Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Setya Novanto Minta Perlindungan Jokowi Saat Terjerat Kasus E-KTP...

Kompas.com - 01/12/2023, 12:39 WIB
Fitria Chusna Farisa

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus korupsi e-KTP yang menjerat mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Setya Novanto pada tahun 2017 lalu kembali jadi perbincangan.

Baru-baru ini, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019 Agus Rahardjo mengungkap soal peristiwa di balik kasus tersebut. Agus mengaku pernah diminta Presiden Joko Widodo untuk menghentikan kasus ini.

“Saya pikir kan baru sekali ini saya mengungkapkannya di media yang kemudian ditonton orang banyak,” kata Agus dalam wawancara bersama Pemimpin Redaksi Kompas TV Rosiana Silalahi dalam program Rosi yang tayang di Kompas TV, Kamis (30/11/2023).

“Saya terus terang, waktu kasus e-KTP saya dipanggil sendirian oleh presiden. Presiden pada waktu itu ditemani oleh Pak Pratikno (Menteri Sekretaris Negara),” lanjutnya.

Saat itu, Agus merasa heran dirinya dipanggil seorang diri. Sebab, biasanya presiden memanggil lima pimpinan KPK sekaligus.

Baca juga: Agus Rahardjo Ungkap Saat Jokowi Marah, Minta KPK Setop Kasus E-KTP Setya Novanto

Ketika memasuki ruang pertemuan, Agus mendapati Jokowi sudah marah. Agus mengaku, awalnya ia tidak mengerti maksud Presiden.

“Presiden sudah marah, menginginkan, karena baru masuk itu beliau sudah ngomong, ‘hentikan!’,” tutur Agus.

Setelah duduk, barulah Agus paham bahwa Jokowi meminta kasus e-KTP yang menjerat Setya Novanto disetop KPK.

“Kan saya heran, yang dihentikan apanya? Setelah saya duduk ternyata saya baru tahu kalau yang (Jokowi) suruh hentikan itu adalah kasusnya Pak Setnov,” ujarnya.

Namun, Agus menolak perintah Jokowi. Sebab, Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) kasus e-KTP dengan tersangka Setya Novanto sudah terbit tiga minggu sebelumnya.

Sementara, saat itu dalam aturan hukum di KPK, tidak ada mekanisme Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Baca juga: Agus Rahardjo Duga UU KPK Direvisi karena Ditolaknya Perintah Jokowi Hentikan Kasus Setya Novanto

“Saya bicara apa adanya saja bahwa Sprindik sudah saya keluarkan tiga minggu yang lalu di KPK itu enggak ada SP3, enggak mungkin saya memberhentikan itu,” kata Agus.

Kasus korupsi e-KTP itu pun terus bergulir hingga akhirnya Setya Novanto divonis 15 tahun penjara pada 2018 lalu. Berikut kilas balik kasus korupsi e-KTP yang menjerat mantan Ketua Umum Partai Golkar tersebut.

Jalan panjang

Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi e-KTP oleh KPK pada 17 Juli 2017. Keterlibatan Novanto dalam kasus ini terungkap dalam dakwaan dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Sugiharto dan Irman.

Bersama Anas Urbaningrum yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, serta Muhammad Nazaruddin yang kala itu merupakan Bendahara Umum Partai Demokrat, Novanto disebut ikut memuluskan dan mengatur besaran anggaran proyek e-KTP yang nilainya mencapai Rp 5,9 triliun.

Dari anggaran itu, rencananya, 51 persen atau Rp 2,662 triliun akan digunakan untuk belanja modal atau belanja riil pembiayaan proyek e-KTP. Sementara, 49 persen atau sebesar Rp 2,558 triliun, bakal dibagi-bagi ke sejumlah pihak.

Pembagiannya adalah 7 persen (Rp 365,4 miliar) untuk pejabat Kemendagri, 5 persen (Rp 261 miliar) untuk anggota Komisi II DPR, dan 15 persen (Rp 783 miliar) untuk rekanan/pelaksana pekerjaan.

Sedangkan 11 persen (Rp 574,2 miliar) direncanakan untuk Setya Novanto dan pengusaha Andi Narogong, lalu 11 persen (Rp 574,2 miliar) lainnya untuk Anas Urbaningrum dan Muhammad Nazaruddin.

