Amalia menyinggung bahwa para peserta pemilu di dunia sudah melirik iklan politik di medsos karena algoritma setiap platform menawarkan iklan tersebut bisa mencapai sasaran/target khalayak yang dikehendaki.
Ini tentu merupakan pilihan yang lebih menjanjikan ketimbang sekadar memasang banner, baliho, atau spanduk di luar ruang.
Amalia menyinggung kasus propaganda/kampanye yang digunakan eks Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, ketika ia itu maju kontestasi sebagai calon presiden (capres) Partai Republik melawan capres Partai Demokrat, Hillary Clinton pada 2016 silam.
Kemenangan Trump, sebagaimana banyak dilaporkan media internasional, ditopang oleh strategi kampanye di medsos yang kontroversial melalui Cambridge Analytica.
"Itulah kenapa pemilu di Amerika Serikat Trump bisa menang dengan ada strategi khusus dalam memanipulasi konten yang mau dia bawa ke pemilih," kata Amalia.
"Trump itu ada konten-konten ke pemilih Demokrat enggak usah memilih karena suaranya Hillary Clinton sudah tinggi. Itu lah kenapa pemilih Demokrat tidak datang ke TPS dan itu memang (hasil) iklan pemilu yang bertarget," ucap dia.
Baca juga: Mengenal Kampanye dan Perbedaannya dengan Propaganda
Amalia menyayangkan bahwa isu strategis dalam rancangan peraturan KPU terkait kampanye di medsos tak menjangkau isu ini.
Dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi II DPR RI bulan lalu, KPU hanya menyampaikan soal rencana menambah jumlah akun yang dapat didaftarkan peserta pemilu untuk kampanye di medsos, dari 10 menjadi 20.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.