Itulah sebabnya Megawati tak gampang mengubah posisi dan sikap. Ia memang cenderung “kepala batu.”
Namun justru di situlah kekuatannya, karena dengan sikap seperti itu, ia merawat konsistensinya terhadap apa yang dinilai benar.
Ia menjaga sikap dan posisi dengan prinsip, menolak didesak dan dikibuli, tetapi di saat yang berbarengan, ia juga menampik untuk mendesakkan kehendak dan mengibuli.
Kini, Megawati memasuki fase berikutnya dalam kehidupan demokrasi. Hari-hari belakangan ini, Megawati meradang, berpekik dengan suara lantang. Tidak samar dan saru.
Ia terang-terangan mengekspresikan diri dan keyakinannya bahwa demokrasi yang diperjuangkan dan dirawatnya, hendak dikubur. Demokrasi dalam status penenggelaman.
Dalam pemilihan umum, terutama pemilihan presiden pada tahun ini, Megawati merasa terusik dengan pemaksaan kehendak untuk memenangkan seseorang atau pasangan tertentu. Pelbagai kejadian di lapangan yang mendukung perasaan dan keyakinannya itu.
Pengalaman empirik yang dilewatinya dalam kehidupan berdemokrasi, mengasah nalurinya bahwa ada ancaman serius bagi demokrasi.
Pengalaman buram dalam berdemokrasi yang mengitarinya kini, justru jauh lebih menindih dan menyakitkan dibanding di era Orde Baru.
Pemaksaan kehendak politik telah mempreteli Konstitusi dengan cara mendiktekan keinginan pada Mahkamah Konstitusi.
Dalam konteks ini, Megawati masih sukses merawat Konstitusi ketika ada upaya memperpanjang kekuasaan Jokowi. Megawati menolak menambah masa kekuasaan Jokowi.
Namun, Megawati tidak sukses mencegah Mahkamah Konstitusi menjadi kuda tunggangan dan alat pembenar keputusan politik menjadikan putra Jokowi, Gibran Rakabuming, sebagai calon wakil presiden.
Megawati menyaksikan betul, bagaimana penekanan pada figur-figur politik tertentu untuk mengurungkan niat menjadi pemimpin bangsa dan mencalonkan putra Jokowi, adalah skenario kejam terhadap kelangsungan demokrasi.
Megawati juga mencium aroma tidak sedap bagi penggunaan kedaulatan rakyat karena mobilisasi aparat dan organ negara untuk memenangkan pasangan tertentu.
Semua itu membuat Megawati kembali meradang dan berpekik keras. Pekiknya adalah ikhtiar untuk memfungsikan diri bagi rakyat Indonesia.
Dalam usianya yang memasuki bilangan 77 tahun, justru membuatnya kian energik untuk merawat demokrasi.