Baca juga: Agus Rahardjo Cerita Saat KPK Diserang Isu Sarang Taliban Sebelum Revisi UU KPK

Oleh KPK, Novanto diduga mengondisikan pemenang lelang proyek e-KTP. Bersama pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, ia disebut ikut menyebabkan kerugian negara hingga Rp 2,3 triliun.

Tak terima atas penetapan dirinya sebagai tersangka, pada September 2017, Novanto mengajukan gugatan praperadilan terhadap KPK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Setelah menjalani serangkaian persidangan, akhir September 2017, PN Jaksel memenangkan gugatan Novanto.

Penetapan Novanto sebagai tersangka oleh KPK dianggap tidak sah alias batal. Hakim juga meminta KPK untuk menghentikan penyidikan terhadap Novanto.

Tak menyerah, 31 Oktober 2017, KPK menetapkan Novanto sebagai tersangka kasus dugaan korupsi e-KTP untuk yang kedua kalinya. Saat itu, KPK mengaku telah mengantongi alat bukti yang cukup.

"Setelah proses penyelidikan dan terdapat bukti permulaan yang cukup dan melakukan gelar perkara akhir Oktober 2017, KPK menerbitkan surat perintah penyidikan pada 31 Oktober 2017 atas nama tersangka SN, anggota DPR RI," ujar Wakil Ketua KPK saat itu, Saut Situmorang, dalam jumpa pers di gedung KPK, Jakarta, Jumat (10/11/2017).

15 November 2017, KPK melakukan jemput paksa ke kediaman Novanto. Ini karena Novanto mangkir dari panggilan pemeriksaan lembaga antirasuah.

Sehari setelahnya atau 16 November 2017, Novanto dikabarkan mengalami kecelakaan mobil. Ia kemudian dilarikan ke Rumah Sakit Medika Permata Hijau, Jakarta Selatan.

17 November 2017, KPK resmi mengeluarkan surat penahanan terhadap Novanto. Ia sedianya ditahan di Rutan Negara Klas I Jakarta Timur Cabang KPK.

Namun, kala itu Novanto masih dibantarkan di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, untuk menjalani perawatan akibat kecelakaan yang ia alami sehari sebelumnya.

Minta perlindungan Jokowi

Atas penetapan tersangka dan penahanan ini, Novanto sempat mengajukan surat perlindungan kepada Presiden Jokowi. Tidak hanya kepada Presiden, Novanto juga mengajukan perlindungan kepada pimpinan lembaga penegak hukum.

"Saya sudah melakukan langkah-langkah, dari melakukan SPDP (surat pemberitahuan dimulainya penyidikan) di kepolisian dan mengajukan surat perlindungan hukum, baik kepada Presiden, Kapolri, maupun Kejaksaan Agung. Saya juga sudah pernah praperadilan," kata Novanto usai menjalani pemeriksaan awal oleh KPK di Gedung KPK, Jakarta, Senin (20/11/2017).

Baca juga: Agus Rahardjo Mengaku Tulis Surat Terbuka ke Jokowi, Tolak Firli Bahuri Pimpin KPK

Sebelum itu, secara terpisah Jokowi meminta Novanto untuk mengikuti proses hukum yang berjalan di KPK. Jokowi menyebut bahwa proses hukum di Indonesia berasaskan keadilan.

"Saya minta Pak Setya Novanto mengikuti proses hukum," ujar Presiden di Gedung Nusantara IV, Kompleks Parlemen, Jumat (17/11/2017).

"Saya yakin proses hukum yang ada di negara ini berjalan dengan baik," ujarnya.

Vonis 15 tahun penjara

Proses hukum terhadap Novanto pun terus berjalan. Mantan anggota Komisi III DPR RI itu menjalani sidang perdana sebagai terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada 13 Desember 2017.

Persidangan di meja hijau berlangsung selama kurang lebih empat bulan. Pada 24 April 2018, Majelis Hakim Tipikor menjatuhkan vonis 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan terhadap Novanto.

Baca juga: Jawab Agus Rahardjo, Istana: Revisi UU KPK Inisiatif DPR, Terjadi Dua Tahun Usai Setya Novanto Tersangka

Menurut majelis hakim, Novanto terbukti melakukan korupsi proyek e-KTP tahun anggaran 2011-2013.

