Memang, pada saat ini kita tidak lagi berstatus sebagai negara Kolonial. Namun secara substansi, sebenarnya bangsa kita belum sepenuhnya merdeka.
Sebagai contoh, di bidang ekonomi, tingkat kemandirian kita masih sangat minim. Dan premis tentang “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” masih jauh panggang dari api.
Demikian juga di bidang hukum, meski sudah ditetapkan KUHP yang baru, namun hingga saat ini kita masih belum sepenuhnya meninggalkan KUHP terjemahan hukum kolonial yang memang didesain untuk negara jajahan.
Jangan lupa, secara teoritis, hukum adalah instrumen rekayasa sosial. Sehingga wajar bila negara masih menerapkan hukum secara kurang manusiawi.
Sebab KUHP memang didesain untuk membangun tertib sosial di negara jajahan, bukan untuk melayani warga negara.
Dan sebagai dampaknya, entah disengaja atau tidak, konstuksi elite politik kita akhirnya juga membentuk skema imperialisme. Di mana kelas oligarki sangat berkuasa dan bersifat menegasikan terhadap aspirasi publik.
Bila merujuk pada analisis Soekarno, ternyata gugus persoalan yang kita lihat sekarang di Indonesia, tidak jauh berbeda dengan yang ada di banyak negara lain, khususnya negara dunia ketiga. Teori-teori kritis menyebut fenomena ini dengan istilah “post-kolonialisme”.
Teori ini meyakini bahwa praktik kolonialisme sebenarnya masih terus berlangsung hingga sekarang, namun dengan metode dan modus operandi yang berbeda.
Sama seperti masa lalu, mereka juga menggunakan sejumlah instrumen politik, ekonomi, perdagangan, hukum, dan kebudayaan untuk melestarikan eksistensinya.
Salah satu ciri umum yang menjadi indikator negara telah tersengat praktik kolonialisme modern, adalah terjadinya anomali dalam perilaku kenegaraannya.
Sebagai contoh, bagaimana kita menjelaskan negara yang tiga perempat wilayahnya adalah lautan, tapi impor garam?
Lalu, bagaimana menjelaskan negara kekayaan hayati lautannya sedemikian kaya, namun masyarakatnya mendapatkan protein bukan dari ikan, tapi dari daging sapi yang diimpor dari negara lain. Impor daging pun, ternyata dikorupsi oleh pihak-pihak tidak bertanggungjawab.
Maka, sehubungan dengan peringatan pledoi Indonesia menggugat 93 tahun yang lalu, ada baiknya hal ini menjadi renungan kebangsaan kita. Sudah selayaknya kita berusaha memetakan secara lebih strategis arah masa depan bangsa kita.
Secara jujur, membaca kembali pledoi “Indonesia Menggugat” hari ini, rasanya seperti “Indonesia digugat”.
Argumentasi Soekarno di ruang pengadilan Belanda 93 tahun yang lalu, seperti menggugat ke-ontentik-an kita sebagai pewaris bumi nusantara, sebagai bangsa Indonesia.