Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
R Graal Taliawo
Pegiat Politik Gagasan

Doktor Ilmu Politik dari Universitas Indonesia

 

Politisi Nakal, Politisasi Natal

Kompas.com - 22/12/2023, 10:24 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

NATAL adalah momen agung yang dinantikan oleh seluruh umat Nasrani. Tak terkecuali para kandidat/politisi “nakal”. Mata mereka seolah berbinar melihat banyak massa berkumpul.

Sayang dilewatkan jika tidak memanfaatkannya untuk kampanye. Politisasi mimbar Gereja pada momen Natal tak terhindarkan.

Sikap ini tentu keliru karena mengkhianati keduanya: agama dan politik. Kesakralan Natal dibatalkan dan esensi kampanye—yakni tukar pikiran—dihilangkan.

Mencampuradukkan keduanya jelas soal. Kita akan terjerumus pada penyakit demokrasi: politisasi agama dan agamaisasi politik.

Keduanya sangat mungkin terjadi di mimbar gereja, dan ini pengalaman kita. Tarik garis tegas supaya keduanya tak saling kehilangan makna.

Politisasi Natal

Mulai marak kandidat mencari muka di ruang-ruang keagamaan. Modus operandinya adalah kandidat mendadak jadi “tokoh agama”, ahli kitab suci.

Mimbar Gereja dijadikan sebagai alat dan arena untuk mencari massa. Bukan pendeta, tapi tiba-tiba menyampaikan khotbah pada momen Natal.

Lucunya, ada kandidat yang mendadak jadi pengkhotbah dan/atau pemberi sambutan di Gereja yang padahal ia bukan jemaat dari Gereja tersebut.

Yang tak kalah menggelitik dan sering terjadi, kandidat berlagak Robin Hood sesaat dengan sumbang ini-itu untuk persiapan Natal.

Perilaku buruk semacam ini bukan “dosa” kandidat semata. Pihak Gereja tak jarang turut merestui dengan memfasilitasi mereka. Memberi panggung pada saat acara keagamaan, sekaligus sebagai ajang promosi kepada jemaat.

Mimbar Gereja semestinya berisi firman-firman Tuhan. Tak ada ruang untuk “ocehan” di luar itu.

Seolah pilihan menarik, pihak Gereja juga tidak jarang meminta/menerima bantuan materi dari mereka. Tidak ada salahnya jika itu dianggap berkat. Tapi, perlu hati-hati karena ini akan menjadi kutukan jika ada tukar guling kepentingan politik—dukungan suara.

Dari sisi regulasi jadwal kampanye, kesempatan untuk berperilaku seperti ini seolah terbuka lebar. Jadwal kampanye yang ditentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) berbarengan dengan hari besar keagamaan tertentu. Risikonya, konflik kepentingan antara agama dan politik sulit terhindarkan.

Demokrasi Terdistorsi

Dari fenomena itu kita bisa tarik benang merah, bahwa baik kandidat maupun pihak Gereja sedang mencampuradukkan urusan politik dengan urusan agama. Dampaknya, demokrasi akan terdistorsi dan akan kehilangan esensinya.

Demokrasi yang mensyaratkan rasionalitas akan dipenuhi unsur-unsur sentimental dan emosional. Yang bukan tidak mungkin akan mengarah pada perpecahan karena mempertajam sentimen identitas keagamaan.

Cara ini seolah menegaskan kekeliruan politisasi identitas yang selama ini telah mewabah, yakni “pilih orang kita yang sama identitas dan jangan pilih orang lain yang beda identitas”.

Kampanye yang seharusnya diisi dengan pertukaran ide dan gagasan mengenai kebijakan dan kesejahteraan ke depan diganti dengan ceramah yang hanya satu arah.

Tidak ada penawaran kapasitas dan kapabilitas publik serta agenda kerja dari sang kandidat kepada warga. Juga tidak ada ruang bagi warga untuk menguji dan menghakimi kapasitas dan kapabilitas publik serta mendiskusikan agenda kerjanya itu.

Padahal, warga dan kandidat perlu saling aktif terlibat dan melibatkan diri mempertukarkan ide, yang kelak akan menghasilkan kebijakan publik yang juga menyangkut dirinya.

Hubungan agama dan negara/politik secara proporsional

Kandidat perlu tahu diri dan tahan diri untuk tidak mencampuradukkan keduanya. Kampanye bukan di ruang-ruang keagamaan. Gereja dan jemaat bukan untuk dimanfaatkan secara politik, apalagi dieksploitasi.

Dalam konteks Indonesia, kita memiliki Pancasila sebagai tiang pancang bernegara, lengkap mengabstraksikan hubungan agama dan negara/politik.

Indonesia tidak menolak atau menerima sepenuhnya peran agama dalam kehidupan bernegara. Pun, tidak dicampuradukkan.

Hubungan keduanya ditafsirkan berbentuk intersectional (ada persinggungan dan titik temu), bukan integrated (penyatuan) ataupun sekularistik (pemisahan, negara lepas dari dominasi lembaga atau simbol keagamaan) (Masykuri Abdillah, 2013, Hubungan Agama dan Negara dalam Konteks Modernisasi Politik di Era Reformasi).

Relasi Gereja dan politik bukan partisipan, melainkan proporsional. Setidaknya dalam dua fungsi: pengutusan dan profetik.

Fungsi pengutusan berupa mengajarkan moral baik lalu mengutus jemaatnya untuk terlibat dan berpartisipasi aktif dalam semua aspek kehidupan, termasuk bidang politik.

Fungsi profetik berupa mengawasi dan mengarahkan jalannya kehidupan, termasuk bidang politik, agar sesuai dengan nilai-nilai agama sebagai pedoman etik.

Gereja berperan menyiapkan fondasi etik dan moral bagi umatnya untuk seluruh aspek kehidupan. Tidak mengarahkan warga/jemaat untuk memilih kandidat tertentu, melainkan mendorong orang untuk memilih nilai-nilai kepemimpinan yang perlu dipilih.

Penting bagi Gereja untuk independen/mandiri secara finansial. Gereja hanya bergantung pada iman pemeliharaan Tuhan dan pengorbanan jemaat, bukan menyandarkan diri pada sosok kandidat tertentu. Jangan buka celah untuk mereka yang berniat mengeksploitasi lembaga Gereja.

Kita juga perlu pahami regulasi PKPU Nomor 33 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu. Ada larangan politisasi identitas dan sanksinya. Kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas rumah ibadah.

KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perlu rapatkan barisan untuk mengawal dan mengawasi secara ketat. Perilaku politisasi Natal oleh kandidat/politisi nakal ini cenderung liar dan kerap sulit diawasi karena dibungkus berbagai cara dan kedok.

Sebagai manusia yang beriman, etika adalah penting sebagai ciri manusia beradab. Kembalikan Natal pada kesakralannya dan kembalikan demokrasi (salah satunya kampanye) pada esensinya.

Cukup jadi jemaat di ruang agama dan menjadi kandidat/politisi di ruang publik. Kesadaran ini penting agar kualitas demokrasi kita tidak kian tergerus akibat digerogoti oleh penyakit demokrasi: politisasi identitas.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Koalisi Vs Oposisi: Mana Cara Sehat Berdemokrasi?

Koalisi Vs Oposisi: Mana Cara Sehat Berdemokrasi?

Nasional
Pansel Capim KPK Diminta Tak Buat Kuota Pimpinan KPK Harus Ada Unsur Kejaksaan atau Kepolisian

Pansel Capim KPK Diminta Tak Buat Kuota Pimpinan KPK Harus Ada Unsur Kejaksaan atau Kepolisian

Nasional
Berkaca dari Kasus Firli, Pansel Capim KPK Diminta Lebih Dengarkan Masukan Masyarakat

Berkaca dari Kasus Firli, Pansel Capim KPK Diminta Lebih Dengarkan Masukan Masyarakat

Nasional
Sidang Kasus SYL Menguak Status Opini WTP BPK Masih Diperjualbelikan

Sidang Kasus SYL Menguak Status Opini WTP BPK Masih Diperjualbelikan

Nasional
Kemenag Sepakat Proses Hukum Penggerudukan Ibadah di Indekos Dilanjutkan

Kemenag Sepakat Proses Hukum Penggerudukan Ibadah di Indekos Dilanjutkan

Nasional
Soal Komposisi Pansel Capim KPK, Pukat UGM: Realitanya Presiden Amankan Kepentingan Justru Mulai dari Panselnya

Soal Komposisi Pansel Capim KPK, Pukat UGM: Realitanya Presiden Amankan Kepentingan Justru Mulai dari Panselnya

Nasional
PAN Lempar Kode Minta Jatah Menteri Lebih ke Prabowo, Siapkan Eko Patrio hingga Yandri Susanto

PAN Lempar Kode Minta Jatah Menteri Lebih ke Prabowo, Siapkan Eko Patrio hingga Yandri Susanto

Nasional
Kaitkan Ide Penambahan Kementerian dengan Bangun Koalisi Besar, BRIN: Mengajak Pasti Ada Bonusnya

Kaitkan Ide Penambahan Kementerian dengan Bangun Koalisi Besar, BRIN: Mengajak Pasti Ada Bonusnya

Nasional
Membedah Usulan Penambahan Kementerian dari Kajian APTHN-HAN, Ada 2 Opsi

Membedah Usulan Penambahan Kementerian dari Kajian APTHN-HAN, Ada 2 Opsi

Nasional
Zulhas: Indonesia Negara Besar, Kalau Perlu Kementerian Diperbanyak

Zulhas: Indonesia Negara Besar, Kalau Perlu Kementerian Diperbanyak

Nasional
Menag Cek Kesiapan Hotel dan Dapur Jemaah Haji di Madinah

Menag Cek Kesiapan Hotel dan Dapur Jemaah Haji di Madinah

Nasional
Usung Bima Arya atau Desy Ratnasari di Pilkada Jabar, PAN Yakin Ridwan Kamil Maju di Jakarta

Usung Bima Arya atau Desy Ratnasari di Pilkada Jabar, PAN Yakin Ridwan Kamil Maju di Jakarta

Nasional
[POPULER NASIONAL] Mahfud Singgung soal Kolusi Tanggapi Ide Penambahan Kementerian | Ganjar Disarankan Buat Ormas

[POPULER NASIONAL] Mahfud Singgung soal Kolusi Tanggapi Ide Penambahan Kementerian | Ganjar Disarankan Buat Ormas

Nasional
Zulhas Sebut Kader PAN yang Siap Jadi Menteri, Ada Yandri Susanto dan Eddy Soeparno

Zulhas Sebut Kader PAN yang Siap Jadi Menteri, Ada Yandri Susanto dan Eddy Soeparno

Nasional
Prabowo: Bung Karno Milik Seluruh Rakyat, Ada yang Ngaku-ngaku Seolah Milik Satu Partai

Prabowo: Bung Karno Milik Seluruh Rakyat, Ada yang Ngaku-ngaku Seolah Milik Satu Partai

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com