Salin Artikel

Tiga Tafsir "Public Relation" Keberpihakan Jokowi

Ada tiga tafsir ilmu public relations terhadap hal tersebut.

Tafsir pertama, Jokowi hendak menekankan sokongan tidak langsung (untuk kesekian kalinya) kepada sosok Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Gibran Rakabuming, anak Jokowi.

Dengan sadar hal itu disampaikan ke khalayak melalui perantaraan corong mic para jurnalis. Sekalipun kita tahu, momen acaranya bukan acara politik serta masih pada jam kerja.

Tambah "rumit" karena selain Prabowo yang berada di sebelah Jokowi saat wawancara dengan jurnalis, di saat bersamaan ada banyak petinggi TNI.

Di antaranya Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto, KSAD Jenderal TNI Maruli Simanjutak, KSAU Marsekal Fadjar Prasetyo.

Maka, sah-sah saja kiranya kalau ada istri dan anggota keluarga TNI, misalnya, yang maknai keterangan pers itu sebagai petunjuk.

Jokowi memang tidak secara gamblang menyebut keberpihakan dalam Pilpres 2024 pada pasangan mana. Namun, tentu sinyalnya terlalu mudah ditangkap khalayak.

Tafsir kedua, Jokowi sedang berdansa di lantai licin. Istilah marketing communication-nya adalah riding the wave (berselancar di ombak ganas).

Pernyataan itu bersifat general serta hanya saat menjawab pertanyaan media massa. Bukan secara sengaja berorasi depan khalayak serta menghimbau dan menyarankan khalayak agar memilih paslon tertentu.

Dengan kata lain, Jokowi lihai memanfaatkan momen tanpa dia secara spesifik tergelincir aturan.

Hal ini merujuk komunikasi tertulis dalam UU dan derivatif-nya terkait netralitas pejabat publik. Pasal 4 ayat (1) UU No.12/2008 tentang Pemilu sebutkan, pihak pemerintah harus netral dalam pemilu.

Pasal 7 ayat (1) Permendagri No.54/2015 sebutkan pemerintah tidak boleh memihak salah satu pasangan calon.

Lalu, Pedoman Etika Kampanye KPU No.002/2015 juga sebutkan pejabat negara wajib bersikap netral dan tidak boleh mendukung atau mempromosikan calon tertentu dalam kampanye.

Tiga aturan ini memang ketat mengatur bagaimana seorang pejabat publik. Namun penulis menilai, Jokowi paham "celah" regulasi yang ada, sehingga pernyataan tadi masih bersifat netral karena tidak menyebut nama paslon secara spesifik dan langsung.

Dengan kata lain, Jokowi tidak memihak dalam bahasa terang sehingga aman dari aturan tadi, sekalipun secara tersirat jelas arahnya (dengan Prabowo ada di sampingnya). Jadi, paling jauh, ini hanya persolan etika yang dilabrak --seperti kasus di MK.

Akan lain ceritanya jika saat jumpa pers tersebut, Jokowi merilis pesan secara verbal dengan sebut angka dua, dan atau pesan nonverbal, misalnya membentuk jari simbol victory/menoleh ke Prabowo saat nyatakan presiden boleh memihak/berkampanye.

Barangkali hal-hal seperti ini sudah diperkirakan sebelumnya oleh Jokowi.

Ketiga, kian kontroversi wacana publik, kian mencuat nama berikut citranya. Bahasan Jokowi kemarin, sudah jelas kontroversial karena di saat bersamaan, tekanan netralitas sudah sering disampaikan oleh Jokowi sendiri.

Bahkan, bleid aturan untuk ASN, TNI, dan Polri (sebagai bawahan utama Presiden Jokowi) sudah sampai melarang abdi negara untuk memberi emoticon suka pada unggahan di dunia maya terkait Pilpres-Pileg.

Merujuk sejumlah literatur terkait public relations, dan khususnya opini publik, maka wacana kontroversial apalagi yang menjadi polemik publik, maka otomatis akan terus merajai wacana masyarakat.

Dibahas, dikupas, dibela, diserang, dipatahkan, dipertahankan, didebat, dan berbagai tindak komunikasi lain bergantung pada preferensi dan opini individu pada hal tersebut.

Setelah isu keberpihakan ini muncul lalu dibahas berhari-hari di headline media massa, dijadikan tema diskusi daring/luring, jadi bahan meme yang suka atau benci, jadi bahan kreator konten politik di IG dan Youtube, bahkan jadi bahas tulisan paper ilmiah di kampus, maka nama Jokowi dan sikapnya itu akan bergulir terus. Kian dibicarakan kian melambung terlepas impresi-nya positif/netral/negatif.

Akhir kata, seorang pejabat publik sebaiknya lebih berhati-hati merilis pernyataan di negeri seberagam dan seunik Indonesia.

Ditambah sistem demokrasi yang agungkan kebebasan berpendapat, maka sangat wajar jika pilihan selalu mengundang dan menciptakan banyak faksi.

Jokowi dengan kejadian ini, seolah lupa bahwa selain Prabowo yang disokong secara tersirat dengan jumpa pers itu, juga punya "anak" yang lain bernama Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo.

Kedua "anak" itu punya simpatisan, bahkan pendukung militan tak sedikit, yang dengan kejadian ini, maka telah sekian kalinya diperlakukan sebagai "anak tiri".

Otomatis, karena merasa dipinggirkan, kelak jika Prabowo menang, maka wajar muncul ungkapan adanya kecurangan karena kecondongan sudah dengan sadar diperlihatkan. Sementara jika kalah, maka politik bumi hangus terjadi karena dendam.

Percayalah, kedua hal ini tidak baik untuk masa depan Indonesia. Para pejabat publik, terutama Jokowi, jadilah "ayah" untuk semua!

https://nasional.kompas.com/read/2024/01/25/05450001/tiga-tafsir-public-relation-keberpihakan-jokowi

Terkini Lainnya

Tanggal 14 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 14 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Soal Prabowo Tak Ingin Diganggu Pemerintahannya, Zulhas: Beliau Prioritaskan Bangsa

Soal Prabowo Tak Ingin Diganggu Pemerintahannya, Zulhas: Beliau Prioritaskan Bangsa

Nasional
Kemendesa PDTT Apresiasi Konsistensi Pertamina Dukung Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Wilayah Transmigrasi

Kemendesa PDTT Apresiasi Konsistensi Pertamina Dukung Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Wilayah Transmigrasi

Nasional
Pospek Kinerja Membaik, Bank Mandiri Raih Peringkat AAA dengan Outlook Stabil dari Fitch Ratings

Pospek Kinerja Membaik, Bank Mandiri Raih Peringkat AAA dengan Outlook Stabil dari Fitch Ratings

Nasional
Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem 'Mualaf Oposisi'

Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem "Mualaf Oposisi"

Nasional
Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi 'King Maker'

Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi "King Maker"

Nasional
Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Nasional
Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Nasional
Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Nasional
Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Nasional
Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Nasional
Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Nasional
Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Nasional
UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

Nasional
Jemaah Haji Tak Punya 'Smart Card' Terancam Deportasi dan Denda

Jemaah Haji Tak Punya "Smart Card" Terancam Deportasi dan Denda

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke