JAKARTA, KOMPAS.com - Eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman merasa difitnah secara keji dengan opini publik dan putusan Majelis Kehormatan MK (MK) yang menyatakannya melanggar etik berat.
Dalam jumpa pers tanpa kesempatan bertanya, Rabu (8/11/2023), Anwar menyebut kata "fitnah" sedikitnya 8 kali dalam 17 butir poin keterangannya.
"Fitnah yang dialamatkan kepada saya, terkait penanganan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, adalah fitnah yang amat keji, dan sama sekali tidak berdasarkan atas hukum," kata Anwar.
"Saya tidak akan mengorbankan diri saya, martabat saya, dan kehormatan saya, di ujung masa pengabdian saya sebagai hakim, demi meloloskan pasangan calon tertentu," lanjutnya.
Baca juga: MKMK: Anwar Usman Terbukti Bujuk Hakim Lain soal Putusan Batas Usia Cawapres
Anwar mengeklaim, dirinya telah mendapatkan kabar soal skenario politisasi dengan menjadikan dirinya obyek dalam putusan MK tersebut, termasuk soal rencana pembentukan MKMK.
"Telah saya dengar jauh sebelum MKMK terbentuk," ujar dia.
"Namun, meski saya sudah mendengar ada skenario yang berupaya untuk membunuh karakter saya, tetapi saya tetap berbaik sangka, ber-husnuzon, karena memang sudah seharusnya begitulah cara dan karakter seorang muslim berpikir," kata Anwar.
Ia juga merasa difitnah oleh publik menggunakan dalil-dalil agama untuk kepentingan dirinya dan keluarganya.
Dalam beberapa kesempatan, Anwar memang kerap menyampaikan nukilan cerita di dalam Al Quran dan kisah para sahabat nabi tentang pentingnya menegakkan keadilan tanpa pandang bulu.
Padahal, menurut dia, hal tersebut senantiasa menjadi pegangannya, terlebih menilik latar belakangnya sebagai guru agama.
"Saat ini, harkat, derajat, martabat saya sebagai hakim karier selama hampir 40 tahun, dilumatkan oleh fitnah yang keji. Tetapi, saya tidak pernah berkecil hati dan pantang mundur dalam menegakkan hukum dan keadilan di negara tercinta," kata Anwar.
Baca juga: Mengapa Pencalonan Gibran Jalan Terus meski Anwar Usman Terbukti Langgar Etik?
Ia kembali menegaskan bahwa gugatan soal usia minimum capres-cawapres di MK menyangkut norma bukan kasus konkret.
Pengambilan putusan pun harus kolektif kolegial oleh 9 hakim konstitusi bukan oleh ketua semata.
Ia juga menekankan, pada akhirnya, yang menentukan presiden dan wakil presiden terpilih adalah rakyat dengan hak pilihnya.
"Saya tidak pernah berkecil hati sedikit pun, terhadap fitnah yang menerpa saya, namun fitnah keji yang menerpa saya, bahwa saya memutus perkara tertentu berdasarkan kepentingan pribadi dan keluarga, hal itulah yang harus diluruskan," pungkas Anwar.