JAKARTA, KOMPAS.com - Wacana pemakzulan terhadap Presiden mencuat baru-baru ini. Sejumlah tokoh yang mengatasnamakan diri sebagai Petisi 100 menyuarakan dugaan kecurangan Pemilu 2024 hingga pelengseran Presiden Joko Widodo.
Namun, oleh sejumlah pihak, wacana ini dinilai sulit diwujudkan mengingat prosesnya yang panjang dan butuh waktu tidak sebentar. Lantas, bagaimana sebenarnya proses pemakzulan terhadap Presiden?
Pemakzulan berasal dari kata dasar makzul. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makzul berarti berhenti memegang jabatan; turun takhta.
Sementara, pemakzulan berarti proses, cara, perbuatan memakzulkan. Masih merujuk KBBI, memakzulkan ialah menurunkan dari takhta; memberhentikan dari jabatan.
Dengan demikian, pemakzulan terhadap Presiden dapat diartikan sebagai proses memberhentikan Presiden dari jabatannya.
Baca juga: Saat Mahfud MD, PDI-P, hingga Yusril Bicara Isu Pemakzulan Jokowi…
Ihwal pemakzulan terhadap Presiden diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Menurut Pasal 7 UUD 1945, Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Namun, sebelum tuntas masa jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden dapat diberhentikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Mengacu Pasal 7A UUD 1945, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam situasi tertentu, yakni:
Baca juga: Soal Pemakzulan Jokowi, Yusril Ihza: Inkonstitusional, Prosesnya Panjang dan Memakan Waktu
Sementara, proses pemakzulan terhadap Presiden diatur dalam Pasal 7B konstitusi. Butuh tahapan panjang dan melibatkan banyak pihak dalam proses pemakzulan. Berikut perinciannya:
Wacana pemakzulan terhadap Presiden Jokowi disampaikan para tokoh Petisi 100. Tokoh-tokoh ini, seperti, Faizal Assegaf, Marwan Batubara, dan Letnan Jenderal TNI Marsekal (Purn) Suharto.
Pada Selasa (9/1/2024), mereka mendatangi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD untuk melaporkan dugaan kecurangan Pemilu 2024 hingga pemakzulan terhadap Kepala Negara.
"Ada 22 orang (yang datang). Mereka menyampaikan, tidak percaya, pemilu ini berjalan curang. Oleh sebab itu nampaknya sudah berjalan kecurangan-kecurangan. Sehingga mereka minta ke Menko Polhukam untuk melakukan tindakan, melalui desk pemilu yang ada," kata Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (9/1/2024).
Kepada para tokoh tersebut, Mahfud mengaku tidak bisa menindak laporan itu karena bukan kewenangannya. Mahfud bilang, laporan tersebut seharusnya disampaikan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai penyelenggara pemilu.
"Menko Polhukam tidak boleh menilai jalannya pemilu itu karena yang bertugas menilai, menurut konstitusi adalah KPU, Bawaslu, dan DKPP. Atau kalau kecurangan, Mahkamah Konstitusi nantinya," ujar Mahfud.
Terkait permintaan pemakzulan terhadap Kepala Negara, Mahfud juga mengaku tak punya kewenangan untuk menangani itu.
Baca juga: Sebut Tak Ada Gerakan Pemakzulan Jokowi di DPR, Airlangga: Partai Pendukung 85 Persen