Dengan kata lain, Jokowi tidak memihak dalam bahasa terang sehingga aman dari aturan tadi, sekalipun secara tersirat jelas arahnya (dengan Prabowo ada di sampingnya). Jadi, paling jauh, ini hanya persolan etika yang dilabrak --seperti kasus di MK.
Akan lain ceritanya jika saat jumpa pers tersebut, Jokowi merilis pesan secara verbal dengan sebut angka dua, dan atau pesan nonverbal, misalnya membentuk jari simbol victory/menoleh ke Prabowo saat nyatakan presiden boleh memihak/berkampanye.
Barangkali hal-hal seperti ini sudah diperkirakan sebelumnya oleh Jokowi.
Ketiga, kian kontroversi wacana publik, kian mencuat nama berikut citranya. Bahasan Jokowi kemarin, sudah jelas kontroversial karena di saat bersamaan, tekanan netralitas sudah sering disampaikan oleh Jokowi sendiri.
Bahkan, bleid aturan untuk ASN, TNI, dan Polri (sebagai bawahan utama Presiden Jokowi) sudah sampai melarang abdi negara untuk memberi emoticon suka pada unggahan di dunia maya terkait Pilpres-Pileg.
Merujuk sejumlah literatur terkait public relations, dan khususnya opini publik, maka wacana kontroversial apalagi yang menjadi polemik publik, maka otomatis akan terus merajai wacana masyarakat.
Dibahas, dikupas, dibela, diserang, dipatahkan, dipertahankan, didebat, dan berbagai tindak komunikasi lain bergantung pada preferensi dan opini individu pada hal tersebut.
Setelah isu keberpihakan ini muncul lalu dibahas berhari-hari di headline media massa, dijadikan tema diskusi daring/luring, jadi bahan meme yang suka atau benci, jadi bahan kreator konten politik di IG dan Youtube, bahkan jadi bahas tulisan paper ilmiah di kampus, maka nama Jokowi dan sikapnya itu akan bergulir terus. Kian dibicarakan kian melambung terlepas impresi-nya positif/netral/negatif.
Akhir kata, seorang pejabat publik sebaiknya lebih berhati-hati merilis pernyataan di negeri seberagam dan seunik Indonesia.
Ditambah sistem demokrasi yang agungkan kebebasan berpendapat, maka sangat wajar jika pilihan selalu mengundang dan menciptakan banyak faksi.
Jokowi dengan kejadian ini, seolah lupa bahwa selain Prabowo yang disokong secara tersirat dengan jumpa pers itu, juga punya "anak" yang lain bernama Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo.
Kedua "anak" itu punya simpatisan, bahkan pendukung militan tak sedikit, yang dengan kejadian ini, maka telah sekian kalinya diperlakukan sebagai "anak tiri".
Otomatis, karena merasa dipinggirkan, kelak jika Prabowo menang, maka wajar muncul ungkapan adanya kecurangan karena kecondongan sudah dengan sadar diperlihatkan. Sementara jika kalah, maka politik bumi hangus terjadi karena dendam.
Percayalah, kedua hal ini tidak baik untuk masa depan Indonesia. Para pejabat publik, terutama Jokowi, jadilah "ayah" untuk semua!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.