TEMA debat ketiga Pilpres 2024 adalah Pertahanan, Keamanan, Geopolitik, dan Hubungan Internasional. Namun sayangnya, ada isu hankam dalam negeri yang luput dari pembahasan, Konflik Papua.
Konflik yang telah berlangsung beberapa dekade di Tanah Papua hingga kini tak kunjung usai. Bermula dari Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 yang bermuara kepada kembalinya Tanah Papua ke pangkuan ibu pertiwi sesuai dengan Resolusi Majelis Umum PBB No. 2504 (XXIV), muncullah gerakan-gerakan resistensi yang berseberangan dengan keputusan tersebut.
Konflik berlarut tersebut belum menunjukkan titik terang permanen. Dengan akan segera beralihnya tongkat estafet pemerintahan kepada pemimpin yang baru, maka para kandidat sudah selayaknya mengalamatkan komitmennya terhadap konflik tersebut.
Absennya isu Papua dalam debat calon presiden merupakan hal yang disayangkan. Tidak adanya pertanyaan dari panelis kepada para calon maupun pertanyaan yang saling dilontarkan oleh para calon menunjukkan isu Papua tidak berada dalam puncak daftar belanja permasalahan pemerintah.
Minimnya literasi dan kesadaran terkait konflik Papua menjadi hal yang memprihatinkan jika menilik ke belakang banyaknya korban yang berjatuhan, baik dari TNI/Polri maupun warga sipil.
Setidaknya terdapat beberapa urgensi yang mendorong konflik Papua untuk dibahas dalam forum terbuka para kandidat.
Pertama, penyelesaian isu Papua tidak dapat dilakukan hanya melalui pendekatan militer. Kelompok Separatis Teroris Papua (KSTP) menggunakan gabungan metode gerilya dan terorisme dalam melancarkan aksinya.
Maka, upaya mengatasinya tidak semata-mata dengan melakukan operasi militer guna melenyapkan sel-sel aktif kelompok separatis teroris, melainkan dengan memenangkan hati dan pikiran rakyat di Papua agar tidak menjadi simpatisan dan sel-sel tidur yang berpotensi menyeberang ke pihak separatis.
Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan taraf hidup masyarakat Papua dan mempercepat pembangunan, baik fisik maupun nonfisik, guna memperkecil gap ketertinggalan dari daerah lainnya.
Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan pendekatan holistik yang meliputi seluruh kementerian dan lembaga (K/L) pemerintah (whole-of-government approach).
Kewenangan untuk menjalankan program tersebut hanya berada di tangan presiden selaku kepala pemerintahan.
Kedua, presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi atas angkatan perang harus memiliki keinginan politik yang kuat karena kebijakan tersebut tidak akan datang dengan biaya yang murah.
Pengalokasian sumber daya negara dipastikan sangat tinggi untuk dapat menyelesaikan konflik di Papua.
Perlu adanya pelibatan lebih banyak aktor (K/L) guna melakukan pembangunan fisik dan non fisik di wilayah paling timur Indonesia.
Dinamika agenda politik ke depan yang tidak menentu dan semakin kompleks, membutuhkan komitmen yang tinggi untuk memastikan bahwa penyelesaian konflik Papua tetap berada dalam daftar prioritas pemerintah.