Ada juga yang diselundupkan ke Malaysia melalui perantaraan keluarga dengan tujuan perkawinan paksa (tanpa persetujuan pihak perempuan) dan dinikahkan hanya melalui telepon.
Sementara itu, mereka yang diselundupkan ke Thailand harus membayar antara 100.000 – 200.000 taka ke para penyelundup manusia.
Perjalanan ke Thailand dapat berlangsung antara satu hingga tiga bulan dengan kapal penumpang.
Di Thailand mereka bekerja di perkebunan, industri seks, konstruksi dan industri perikanan, serta sebagai pekerja rumah tangga. Di dalam perjalanan-pun tak sedikit yang mengalami pelecehan seksual dan kekerasan fisik.
Penyelundupan dan perdagangan manusia saling terkait dengan migrasi tidak teratur, sehingga membuat warga Rohingya menghadapi risiko selama perjalanan mereka.
Badan PBB UNODC mendefinisikan penyelundupan manusia sebagai: Berbagai kegiatan – yang dibayar atau diberi kompensasi oleh pengungsi dan migran – yang memfasilitasi migrasi tidak teratur. Hal ini termasuk melintasi perbatasan internasional dan pos pemeriksaan internal secara tidak teratur, serta memberikan dokumen, transportasi, dan akomodasi.
Definisi UNODC mengenai perdagangan manusia adalah: Perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang melalui pemaksaan, penipuan atau penipuan, dengan tujuan mengeksploitasinya demi keuntungan.
Perdagangan manusia tidak tergantung pada persetujuan (consent). Hal ini juga mengategorikan perekrutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan anak dengan tujuan sebagai perdagangan manusia.
Ada tiga perbedaan utama antara penyelundupan dan perdagangan manusia menurut Protokol Menentang Penyelundupan Migran oleh Darat, Laut dan Udara, yang melengkapi Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional dan Protokol untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Perdagangan Manusia, khususnya Perempuan dan Anak, yang juga dikenal sebagai Protokol Palermo.
Penyelundupan memerlukan persetujuan (consent), biasanya berakhir di titik tujuan, dan selalu bersifat transnasional. Sebaliknya, perdagangan orang tidak melibatkan persetujuan.
Penyelundupan manusia dan perdagangan manusia terkadang sulit untuk dibedakan, seperti misalnya terjadinya penyelundupan yang parah dan membahayakan atau merendahkan martabat migran.
Tindakan penyelundupan dapat menjadi perdagangan manusia ketika penyelundup memutuskan untuk memperdagangkan seorang migran dan demikian juga sebaliknya.
Kebanyakan orang Rohingya terlibat dengan penyelundupan manusia karena mereka tidak punya pilihan lain.
Keputusan tersebut bukanlah keputusan yang aman dan sehat, karena ada banyak contoh eksploitasi, pemerasan, pengabaian, dan pembunuhan yang terdokumentasi dalam perjalanannya.
Dalam praktiknya, warga Rohingya tidak dapat mengakses perlindungan penting yang sepatutnya diberikan oleh negara-negara transit.
Laporan penelitian dari lembaga Protecting Rohingya Refugees in Asia (PRRiA) tahun 2022 menyebutkan bahwa Undang-undang imigrasi yang ketat di Malaysia dan Thailand menjadikan kedua negara tersebut sebagai tujuan yang berisiko bagi warga Rohingya, meskipun ada perlindungan bagi pengungsi berdasarkan hukum internasional.
Jika pihak berwenang menganggap mereka masuk “secara ilegal”, misalnya jika penyintas perdagangan manusia Rohingya dianggap sebagai migran selundupan, maka mereka dapat ditahan selama bertahun-tahun.
Indonesia belum memiliki rezim perlindungan hukum terhadap pengungsi. Namun sudah lama memiliki pengaturan tentang perdagangan orang (UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang) dan penyelundupan manusia (diatur dalam UU No. 6 tahun 2011 tentang Imigrasi).
Pasal 120 ayat (1) UU No. 6 tahun 2011 tentang Imigrasi menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan yang bertujuan mencari keuntungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk diri sendiri atau untuk orang lain dengan membawa seseorang atau kelompok orang, baik secara terorganisasi maupun tidak terorganisasi, atau memerintahkan orang lain untuk membawa seseorang atau kelompok orang, baik secara terorganisasi maupun tidak terorganisasi, yang tidak memiliki hak secara sah untuk memasuki Wilayah Indonesia atau keluar dari Wilayah Indonesia dan/atau masuk wilayah negara lain, yang orang tersebut tidak memiliki hak untuk memasuki wilayah tersebut secara sah, baik dengan menggunakan dokumen sah maupun dokumen palsu, atau tanpa menggunakan Dokumen Perjalanan, baik melalui pemeriksaan imigrasi maupun tidak, dipidana karena Penyelundupan Manusia dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
Kasus nyata yang sudah menerapkan pasal di atas adalah pada 2021 di Pengadilan Negeri Lhok Sukon Aceh.
Pada Juni 2021, empat orang penyelundup 99 warga etnis Rohingya ke Aceh dihukum masing-masing 5 tahun penjara. Mereka dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana penyelundupan manusia.
Keempat terdakwa adalah A, FA, AA dan seorang warga Rohingya di Medan, Sumatera Utara, bernama Shahad Deen. Mereka diadili di Pengadilan Lhoksukon, Aceh Utara, dalam berkas terpisah (detiknews, 17/06/ 2021).
Dalam persidangan, tiga warga Aceh dituntut masing-masing 6 tahun penjara. Jaksa penuntut umum (JPU) menuntut mereka dengan Pasal 120 ayat (1) UU RI No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.