Saat dicermati, justru dia sering menyampaikan komentar humoristis. Hanya saja, gaya humornya cenderung menyerang, melecehkan, dan merendahkan pihak-pihak lain – mulai dari lawan politiknya, media massa, bahkan kaum perempuan dan imigran, sehingga ujarannya terasa bukan seperti humor, melainkan kecaman dan ujaran kebencian.
Secara strategi retorika, Prabowo beberapa kali menunjukkan agresivitasnya lewat humor. Misalnya, saat ia bercanda di hadapan kader-kader Gerindra saat Rakornas dengan perkataan “ndasmu etik”, sebagai respons atas pertanyaan Anies Baswedan tentang pelanggaran etik di keputusan MK saat debat capres putaran pertama (15/12/23).
Atau, ketika ia meledek gagasan Ganjar Pranowo bahwa internet gratis lebih penting daripada programnya, yakni makan siang gratis untuk anak-anak (20/1/24).
Prabowo di sana menyebut pengusung program internet gratis atau capres yang merasa program internet gratis lebih bagus daripada makan siang gratis “berotak lambat” dan “tidak cocok jadi pemimpin”.
Pernyataan-pernyataan tersebut tentu menjadi kontradiktif dengan pencitraan “gemoy” yang coba dibangun oleh timnya.
Tampaknya, pencitraan yang dipilih itu berbeda dengan karakter keseharian Prabowo, sehingga dalam beberapa momen, yang bersangkutan jadi kelepasan tidak bisa mengontrol emosinya.
Terakhir, pelaku clownmanship tak ragu dan tanpa malu-malu bertingkah, bahkan bersirkus layaknya badut demi kepentingannya.
Soal ini jelas, gimmick berjoget Prabowo dan celingukan Gibran adalah teknik clownmanship untuk menutupi kampanye yang kurang substantif, mengandalkan dialog, dan mengejar viralitas di media sosial semata.
Keputusan Prabowo untuk menanggalkan identitasnya sebagai anggota militer patut diduga juga berkaitan dengan pelanggengan kepentingannya agar masyarakat tidak teringat akan rekam jejak kasus penculikan aktivis.
Di awal, penulis menggunakan konsep dari Butler agar kita waspada terhadap ciri-ciri pemimpin problematik yang mempraktikkan clownmanship untuk sekadar meraih suara.
Namun ketika disinkronkan dengan fenomena di Indonesia, ketika clownmanship bisa dijadikan riasan untuk menutupi keterbatasan pengalaman, wawasan, pelanggaran etika, hingga praktik kampanye yang kurang substantif, bisa dibilang, kitalah yang sekarang menguliahi Butler.
Sebab clownmanship di Indonesia ternyata justru lebih canggih karena sudah dipraktikkan oleh capres-cawapresnya sekaligus dan menghilirisasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.