Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hamid Awaludin

Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia.

Pengakuan Agus Rahardjo Vs Penyangkalan Jokowi

Kompas.com - 07/12/2023, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERHATIAN publik yang belakangan ini sangat menonjol adalah auman mantan Ketua KPK, Agus Rahardjo.

Orang yang dikenal lurus ini membuat kejutan dengan pengakuannya bahwa ia pernah dimarahi oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena tidak mau menghentikan penyidikan kasus Setya Novanto terkait kasus korupsi e-KTP.

Baca juga: Agus Rahardjo Ungkap Saat Jokowi Marah, Minta KPK Setop Kasus E-KTP Setya Novanto

Pihak Istana membantah bahwa pertemuan yang dimaksudkan oleh Agus tidak pernah tercatat.

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menyampaikan keterangan pers tentang Operasi Tangkap Tangan (OTT) pengurusan izin impor bawang putih di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (8/8/2019). KPK menetapkan enam orang tersangka dalam kasus dugaan pengurusan kuota dan izin impor bawang putih tahun 2019 di antaranya I Nyoman Dhamantra dan pemberi suap pemilik PT Cahaya Sakti Agro CFU alias Afung dengan barang bukti uang 50 ribu dolar Amerika serta bukti transfer sebesar Rp 2,1 miliar.ANTARA FOTO/DHEMAS REVIYANTO Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menyampaikan keterangan pers tentang Operasi Tangkap Tangan (OTT) pengurusan izin impor bawang putih di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (8/8/2019). KPK menetapkan enam orang tersangka dalam kasus dugaan pengurusan kuota dan izin impor bawang putih tahun 2019 di antaranya I Nyoman Dhamantra dan pemberi suap pemilik PT Cahaya Sakti Agro CFU alias Afung dengan barang bukti uang 50 ribu dolar Amerika serta bukti transfer sebesar Rp 2,1 miliar.
Menteri Sekretaris Negara Pratikno, yang katanya ikut mendampingi Presiden Jokowi, mengaku lupa dengan kejadian tersebut. Ini adalah sikap yang berikhtiar mencari posisi aman.

Yang hebat, reaksi Presiden Jokowi: “Pak Setya Novanto juga sudah dihukum, divonis berat, 15 tahun. Terus untuk apa diramaikan itu? Kepentingan apa diramaikan itu? Untuk kepentingan apa?”

Baca juga: Jawab Agus Rahardjo, Jokowi: Untuk Kepentingan Apa Kasus Setya Novanto Diramaikan?

Singkatnya, Yang Mulia Presiden RI menyangkal terlibat atau mengintervensi kasus Setya Novanto.

Presiden, karena itu, mengharapkan isu Setya Novanto ini, dihentikan dan tak perlu lagi diwacanakan lagi. Enough and enough. Begitu kira-kira jalan pikiran presiden.

Posisi dan sikap presiden yang diekspresikan itu, secara logika, belum menjawab persoalan sepenuhnya.

Masalahnya, kasus Setya Novanto memang diproses dan dihukum. Ia pun sedang menjalani hukuman tersebut hingga kini.

Namun, proses dan penghukuman itu bukan dari presiden, tetapi yang melakukannya adalah KPK. Di sinilah masalahnya.

Saat Agus bertemu Presiden Jokowi, Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) kasus e KTP dengan tersangka Setya Novanto sudah terbit tiga minggu sebelumnya.

Sementara, saat itu dalam aturan hukum di KPK tidak ada mekanisme Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Jadi, penyidikan harus tetap berjalan.

Untuk diproses dan dihukum, sekali lagi, menurut pengakuan Agus Rahardjo, Presiden Jokowi marah dan minta diberhentikan proses itu. Artinya, justru terbalik dengan pernyataan presiden.

Proses hukum dan penghukuman atas diri Setya Novanto, sama sekali tidak ada peran presiden. Justru sebaliknya yang terjadi: Presiden mengharapkan penyidikan dihentikan.

Pernyataan Agus Rahardjo tersebut disahuti dan diaminkan oleh dua orang mantan komisioner KPK, Alex Marwata dan Saut Situmorang.

