hukum karena mencakup pandangan moral dan nilai-nilai yang melebihi kerangka hukum formal.

Etika menuntut keputusan atau sikap (politik) yang didasarkan pada prinsip-prinsip moral dan kesadaran diri yang tinggi, sementara hukum seringkali hanya terbatas pada peraturan dan sanksi formal.

Etika memberikan pedoman moral yang lebih luas, sedangkan hukum bersifat lebih spesifik dalam menangani pelanggaran tertentu.

Meskipun keduanya saling terkait, etika dapat mencakup dimensi moral yang lebih mendalam dan melibatkan pertimbangan nilai yang lebih komprehensif.

Sejumlah filsuf besar telah mengajarkan atau memberikan pandangan kepada kita, betapa sesungguhnya etika jauh lebih tinggi, dan mestinya menjadi pedoman utama dari penegakan hukum.

Meski, pandangan bahwa "etika lebih tinggi dari hukum" bukanlah konsep yang bersifat konkret atau spesifik, tetapi umumnya menekankan pentingnya moralitas dan nilai-nilai etis yang mendalam ketika seseorang akan pengambilan satu keputusan.

Seperti oleh Immanuel Kant, filsuf Jerman abad ke-18, dengan pandangannya soal etika, yang dikenal sebagai "etika kewajiban" atau "etika deontologis”, yaitu tindakan moral ditegakkan oleh kewajiban dan prinsip moral yang berlaku secara universal.

Kant dalam hal ini menekankan pentingnya "imperatif kategoris," yaitu aturan moral yang harus atau penting untuk diikuti tanpa tergantung pada konsekuensinya.

Artinya, seseorang harus bertindak sesuai dengan prinsip moral yang dapat diterapkan secara universal, tanpa memandang hasil akhirnya seperti apa.

Dalam konteks itu, pandangan Kant tentang etika tentu mendukung ide bahwa etika lebih tinggi dari hukum, karena kewajiban moral dianggap lebih fundamental daripada ketaatan terhadap peraturan hukum.

Begitu pula oleh filsuf Inggris abad ke-19, John Stuart Mill, lewat karyanya yang berjudul "Utilitarianism" (Utilitarianisme), yang diterbitkan pada 1863.

Mengembangkan gagasan etika utilitarianisme, Mill menekankan bahwa kebaikan moral dapat diukur oleh tingkat kebahagiaan yang dihasilkan oleh suatu tindakan.

Ia berpendapat bahwa tindakan yang menghasilkan kebahagiaan yang maksimal untuk sebanyak mungkin orang adalah tindakan yang moral.

Jadi, pandangan etika Mill, yang didasarkan pada prinsip utilitarianisme, dapat diinterpretasikan sebagai pentingnya mempertimbangkan konsekuensi dan akibat tindakan dalam menentukan kebaikan moral.

Begitu pula dengan Martin Luther King Jr., pemimpin hak sipil Amerika dalam pidatonya yang terkenal, "I Have a Dream," yang juga menekankan nilai-nilai moral dan persamaan dengan landasan etika.

Meskipun King menghargai hukum sebagai alat untuk menuju perubahan positif, namun pandangannya tentang keadilan dan kesetaraan lebih mencerminkan pentingnya etika daripada mematuhi hukum tertulis.

Dalam pemikiran dan tindakannya, King lebih mencerminkan konsep bahwa kebenaran dan etika dapat melebihi batasan hukum yang tidak adil.

Jauh sebelum Kent, Mill dan King, Socrates pun lewat pemikirannya yang dicatat muridnya, Plato, dalam dialog-dialog "Apology," "Crito," dan "Phaedo" sekitar pertengahan hingga akhir abad ke-4 SM, juga turut menjelaskan pentingnya etika dan keadilan.

Mereka mungkin ada yang tidak secara eksplisit menyebutkan "etika lebih tinggi dari hukum", tetapi membahas pentingnya aspek etika dan moralitas yang mendalam dalam pengambilan keputusan.

Landasan pikir mereka soal etik, termasuk pula dampak buruk dari kampanye politik yang dilakukan oleh seorang presiden seperti yang dikemukakan di atas, memberikan sinyalemen atau pertanda yang kuat, bahwa Jokowi telah salah kaprah soal presiden boleh ikut kampanye dan memihak.

