Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hendry Roris P Sianturi
Pengajar

Pengajar di Universitas Singaperbangsa Karawang, Lulusan Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia

"Streisand Effect" dan Dinamika Penyensoran Tayangan Kampanye

Kompas.com - 23/01/2024, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tayangan videotron Anies yang dihentikan paksa terjadi di salah satu pusat perbelanjaan di Bekasi. Pihak pengelola mal mengatakan bahwa take down dilakukan karena pemilik lahan tempat Videotron berdiri, tidak mengizinkan tayangan kampanye muncul di Videotron.

Pada dasarnya, jika tayangan yang direncanakan muncul selama seminggu itu tidak dihentikan, perbincangan tentang Anies tidak akan seviral pascapenghentian tayangan. Efek Streisand dari take down ini justru membuat promosi dan popularitas Anies naik.

Kashdan, Rose & Finchan (2004) menjelaskan aksi penyensoran yang tersebar di masyarakat dapat memunculkan rasa ingin tahu. Ada dua jenis rasa ingin tahu yang muncul ketika mendapat informasi penyensoran.

Pertama, rasa ingin tahu yang bersifat aktif. Masyarakat berupaya untuk mencari tahu dengan prinsip 5W 1 H atas hal yang disensor.

Apa yang disensor (what), siapa yang melakukan sensor (who), kenapa disensor (who), di mana disensor (where), kapan disensor (when) dan bagaimana penyensorannya (how).

Kedua, rasa ingin tahu untuk mendalami hal yang kompleks. Dalam hal ini, masyarakat mencari tahu relevansi penyensoran, keterkaitan dengan praktik penyensoran sebelumnya, penyensoran dalam bentuk lain dan mengaitkannya dengan momentum, seperti Pilpres 2024.

Nah, kedua jenis rasa ingin tahu ini, terjadi pada informasi take down Videotron Anies yang menyebabkan Efek Streisand.

Banyak penelitian dan kajian menyebutkan bahwa praktik sensor, apalagi di momentum tahun politik, membawa risiko lebih besar dibandingkan manfaatnya.

Menurut Dean Burnett (2015) dalam artikelnya di The Guardian, hanya orang yang paling tertipu, yang ngotot melakukan sensor dan seolah-olah itu adalah ide yang bagus.

Di sisi lain, sudah banyak juga ramuan untuk melakukan sensor secara smooth. Brian Martin (2015) dari University of Wollongong, Australia mengurai lima taktik agar sensor mengurangi kemarahan dan antipati masyarakat.

Pertama, menyembunyikan keberadaan sensor. Kedua, mendevaluasi target sensor. Ketiga, menafsirkan ulang tindakan dengan berbohong, meminimalkan konsekuensi, menyalahkan orang lain, dan menggunakan pembingkaian yang baik.

Keempat, menggunakan jalur resmi untuk memberikan kesan keadilan. Dan terakhir kelima, mengintimidasi lawan.

Beberapa di antaranya sudah dilakukan pemerintah melalui instrumen peraturan maupun Undang-undang, yang cenderung lebih smooth.

Persoalannya sekarang, banyak masyarakat mengalamatkan pelaku sensor tayangan videotron Anies ke pemerintah atau rezim berkuasa. Padahal, praktik penyensoran yang smooth sudah sering dilakukan rezim berkuasa.

Pasalnya, penguasa hari ini sadar dengan kekuatan media dan mass power. Aksi penyensoran akan dikaitkan sebagai praktik kekuasaan yang dilakukan oleh rezim berkuasa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Komisi II Pertimbangkan Bentuk Panja untuk Evaluasi Gaya Hidup dan Dugaan Asusila di KPU

Komisi II Pertimbangkan Bentuk Panja untuk Evaluasi Gaya Hidup dan Dugaan Asusila di KPU

Nasional
Djoko Susilo PK Lagi, Ketua KPK Singgung Kepastian Hukum

Djoko Susilo PK Lagi, Ketua KPK Singgung Kepastian Hukum

Nasional
KPK Geledah Kantor PT Telkom dan 6 Rumah, Amankan Dokumen dan Alat Elektronik

KPK Geledah Kantor PT Telkom dan 6 Rumah, Amankan Dokumen dan Alat Elektronik

Nasional
Pembukaan Rakernas Ke-5 PDI-P Akan Diikuti 4.858 Peserta

Pembukaan Rakernas Ke-5 PDI-P Akan Diikuti 4.858 Peserta

Nasional
KPK Gelar 'Roadshow' Keliling Jawa, Ajak Publik Tolak Politik Uang

KPK Gelar "Roadshow" Keliling Jawa, Ajak Publik Tolak Politik Uang

Nasional
Bobby ke Gerindra padahal Sempat Bilang 'Insya Allah' Gabung Golkar, Mekeng: 'Nothing Special'

Bobby ke Gerindra padahal Sempat Bilang "Insya Allah" Gabung Golkar, Mekeng: "Nothing Special"

Nasional
PPP Disebut Tak Bisa Lolos Parlemen, Mardiono: Ketua KPU Bukan Pengganti Tuhan

PPP Disebut Tak Bisa Lolos Parlemen, Mardiono: Ketua KPU Bukan Pengganti Tuhan

Nasional
Soal Dapat Jatah 4 Kursi Menteri, Ketum PAN: Hak Prerogatif Prabowo

Soal Dapat Jatah 4 Kursi Menteri, Ketum PAN: Hak Prerogatif Prabowo

Nasional
Galang Dukungan di Forum Parlemen WWF Ke-10, DPR Minta Israel Jangan Jadikan Air Sebagai Senjata Konflik

Galang Dukungan di Forum Parlemen WWF Ke-10, DPR Minta Israel Jangan Jadikan Air Sebagai Senjata Konflik

Nasional
Alasan PDI-P Tak Undang Jokowi Saat Rakernas: Yang Diundang yang Punya Spirit Demokrasi Hukum

Alasan PDI-P Tak Undang Jokowi Saat Rakernas: Yang Diundang yang Punya Spirit Demokrasi Hukum

Nasional
Waketum Golkar Kaget Bobby Gabung Gerindra, Ungkit Jadi Parpol Pertama yang Mau Usung di Pilkada

Waketum Golkar Kaget Bobby Gabung Gerindra, Ungkit Jadi Parpol Pertama yang Mau Usung di Pilkada

Nasional
Pj Ketum PBB Sebut Yusril Cocok Jadi Menko Polhukam di Kabinet Prabowo

Pj Ketum PBB Sebut Yusril Cocok Jadi Menko Polhukam di Kabinet Prabowo

Nasional
Penerbangan Haji Bermasalah, Kemenag Sebut Manajemen Garuda Indonesia Gagal

Penerbangan Haji Bermasalah, Kemenag Sebut Manajemen Garuda Indonesia Gagal

Nasional
DKPP Didesak Pecat Ketua KPU dengan Tidak Hormat

DKPP Didesak Pecat Ketua KPU dengan Tidak Hormat

Nasional
JK Nilai Negara Harus Punya Rencana Jangka Panjang sebagai Bentuk Kontrol Kekuasaan

JK Nilai Negara Harus Punya Rencana Jangka Panjang sebagai Bentuk Kontrol Kekuasaan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com