Baca juga: Alex dan Saut Juga Mendengar Cerita Agus Dimarahi dan Diperintah Jokowi Hentikan Kasus Setnov

Keduanya pernah diberitahu oleh Agus Rahardjo tentang pertemuan dirinya dengan presiden serta bagaimana reaksi presiden saat pertemuan itu.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said memenuhi panggilan Mahkamah Kehormatan Dewan dalam sidang terbuka di Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (2/12/2015). Sudirman memberi keterangan sebagai pelapor yang mengadukan Ketua DPR Setya Novanto dengan sangkaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla terkait permintaan saham Freeport. KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMOKRISTIANTO PURNOMO Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said memenuhi panggilan Mahkamah Kehormatan Dewan dalam sidang terbuka di Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (2/12/2015). Sudirman memberi keterangan sebagai pelapor yang mengadukan Ketua DPR Setya Novanto dengan sangkaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla terkait permintaan saham Freeport. KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO
Satu hal lagi yang patut mendapat agenda untuk diwacanakan, adalah pengakuan mantan Menteri ESDM, Sudirman Said.

Orang yang sangat jujur dan lurus ini, juga mengakui bahwa Presiden Jokowi pernah meninggikan suaranya karena Sudirman Said melaporkan Setya Novanto ke Mahkamah Kehormatan DPR RI karena ada rekaman yang memperdengarkan suara Setya Novanto, meminta saham Freeport atas nama presiden dan wakil presiden.

Kasus ini dikenal dengan nama “Papa minta saham.”

Pangkalan pendaratan dari pengakuan kedua orang tersebut, adalah sama. Publik menilai dan berkesimpulan, Presiden Jokowi amat terampil memerintah dan cekatan mendiktekan kehendak.

Dan yang paling penting, dan ini mana tahan, Jokowi memiliki talenta luar biasa untuk mengelakkan diri dari hal ikhwal. Begitu kesan banyak orang sekarang.

Ikhwal penyangkalan Istana tentang terjadinya pertemuan Agus Rahardjo dengan presiden, ini juga sangat rapuh.

Sudirman Said juga pernah menuturkan ke media secara terbuka, pada 6 Oktober 2015, dirinya dipanggil Presiden Jokowi ke Istana. Di sana ada Mensekneg dan Menseskab.

Sudirman, sekitar pukul 20.30, bertemu Presiden Jokowi, membicarakan mengenai desakan memperpanjang kontrak Freeport.

Sudirman mengaku bahwa pertemuan tersebut dianggap oleh Istana tidak pernah ada. Sangat rahasia.

"Sebelum masuk ke ruang kerja, saya dibisiki aspri (asisten presiden), 'Pak menteri, pertemuan ini tidak ada'. Saya ungkap ini karena ini hak publik untuk mengetahui di balik keputusan ini. Jadi bahkan Setneg tidak tahu, Setkab tidak tahu," kata Sudirman Said.

Ini artinya, ada saja pertemuan presiden dengan orang-orang dan waktu tertentu yang tidak dicatat secara administratif. Biar tidak ada pertanggungjawaban bila kelak hari muncul masalah.

Lalu orang pun bertanya, apakah pengakuan Agus Rahardjo dan Sudirman Said itu bisa dipercaya? Apakah tidak ada kemungkinan mereka berbohong?

Orang berbohong bila ada motif. Saya hingga kini, belum menemukan adanya motif kebohongan itu.

Dari segi rekor, Agus Rahardjo dan Sudirman Said nihil cela. Mereka berdua sangat surplus dengan kejujuran.

Keduanya sangat tidak terampil berkata dan bersikap di luar kebenaran. Mereka berdua tidak punya talenta mengelabui publik dengan cara mengabu-abukan kebenaran.

Lagi pula, tatkala Agus Rahardjo memberitahu Alex Marwata dan Saut Sitomorang, saat itu belum ada hiruk pikuk politik yang bisa ditafsirkan bahwa Agus Rahardjo punya motif politik.

Ia menyampaikan peristiwa yang dialiminya itu kepada kedua koleganya semata-mata dengan motif pertanggungjawaban kolegial semata.

Dan kedua orang tersebut juga tidak pernah memanfaatkan informasi Agus Rahardjo untuk kepentingan apa pun.

Saya percaya bahwa Agus Rahardjo tidak memiliki nyali berkata tidak jujur pada kedua koleganya saat itu, yang membawa-bawa nama presiden.

Saya hanya khawatir, bisa jadi masalah pengakuan Agus dan penyangkalan Jokowi ini diseret ke ranah politik.