Jokowi telah salah dan menyederhanakan persoalan, hanya ada dalam pertimbangan hukum, dan tak memedulikan kaidah etik, sesuatu yang juga telah tercederai manakala putranya Gibran Rakabuming Raka diloloskan menjadi calon wakil presiden.

Belum ikut kampanye politik secara kaffah atau terang-terangan pun, telah ada sejumlah paradoks karena putranya ikut berkontestasi, apalagi bila Presiden Jokowi ikutan berkampanye secara terbuka, rasa-rasanya itu tak tidak adil bagi kontestan lainnya.

https://nasional.kompas.com/read/2024/01/25/06224421/presiden-boleh-berkampanye-salah-kaprah-jokowi

Terkini Lainnya

Demokrat Anggap Rencana Prabowo Tambah Kementerian Sah Saja, asal...

Demokrat Anggap Rencana Prabowo Tambah Kementerian Sah Saja, asal...

Nasional
Indonesia Digital Test House Diresmikan, Jokowi: Super Modern dan Sangat Bagus

Indonesia Digital Test House Diresmikan, Jokowi: Super Modern dan Sangat Bagus

Nasional
Menko Polhukam Harap Perpres 'Publisher Rights' Bisa Wujudkan Jurnalisme Berkualitas

Menko Polhukam Harap Perpres "Publisher Rights" Bisa Wujudkan Jurnalisme Berkualitas

Nasional
Saksi Sebut Kementan Beri Rp 5 Miliar ke Auditor BPK untuk Status WTP

Saksi Sebut Kementan Beri Rp 5 Miliar ke Auditor BPK untuk Status WTP

Nasional
Kasus Dugaan Asusila Ketua KPU Jadi Prioritas DKPP, Sidang Digelar Bulan Ini

Kasus Dugaan Asusila Ketua KPU Jadi Prioritas DKPP, Sidang Digelar Bulan Ini

Nasional
Gubernur Maluku Utara Nonaktif Diduga Cuci Uang Sampai Rp 100 Miliar Lebih

Gubernur Maluku Utara Nonaktif Diduga Cuci Uang Sampai Rp 100 Miliar Lebih

Nasional
Cycling de Jabar Segera Digelar di Rute Anyar 213 Km, Total Hadiah Capai Rp 240 Juta

Cycling de Jabar Segera Digelar di Rute Anyar 213 Km, Total Hadiah Capai Rp 240 Juta

Nasional
Hindari Konflik TNI-Polri, Sekjen Kemenhan Sarankan Kegiatan Integratif

Hindari Konflik TNI-Polri, Sekjen Kemenhan Sarankan Kegiatan Integratif

Nasional
KPK Tetapkan Gubernur Nonaktif Maluku Utara Tersangka TPPU

KPK Tetapkan Gubernur Nonaktif Maluku Utara Tersangka TPPU

Nasional
Soal Kemungkinan Duduki Jabatan di DPP PDI-P, Ganjar: Itu Urusan Ketua Umum

Soal Kemungkinan Duduki Jabatan di DPP PDI-P, Ganjar: Itu Urusan Ketua Umum

Nasional
Kapolda Jateng Disebut Maju Pilkada, Jokowi: Dikit-dikit Ditanyakan ke Saya ...

Kapolda Jateng Disebut Maju Pilkada, Jokowi: Dikit-dikit Ditanyakan ke Saya ...

Nasional
Jokowi dan Prabowo Rapat Bareng Bahas Operasi Khusus di Papua

Jokowi dan Prabowo Rapat Bareng Bahas Operasi Khusus di Papua

Nasional
Kemenhan Ungkap Anggaran Tambahan Penanganan Papua Belum Turun

Kemenhan Ungkap Anggaran Tambahan Penanganan Papua Belum Turun

Nasional
PAN Minta Demokrat Bangun Komunikasi jika Ingin Duetkan Lagi Khofifah dan Emil Dardak

PAN Minta Demokrat Bangun Komunikasi jika Ingin Duetkan Lagi Khofifah dan Emil Dardak

Nasional
Tanggapi Ide 'Presidential Club' Prabowo, Ganjar: Bagus-bagus Saja

Tanggapi Ide "Presidential Club" Prabowo, Ganjar: Bagus-bagus Saja

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke