Cara ini seolah menegaskan kekeliruan politisasi identitas yang selama ini telah mewabah, yakni “pilih orang kita yang sama identitas dan jangan pilih orang lain yang beda identitas”.
Kampanye yang seharusnya diisi dengan pertukaran ide dan gagasan mengenai kebijakan dan kesejahteraan ke depan diganti dengan ceramah yang hanya satu arah.
Tidak ada penawaran kapasitas dan kapabilitas publik serta agenda kerja dari sang kandidat kepada warga. Juga tidak ada ruang bagi warga untuk menguji dan menghakimi kapasitas dan kapabilitas publik serta mendiskusikan agenda kerjanya itu.
Padahal, warga dan kandidat perlu saling aktif terlibat dan melibatkan diri mempertukarkan ide, yang kelak akan menghasilkan kebijakan publik yang juga menyangkut dirinya.
Kandidat perlu tahu diri dan tahan diri untuk tidak mencampuradukkan keduanya. Kampanye bukan di ruang-ruang keagamaan. Gereja dan jemaat bukan untuk dimanfaatkan secara politik, apalagi dieksploitasi.
Dalam konteks Indonesia, kita memiliki Pancasila sebagai tiang pancang bernegara, lengkap mengabstraksikan hubungan agama dan negara/politik.
Indonesia tidak menolak atau menerima sepenuhnya peran agama dalam kehidupan bernegara. Pun, tidak dicampuradukkan.
Hubungan keduanya ditafsirkan berbentuk intersectional (ada persinggungan dan titik temu), bukan integrated (penyatuan) ataupun sekularistik (pemisahan, negara lepas dari dominasi lembaga atau simbol keagamaan) (Masykuri Abdillah, 2013, Hubungan Agama dan Negara dalam Konteks Modernisasi Politik di Era Reformasi).
Relasi Gereja dan politik bukan partisipan, melainkan proporsional. Setidaknya dalam dua fungsi: pengutusan dan profetik.
Fungsi pengutusan berupa mengajarkan moral baik lalu mengutus jemaatnya untuk terlibat dan berpartisipasi aktif dalam semua aspek kehidupan, termasuk bidang politik.
Fungsi profetik berupa mengawasi dan mengarahkan jalannya kehidupan, termasuk bidang politik, agar sesuai dengan nilai-nilai agama sebagai pedoman etik.
Gereja berperan menyiapkan fondasi etik dan moral bagi umatnya untuk seluruh aspek kehidupan. Tidak mengarahkan warga/jemaat untuk memilih kandidat tertentu, melainkan mendorong orang untuk memilih nilai-nilai kepemimpinan yang perlu dipilih.
Penting bagi Gereja untuk independen/mandiri secara finansial. Gereja hanya bergantung pada iman pemeliharaan Tuhan dan pengorbanan jemaat, bukan menyandarkan diri pada sosok kandidat tertentu. Jangan buka celah untuk mereka yang berniat mengeksploitasi lembaga Gereja.
Kita juga perlu pahami regulasi PKPU Nomor 33 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu. Ada larangan politisasi identitas dan sanksinya. Kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas rumah ibadah.
KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perlu rapatkan barisan untuk mengawal dan mengawasi secara ketat. Perilaku politisasi Natal oleh kandidat/politisi nakal ini cenderung liar dan kerap sulit diawasi karena dibungkus berbagai cara dan kedok.
Sebagai manusia yang beriman, etika adalah penting sebagai ciri manusia beradab. Kembalikan Natal pada kesakralannya dan kembalikan demokrasi (salah satunya kampanye) pada esensinya.
Cukup jadi jemaat di ruang agama dan menjadi kandidat/politisi di ruang publik. Kesadaran ini penting agar kualitas demokrasi kita tidak kian tergerus akibat digerogoti oleh penyakit demokrasi: politisasi identitas.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.