Anies kemudian bertumbuh menjadi harapan kelompok ‘oposisi kultural’, residu politik atau pendukung yang kalah pada pilpres 2019. Banyak yang menaruh harapan pada Anies untuk menjadi the next president, karena membawa angin perubahan.
Sementara itu Prabowo, sosok yang sebelumnya dianggap sebagai petarung sejati rupanya tak betah berlama-lama menjadi oposisi. Ia kemudian larut dalam pemerintahan Jokowi di periode keduanya itu.
Sebagian kalangan mengapresiasi keputusan Prabowo bergabung dengan pemerintahan, apalagi rivalitasnya dengan Jokowi sempat menyebabkan pembelahan sosial, sehingga muncul istilah ‘Cebong Vs Kampret’. Langkah itu diharapkan mencairkan situasi.
Meski ada pula yang menilai ini adalah bagian dari strategi politik Prabowo untuk meraih dukungan atau endorsement politik dari Jokowi yang telah dibatasi konstitusi, tidak akan bisa menjabat tiga periode.
Prediksi atau hipotesis terakhir ini yang kemudian terbukti, Prabowo benar-benar mendapat sokongan politik Jokowi. Tidak tanggung-tanggung, putranya Gibran Rakabuming Raka, yang sebelumnya belum cukup umur dipasangkan dengan Prabowo.
Dalam memuluskan pengaturan politik itu, syarat capres dan cawapres yang harusnya di atas 40 tahun, kemudian di-judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Hasilnya, syarat ikut pilpres ditambah dengan frasa “atau berpengalaman sebagai kepala daerah”. Otomatis menjadi karpet merah kepada Gibran yang sedang menjabat Wali Kota Solo.
Sekalipun putusan yang juga turut diambil oleh Anwar Usman, paman dari Gibran yang merupakan Ketua MK itu berbuntut panjang. Anwar bahkan harus dicopot dari jabatannya karena dianggap melanggar etik oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
Meski demikian, Prabowo tetap bisa melaju bersama Gibran di arena kontestasi pilpres, karena putusan MKMK tidak mengubah tahapan pilpres. Sementara Anies yang sejatinya adalah kompatriot Prabowo, juga mendapat tiket lolos berkontestasi sebagai capres.
Situasi yang tentu saja menjadikan dua mitra atau kawan politk ini akhirnya berhadap-hadapan. Menegaskan bahwa dalam politik tak ada kawan sejati, yang ada adalah kepentingan abadi.
Jokowi yang rival Prabowo dalam dua edisi pilpres, justru menyatu menghadapi Anies yang sebelumnya disokong Prabowo.
Bahkan Jokowi yang meng-endorse Prabowo pun sampai harus melawan kandidat pilpres yang diusung oleh PDIP, partai yang turut membesarkannya.
Jokowi benar-benar telah ‘pisah ranjang’ dengan PDIP. Bahkan jelang hari ulang tahun PDIP pada 10 Januari 2014, Jokowi justru melawat ke luar negeri, seperti saling menghindar, sudah tak sehaluan.
Satu fragmen politik yang under predictable, di luar prediksi banyak pengamat. Konfigurasi politik yang tak linier berdasarkan garis ideologi, tapi lebih didasari kalkulasi politik dan perasaan yang mengemuka dari para pengambil keputusan politik di level elite.
Sudah menjadi rahasia umum, beringsutnya Jokowi menjadi ‘king maker’ Prabowo juga dilandasi faktor kekecewaannya terhadap Megawati yang kerap kurang memosisikan dirinya secara proporsional.