"Menjatuhkan pidana dengan pidana penjara 15 tahun," ujar Ketua Majelis Hakim Yanto saat membacakan amar putusan di Gedung Tipikor, Jakarta.

Novanto juga diwajibkan membayar uang pengganti 7,3 juta dollar AS dikurangi Rp 5 miliar yang telah dititipkan kepada penyidik. Selain itu, majelis hakim mencabut hak politik Novanto selama lima tahun setelah selesai menjalani masa pidana.

Saat ini, Novanto masih menjalani masa pidana di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Ahli Yakin Tol MBZ Tak Akan Roboh Meski Kualitas Materialnya Dikurangi

Ahli Yakin Tol MBZ Tak Akan Roboh Meski Kualitas Materialnya Dikurangi

Nasional
Tol MBZ Diyakini Aman Dilintasi Meski Spek Material Dipangkas

Tol MBZ Diyakini Aman Dilintasi Meski Spek Material Dipangkas

Nasional
Jet Tempur F-16 Kedelepan TNI AU Selesai Dimodernisasi, Langsung Perkuat Lanud Iswahjudi

Jet Tempur F-16 Kedelepan TNI AU Selesai Dimodernisasi, Langsung Perkuat Lanud Iswahjudi

Nasional
Kemensos Siapkan Bansos Adaptif untuk Korban Bencana Banjir di Sumbar

Kemensos Siapkan Bansos Adaptif untuk Korban Bencana Banjir di Sumbar

Nasional
Ahli Sebut Proyek Tol MBZ Janggal, Beton Diganti Baja Tanpa Pertimbangan

Ahli Sebut Proyek Tol MBZ Janggal, Beton Diganti Baja Tanpa Pertimbangan

Nasional
Jokowi Kembali ke Jakarta Usai Kunjungi Korban Banjir di Sumbar

Jokowi Kembali ke Jakarta Usai Kunjungi Korban Banjir di Sumbar

Nasional
26 Tahun Reformasi, Aktivis 98: Kami Masih Ada dan Akan Terus Melawan

26 Tahun Reformasi, Aktivis 98: Kami Masih Ada dan Akan Terus Melawan

Nasional
Dewas KPK Sudah Cetak Putusan Etik Ghufron, tapi Tunda Pembacaannya

Dewas KPK Sudah Cetak Putusan Etik Ghufron, tapi Tunda Pembacaannya

Nasional
Anggota Komisi VIII Kritik Kemensos karena Tak Hadir Rapat Penanganan Bencana di Sumbar

Anggota Komisi VIII Kritik Kemensos karena Tak Hadir Rapat Penanganan Bencana di Sumbar

Nasional
PAN Tak Mau Ada Partai Baru Dukung Prabowo Langsung Dapat 3 Menteri

PAN Tak Mau Ada Partai Baru Dukung Prabowo Langsung Dapat 3 Menteri

Nasional
Ahli Sebut Keawetan dan Usia Tol MBZ Berkurang karena Spesifikasi Material Diubah

Ahli Sebut Keawetan dan Usia Tol MBZ Berkurang karena Spesifikasi Material Diubah

Nasional
PKB Siapkan Ida Fauziyah Jadi Kandidat Cagub Jakarta, Bukan Anies

PKB Siapkan Ida Fauziyah Jadi Kandidat Cagub Jakarta, Bukan Anies

Nasional
PKB Akui Pertimbangkan Airin Jadi Bacagub di Pilkada Banten 2024

PKB Akui Pertimbangkan Airin Jadi Bacagub di Pilkada Banten 2024

Nasional
Bantah Dapat Jatah 4 Menteri dari Prabowo, PAN: Jangan Tanggung-tanggung, 6 Lebih Masuk Akal

Bantah Dapat Jatah 4 Menteri dari Prabowo, PAN: Jangan Tanggung-tanggung, 6 Lebih Masuk Akal

Nasional
Kisah Runiti Tegar Berhaji meski Suami Meninggal di Embarkasi

Kisah Runiti Tegar Berhaji meski Suami Meninggal di Embarkasi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com