KISAH dapat dituturkan kapan saja. Peristiwa kapan pun bisa dimaklumkan. Cerita, baik faktual maupun fiksi, boleh dibagi-bagi kepada siapa pun, tanpa harus menghitung kapan masa pembagiannya.
Khusus kisah tentang kebenaran, sekali pun itu super rahasia dan sensitif yang melibatkan masalah keamanan dan keselamatan publik di dalamnya, lambat atau tidak, pasti terbuka.
Di banyak negara di dunia ini, selalu ada aturan yang membolehkan membuka dokumen yang berkaitan dengan peristiwa masa silam, setelah sekian lama dokumen-dokumen tersebut mengendap tanpa ada yang boleh mengetahuinya.
Baca juga: Agus Rahardjo Ungkap Saat Jokowi Marah, Minta KPK Setop Kasus E-KTP Setya Novanto
Dalam wawancaranya dengan Rosi di Kompas TV, ia berkisah pernah dipanggil menghadap ke Presiden Jokowi.
Di situ, katanya, presiden menggelegar, marah, karena KPK tidak menghentikan pengusutan kasus Setya Novanto, mantan Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua DPR RI.
Baca juga: Alex dan Saut Juga Mendengar Cerita Agus Dimarahi dan Diperintah Jokowi Hentikan Kasus Setnov
Tirai kisah yang selama ini terselubung, dibuka oleh Agus Rahardjo. Ia seolah berteriak kencang kepada republik ada penggalan kisah tentang pemberantasan korupsi, yang harus diketahui oleh publik.
Dan tokoh yang berkaitan dengan kisah itu, tidak tanggung-tanggung, Presiden Republik Indonesia.
Tentu saja pihak Istana membantahnya dengan alibi, tidak pernah ada dalam catatan administrasi Agus Rahardjo bertemu dengan Presiden Jokowi, yang ketika itu, juga didampingi oleh Mensekneg, Pratikno.
Pratikno mengaku ke media bahwa dirinya sudah lupa dengan kejadian itu.
Belakangan, Jokowi membantah. Ia mengaku memerintahkan Praktikno untuk memeriksa soal pertemuan tersebut. Hasilnya, menurut Jokowi, tidak ada pertemuan seperti yang dijelaskan oleh Agus.
Presiden meminta publik melihat kembali pemberitaan pada November 2017 lalu. Pada saat itu, Jokowi telah meminta agar Setya Novanto menjalani proses hukum hingga akhirnya divonis hukuman 15 tahun penjara.
Saya berusaha tidak memasukkan diri dalam kisah dan bantahan itu. Saya ingin menulis dari aspek kemungkinan saja.
Saya memulai esei dengan pertanyaan dasar: apakah ada sesuatu yang terjadi sehingga Presiden Jokowi bisa ditafsirkan mungkin melindungi Setya Novanto? Untuk pertanyaan ini, ada baiknya kita mundur ke belakang beberapa tahun lalu.