Indonesia punya catatan sejarah bagaimana wakil presiden harus naik menggantikan presiden. Yaitu ketika Habibie menggantikan Presiden Soeharto yang lengser akibat gerakan reformasi 1998, dan Megawati menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid yang dimakzulkan tahun 2001.
Dalam dua pengalaman itu, para wakil presiden dengan kapasitas yang dimiliki, dapat menjalankan pemerintahan dengan baik, dan turut melahirkan kepemimpinan yang baru secara demokratis.
Konteks ini menunjukan bahwa presiden sebagai “presidential political leader” memiliki kedudukan penting, tapi wakil presiden adalah penopang utama.
Sehingga presiden dan wakil presiden kerap pula disebut dwitunggal, selain menandai pasangan proklamator Soekarno-Hatta yang fenomenal, juga menunjukan kedua jabatan tertinggi eksekutif ini harus melengkapi, bukan sekadar hitungan efek elektoral.
Pentingnya jabatan wakil presiden dalam sistem presidensial juga bisa dilihat dari Amerika. Negara yang kerap menjadi benchmark demokrasi Indonesia ini, presiden dan wakil presiden-nya selalu merupakan sosok yang sama-sama kuat dalam kapasitas.
Hal ini barangkali juga karena Negeri Paman Sam itu punya sejarah panjang beberapa kali wakil presiden-nya harus naik menggantikan presiden yang berhalangan tetap karena berbagai alasan.
Seperti Millard Fillmore menggantikan Presiden Zachary Taylor yang meninggal tahun 1850, Andrew Johnson menggantikan Presiden Abraham Lincoln yang terbunuh tahun 1865, dan Theodore Roosevelt menggantikan Presiden William McKinley yang juga terbunuh tahun 1901.
Berikutnya Calvin Coolidge menggantikan Presiden Warren G. Harding setelah kematiannya tahun 1923 dan Harry S. Truman menggantikan Presiden Franklin D. Roosevelt yang meninggal tahun 1945.
Selanjutnya Lyndon B. Johnson yang naik menggantikan Presiden John F. Kennedy tahun 1963 setelah Kennedy terbunuh, dan Gerald Ford yang menggantikan Presiden Richard Nixon tahun 1974 setelah Nixon mengundurkan diri dari jabatannya.
Selain Amerika, sejumlah negara dengan sistem pemerintahan presidensial atau semi presidensial juga punya pengalaman yang serupa.
Seperti Argentina pada 2001, Wakil Presiden Adolfo Rodríguez Saá diangkat sebagai Presiden menggantikan Fernando de la Rúa yang harus mengundurkan diri karena krisis ekonomi.
Negara tetangga kita Filipina juga, ketika tahun 2001 Wakil Presiden Gloria Macapagal-Arroyo naik menggantikan Presiden Joseph Estrada yang mundur karena adanya protes rakyat yang luas.
Begitu pula dengan Brasil, punya pengalaman politik yang sama, yaitu pada 2016 Wakil Presiden Michel Temer naik menggantikan Presiden Dilma Rousseff yang diberhentikan melalui proses pemakzulan.
Semua memberikan gambaran bahwa dalam sistem presidensial, wakil presiden keberadaanya dapat memberikan kepastian kelangsungan pemerintahan, terutama dalam situasi darurat atau kekosongan kepemimpinan nasional.
Pun wakil presiden bukan hanya sebagai pengganti atau ‘ban serep’, tetapi juga memiliki peran aktif dalam menjaga stabilitas dan kelancaran suatu pemerintahan demokratik.
Itu berarti dalam pemilu, tentu bukan saja soal siapa calon presiden yang akan dipilih, tapi siapa calon wakil presiden juga perlu dan penting dipertimbangan ketika pemilih berada di bilik suara nanti.
Indonesia sebagai negara besar dengan berbagai kompleksitas, diperlukan kepemimpinan nasional yang kuat, lahir dari proses genuine, bukan kemudian melalui malpraktik electoral oleh pemilih, kontestan, maupun penyelenggara negara.
Sehingga jangan sampai salah pilih, karena sebagai dwitunggal, di pundak presiden dan wakil presiden terpilih nanti, masa depan pengelolaan bangsa ini dipertaruhkan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.