Sekalipun mundurnya Maruarar dan sejumlah kader lain yang membelot dengan alasan mengikuti Jokowi, namun fenomena ini mestinya turut memantik evaluasi di internal PDI-P. Tentu ada yang mesti dibenahi.
Pengelolaan partai yang terlalu tersentralistik pada sosok Megawati sebagai ketua umum partai, dirasa kental nuansa feodal-nya. Sesuatu yang tentu saja bertolak belakang atau meminggirkan proses kaderisasi dan sirkulasi elite di internal PDI-P.
Partai yang dikelola secara feodal tentu akan mendistorsi demokrasi internal, mobilisasi akan lebih menonjol, mengemuka, ketimbang partisipasi anggota dan basis massa, hingga muncul nepotisme politik.
Sistem feodal cenderung menciptakan hierarki yang kuat di antara elite partai, yang dapat menghambat perkembangan ide dan inovasi dalam tubuh partai.
Selain itu, keputusan yang sentralistik dan cenderung otoriter dapat menyebabkan ketidakpuasan di kalangan anggota partai, serta berujung pada representasi atau komposisi pengurus yang kurang seimbang. Keputusan partai menjadi kurang objektif.
Inilah yang harus segera atau menjadi pekerjaan rumah bagi PDI-P. Eksistensi partai ini di masa depan, apalagi di era disrupsi demokrasi-politik sangat bergantung perubahan dan adaptasi yang dilakukan.
Terlepas dari dinamika dan alasan hingga mundur dari PDI-P, satu hal yang bisa dipelajari dari peristiwa politik ini adalah bagaimana sikap politik santun penuh dengan etika yang ditunjukan oleh Maruarar.
Sebagai politisi matang, jelang pemilu, Maruarar tidak main kucing-kucingan, petak-umpet, apalagi politik dua kaki. Ia gentleman pamit dan mengembalikan KTA, juga memberikan pernyataan melalui media.
Menunjukkan Maruarar adalah politisi otentik, berkarakter, punya sikap dan prinsip. Bukan politisi karbitan yang berproses di politik secara instan dan tidak melalui proses internal partai yang berjenjang.
Hal ini tentu menjadi pembeda, sekaligus contoh bagi generasi muda yang akan masuk atau terjun di politik. Politik bukan soal kekuasaan semata, tapi juga bicara soal etika dan bagaimana cara mendapatkan serta mengelola kekuasan itu.
Cara dan sikap Maruarar juga bisa menjadi pembelajaran kepada para politisi muda yang saat ini sedang mengorbit dalam perpolitikan nasional.
Dalam konteks ini, Gibran dan Bobby Nasution, anak-menantu Jokowi tersebut, mestinya bisa belajar dari Maruarar. Sesuatu yang penting dilakukan mengingat mereka tengah menjadi perhatian di panggung nasional.
Gibran dan Bobby sebelumnya baru menjadi politisi dan masuk PDI-P karena mau ikut berkontestasi sebagai wali kota. Mereka masing-masing akhirnya terpilih, Gibran di Solo dan Bobby di Medan.
Namun, melihat bagaimana sikap dan langkah politik mereka dalam mengakhiri relasi politik dengan PDI-P, sungguh berbeda dengan cara yang ditunjukan oleh Maruarar. Gibran dan Bobby membelot ke rival PDI-P tanpa permisi, tanpa basa-basi, tanpa kulonuwun.
Mungkin karena merasa anggota keluarga presiden, sehingga PDI-P, partai yang telah membesarkan mereka itu seperti tak dianggap. Menunjukan kalau mereka minim kapasitas, pengalaman dan etika politik.