Para politisi di DPR RI bisa saja mengagendakannya secara serius dan sistematis melalui mekanisme interpelasi lalu mendesak agar ada pengusutan lebih lanjut. Ini masalah serius karena pasti akan terjadi kegaduhan.

Pihak Istana harus sungguh-sungguh menyiapkan data otentik yang bisa meyakinkan publik bahwa memang pertemuan yang dimaksud Agus Rahardjo tersebut, tidak pernah terjadi.

Pihak Istana sebaiknya tidak membangun alibi penyangkalan dengan pendekatan administrasi pencatatan jadwal presiden.

Alibi terebut tidak kuat karena faktanya, banyak pertemuan presiden dengan berbagai orang, tidak ada dalam daftar.

Alibi Istana sekarang ini, bisa jadi memicu munculnya gelombang kesaksian pengalaman lain yang menunjukkan bahwa Presiden Jokowi bertemu si Polan, berjumpa si Badu, tanpa ada dalam daftar kegiatan rutin dan formal presiden.

Masalahnya, Menteri Sekretaris Negara Pratikno tidak memberi jawaban pasti tentang kehadirannya. Ia memilih jalan tengah, “lupa kejadiannya.”

Ada baiknya Mensekneg kita ini tidak menjawab dalam wilayah abu-abu yang gampang sekali ditafsirkan secara liar, dan mudah memicu fitnah berkepanjangan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Disambut Hatta Rajasa, Prabowo Hadiri Rakornas Pilkada PAN

Disambut Hatta Rajasa, Prabowo Hadiri Rakornas Pilkada PAN

Nasional
Tambah Dua Tanker Gas Raksasa, Pertamina International Shipping Jadi Top Tier Pengangkut LPG Asia Tenggara

Tambah Dua Tanker Gas Raksasa, Pertamina International Shipping Jadi Top Tier Pengangkut LPG Asia Tenggara

Nasional
Jaksa KPK Diminta Hadirkan Auditor BPK yang Diduga Terima Suap Terkait Temuan 'Food Estate'

Jaksa KPK Diminta Hadirkan Auditor BPK yang Diduga Terima Suap Terkait Temuan "Food Estate"

Nasional
Kakorlantas Minta Personel Pengamanan WWF di Bali Jaga Etika

Kakorlantas Minta Personel Pengamanan WWF di Bali Jaga Etika

Nasional
KPU Pastikan Verifikasi Data Dukungan Calon Perseorangan Pilkada 2024

KPU Pastikan Verifikasi Data Dukungan Calon Perseorangan Pilkada 2024

Nasional
554 Kloter Jemaah Haji Reguler Sudah Kantongi Visa, Siap Berangkat Mulai 12 Mei

554 Kloter Jemaah Haji Reguler Sudah Kantongi Visa, Siap Berangkat Mulai 12 Mei

Nasional
Anggap Wajar Prabowo Wacanakan 41 Kementerian, Demokrat: Untuk Respons Tantangan Bangsa

Anggap Wajar Prabowo Wacanakan 41 Kementerian, Demokrat: Untuk Respons Tantangan Bangsa

Nasional
PAN Gelar Rakornas Pilkada Serentak, Prabowo Subianto Bakal Hadir

PAN Gelar Rakornas Pilkada Serentak, Prabowo Subianto Bakal Hadir

Nasional
KPK Ancam Pidanakan Pihak yang Halangi Penyidikan TPPU Gubernur Malut

KPK Ancam Pidanakan Pihak yang Halangi Penyidikan TPPU Gubernur Malut

Nasional
KPK Sita Aset Gubernur Malut Rp 15 Miliar dari Nilai TPPU Rp 100 Miliar Lebih

KPK Sita Aset Gubernur Malut Rp 15 Miliar dari Nilai TPPU Rp 100 Miliar Lebih

Nasional
Mantu Jokowi Akan Maju Pilkada Sumut, PDI-P Singgung Jangan Ada 'Abuse of Power'

Mantu Jokowi Akan Maju Pilkada Sumut, PDI-P Singgung Jangan Ada "Abuse of Power"

Nasional
Menantu Jokowi Bakal Maju Pilkada Sumut, PDI-P: Jangan Terjadi Intervensi

Menantu Jokowi Bakal Maju Pilkada Sumut, PDI-P: Jangan Terjadi Intervensi

Nasional
Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Nasional
Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Nasional
Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com