SEBAGAI seorang Pollster, mengangkat judul tulisan ini pasti akan ada yang berseloroh, sebagai tulisan yang tendensius, khususnya kandidat capres yang menemukan kampanye-kampanyenya penuh kerumunan.
Kerumunannya lebih bersemangat, tetapi kok capres-cawapresnya masih kalah di survei?
Seperti pernyataan capres Anies Baswedan yang lebih percaya data parsial kerumunan yang ditemuinya dalam kampanye, ketimbang data nasional yang dipotret oleh lembaga survei.
“Kita tahu tantangannya besar, kalau di angka (elektabilitas) dikatakan rendah biarkanlah itu diatas kertas saja,” kata Anies saat menghadiri jalan sehat di kawasan Grand Depok City, Depok, Jawa Barat, pada Sabtu (28/10) lalu.
Capres-cawapres dan barisan pendukung yang terhipnotis karena kerumunan massa hingga merasa telah menjadi juara dan mengandaikan ada konspirasi bahwa survei-survei yang ada berkontribusi melemahkan mereka.
Sebelum jauh loncat kesimpulan kesitu, saya izin mengajak untuk berpikir lebih dalam dan menyeluruh.
Dalam hukum besi pemenangan elektoral, jika simulasi dua pasang (head to head) untuk menang minimal angka kemenangan aman (win number) yang harus dikejar adalah 55 persen suara.
Sedangkan tiga pasang untuk melanggeng ke putaran kedua minimal mengantongi 40 persen suara aman.
Presentasi itu sebelumnya dikurangi proyeksi suara tidak sah. Maka dengan pemilih nasional sebanyak 204 juta pemilih, artinya kandidat capres-cawapres butuh 81 juta pemilih untuk lolos putaran kedua, atau 112 juta pemilih untuk menang satu putaran saja.
Nah! sekarang dengan matematika sederhana, coba kita kalkulasi, apakah kerumunan telah melampaui angka kemenangan (win number).
Jika kita simulasikan total 5 bulan kampanye digelar, sebulan sebelum masa kampanye dan empat bulan masa kampanye, dipotong rapat konsolidasi partai, debat kandidat, masa tenang, dan tentu acara personal dan keluarga.
Setiap bulan kita hitung sangat optimal sekitar 20 hari dimanfaatkan kandidat capres-cawapres untuk kampanye, maka dalam 5 bulan terdapat 100 hari kampanye.
Katakanlah setiap hari kampanye dilakukan, kita hitung secara optimal (jika tidak dikatakan berlebihan) dihadiri rata-rata 100.000 kerumunan massa, maka dalam 100 hari kampanye, kerumunan massa yang terlibat baru mencapai 10 juta orang, atau setara dengan 4,9 persen suara nasional.
Angka itu tentu masih jauh dari win number yang harus dicapai. Bahkan jika kita simulasikan kampanye telah dimulai sejak dua tahun, maka baru di angka 20 persen. Apalagi kerumunan yang hadir memiliki beragam motif yang belum tentu sepenuhnya memilih.