JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah dinilai memiliki kewenangan buat tidak mengumbar proses pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista), tetapi tetap harus menjunjung tinggi prinsip akuntabilitas.
Kelompok masyarakat sipil yang menyoroti keamanan dan pertahanan berulang kali meminta pemerintah terbuka dalam proses pengadaan alutsista buat mencegah potensi korupsi.
Akan tetapi, imbauan itu kerap berbenturan dengan prinsip kerahasiaan negara terkait alutsista.
"Kita tidak bisa spenuhnya transparan, tapi bukan berarti kita bisa mengabaikan akuntabilitas," kata peneliti pertahanan dan keamanan Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi dalam program Obrolan Newsroom di Kompas.com, Minggu (7/1/2024).
Baca juga: Anies Sebut Belanja Alutsista Jangan Berdasarkan Selera, tapi Kebutuhan Masa Depan
Fahmi menilai saat ini keterbukaan pemerintah dalam proses pembelian alutsista sudah lebih baik.
Salah satu indikatornya, kata Fahmi, adalah masyarakat dengan mudah memperbincangkan hal itu secara terbuka di mana pun.
Sebelumnya diberitakan, pengamat pertahanan sekaligus Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) Universitas Paramadina, Anton Aliabbas menilai penundaan pembelian 12 jet tempur Dassault Mirage 2000-5 bekas dari Angkatan Udara Qatar akibat proses perencanaan yang kurang cermat.
Bahkan, menurut Anton, sebaiknya kewenangan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) diperkuat supaya bisa mengaudit proses perencanaan pengadaan alutsista.
Baca juga: Saat Prabowo Undang Anies Bahas Data Pengadaan Alutsista Bekas...
"Harapan saya adalah pemerintah ke depan, presiden ke depan itu harus mampu dan mau menambah kewenangan bagi Bappenas," kata Anton dalam program Sapa Indonesia Malam di Kompas TV, pada Kamis (4/1/2024).
"Bappenas yang melakukan perencanaan. Bappenas yang mengkoordinir, mengorkestrasi semua. Bappenas diberi kewenangan lebih untuk memeriksa dokumen perencanaan," sambung Anton.
Anton mengatakan, penundaan pembelian jet tempur Mirage 2000-5 itu adalah contoh indikasi ketidakcermatan dalam proses perencanaan dan bisa menghambat proses pemutakhiran alutsista TNI Angkatan Udara.
"Ini contoh yang indikasi yang enggak bisa dibenarkan. Kita berpacu dengan waktu membangun. Jangan sampai semuanya sudah ditandatangani lho duitnya enggak ada," ujar Anton.
Anton menilai, pemerintahnya seharusnya memberi Bappenas kewenangan lebih buat memeriksa dan bisa memberikan sanksi bagi proses perencanaan yang meleset kepada pengguna anggaran dan pihak lain.
Baca juga: Ganjar: Belanja Alutsista Harus Jadi Investasi Pertahanan
Sebab, menurut Anton, proses pengawasan yang dilakukan Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hanya bersifat makro.
"Dalam internal pemerintah, siapa yang pegang kontrol? Bagi saya dalam hal ini Bappenas. Kuatin Bappenas-nya," ucap Anton.