JAKARTA, KOMPAS.com - Rancangan Undang-undang (RUU) Daerah Khusus Jakarta (DKJ) dinilai sarat akan transaksi politik. Pasalnya, pembahasan RUU usulan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI ini dilakukan jelang pelaksanaan Pemilu 2024.
“Saya kira kalau dibahas di tengah situasi politik pemilu di mana koalisi dan oposisi partai politik cenderung berubah, maka kebijakan apa pun, termasuk pembahasan RUU tertentu, akan bisa menjadi alat transaksional saja,” kata Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus kepada Kompas.com, Rabu (6/12/2023).
Oleh karena sarat akan nuansa politis, Lucius menduga, perumusan pasal-pasal dalam RUU DKJ bakal lebih mempertimbangkan kepentingan politik dibandingkan aspirasi masyarakat.
“Kalau RUU DKI dibiarkan dibahas sekarang, maka pro kontra pasal-pasalnya akan lebih ditentukan oleh dukungan politik pemilu ketimbang oleh urusan objektif terkait DKI,” katanya.
Hal itu salah satunya dibuktikan dengan wacana penunjukan Gubernur DKI Jakarta oleh Presiden tanpa melalui proses pemilihan yang dimuat dalam RUU DKJ. Menurut Lucius, wacana ini merupakan bentuk kemunduran demokrasi.
Baca juga: Pengamat: Draf RUU DKJ Untungkan Oligarki
Lucius mengatakan, penghapusan pemilihan langsung Gubernur DKI muncul tanpa argumentasi kritis yang kuat dari DPR. Padahal, menurutnya, pemimpin yang ditunjuk oleh Presiden akan melahirkan pemimpin boneka.
Apalagi, jika kekuasaan Presiden cenderung otoriter, pejabat yang ditunjuk akan menjadi pion untuk mewujudkan nafsu kekuasaan Kepala Negara.
Lewat wacana ini, DPR dinilai sekadar ingin mengubah-ubah sesuatu yang sudah baik saja, selagi masih punya wewenang di lembaga legislatif.
“Dan persis alasan pamer wewenang DPR ini yang membuat produk hukum dari DPR cenderung tak kuat, tak berkualitas, dan tak menjamin kepastian hukum. Sebentar-sebentar UU diubah,” ujar Lucius.
Ketimbang membahas RUU DKJ yang pasal-pasalnya berpotensi menimbulkan kontroversi, DPR didorong untuk fokus pada RUU prioritas lain yang lebih dibutuhkan publik dan jauh dari urusan transaksi politik.
“Ini waktu bagi DPR untuk memikirkan legacy periode DPR sekarang bagi publik setelah selama empat tahun bekerja mereka sibuk mendukung rencana Presiden saja,” kata Lucius.
“Ketimbang memunculkan wacana aneh-aneh, sudahlah, DPR sekarang tidak perlu menyentuh itu UU DKI. Tunggu DPR periode baru saja untuk membahas RUU ini sehingga diharapkan ada perubahan pola pikir dari wajah parlemen yang baru,” tuturnya.
Sebelumnya diberitakan, Ketua Panitia Kerja (Panja) DPR terkait RUU DKJ Achmad Baidowi membenarkan bahwa kemungkinan Pemilihan Kepala Daerah di DKI Jakarta dihilangkan setelah tidak lagi menjadi Ibu Kota Negara.
Hal ini mengacu pada draf RUU DKJ yang telah ditetapkan sebagai usul inisiatif DPR dalam rapat paripurna.
Baca juga: Wacana Menghapus Pemilihan Langsung Gubernur DKI di Dalam Draf RUU DKJ
Pasal 10 ayat 2 draf RUU DKJ berbunyi: "Gubernur dan Wakil Gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh Presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD".
Meski menghilangkan pilkada langsung, pria yang karib disapa Awiek itu menegaskan bahwa proses demokrasi tetap berlangsung melalui usulan DPRD.
“Untuk menjembatani keinginan politik antara yang menginginkan kekhususan ditunjuk secara langsung dan kedua supaya kita tidak melenceng dari konstitusi, cari jalan tengah bahwa gubernur Jakarta itu diangkat, diberhentikan oleh presiden dengan memperhatikan usulan atau pendapat dari DPRD," kata Awiek di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (5/12/2023).
“Sehingga usulan atau pendapat dari DPRD itu DPRD akan bersidang siapa nama-nama yang akan diusulkan. Itu proses demokrasinya di situ," sambungnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.