JAKARTA, KOMPAS.com - Sosok Anwar Usman menjadi perhatian utama usai Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
Anwar terbukti melanggar kode etik dan sederet prinsip profesi terkait uji materi pasal syarat batas usia calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres).
Akan tetapi, Anwar tetap menjabat sebagai hakim konstitusi dengan konsekuensi dilarang ikut menangani perkara terkait syarat batas usia capres-cawapres, serta sengketa pemilihan umum legislatif DPR dan DPRD, pemilihan DPD, pemilihan presiden, serta pemilihan kepala daerah.
Baca juga: Eks Hakim MK Sarankan Anwar Usman Mundur, Singgung Budaya Malu
“Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan ketua mahkamah konstitusi kepada hakim terlapor,” kata Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie, dalam sidang yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (7/11/2023).
Putusan MKMK itu turut memberikan kesan ternyata penanganan perkara uji materi nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) tidak dilakukan dengan baik yang dampaknya cukup besar terhadap situasi politik menjelang pemilihan presiden.
Di sisi lain, sosok Anwar juga menjadi sorotan setelah menikah dengan Idayati, adik dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Baca juga: Anwar Usman Diberhentikan karena Pelanggaran Berat, Eks Hakim MK: Cukup Fair
Anwar berkecimpung menjadi Hakim Konstitusi sejak 6 April 2011.
Anwar kemudian terpilih menjadi Ketua MK pada periode 2 April 2018-2 Oktober 2020.
Dia kemudian menikah dengan Idayati pada 26 Mei 2022 di Grha Saba Buana, Kota Solo, Jawa Tengah. Keduanya disebut sudah saling kenal sejak 2021.
Saat itu status Anwar adalah duda dengan 3 anak yakni Sheila Anwar, Khairil Anwar, dan Kurniati Anwar. Sedangkan Idayati adalah seorang janda dengan 2 anak, yakni Septiara Silvani Putri dan Adityo Rimbo Galih Samudro.
Baca juga: Gelombang Desakan agar Anwar Usman Mundur dari MK Pun Muncul
Setelah menikah dengan Idayati, Anwar terpilih menjadi Ketua MK periode 2023-2028 pada 15 Maret 2023 lalu.
Saat itu dia terpilih melalui 3 kali pemungutan suara karena dalam 2 voting sebelumnya selalu imbang dengan pesaingnya, Arief Hidayat.
Alhasil dalam voting ketiga Anwar memperoleh 5 suara, serta Arief memperoleh 4 suara.
Di sisi lain, pernikahan Anwar dengan Idayati menuai kritik. Sejumlah kalangan menyebut pernikahan keduanya sebagai pernikahan politik. Namun, Anwar membantahnya.
"Enggak ada. 3 hal ya, kematian, rezeki, jodoh hak Allah. Kalau kita mengingkari itu, nauzubillah, nanti kita mengingkari Allah," kata Anwar saat itu.
Anwar juga sempat berjanji menjaga integritas sebagai hakim usai pernikahan dengan Idayati.
"Sampai dunia kiamat, Anwar Usman akan tetap taat kepada perintah Allah SWT. Saya hanya tunduk pada konstitusi, pada Undang-Undang Dasar (1945)," ucap Anwar.
Akan tetapi, bantahan itu tidak menyurutkan gelombang desakan supaya Anwar mengundurkan diri dari Ketua MK setelah menikah dengan Idayati karena dikhawatirkan akan terjadi konflik kepentingan.
Baca juga: MKMK Copot Anwar Usman, Syarat Batas Usia Diuji Kembali
Penyebabnya adalah nantinya Anwar akan memimpin lembaga yang menangani persoalan sengketa pemilu legislatif dan DPD, pilpres, sampai pilkada.
Selain itu MK juga mengadili uji materi terhadap sejumlah undang-undang dianggap kontroversial yang dibuat di masa kepemimpinan Presiden Jokowi. Meski begitu, Anwar tetap tidak mundur dari posisi Ketua MK.
Tidak lama kemudian sejumlah pihak mengajukan uji materi terhadap syarat batas usia capres-cawapres. Dari sekian gugatan yang ditangani adalah uji materi nomor perkara 90/PUU-XXI/2023 itu dilayangkan oleh seorang mahasiswa Universitas Surakarta bernama Almas Tsaqibbirru.
Almas merupakan anak dari advokat sekaligus Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman.
Baca juga: Terbukti Lakukan Pelanggaran Etik Berat, Anwar Usman Diminta Sebaiknya Mundur dari MK
Dalam putusannya, MK menyatakan mengabulkan sebagian gugatan.
“Mengadili, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Anwar saat membacakan amar putusan pada 16 Oktober 2023 lalu.
Dalam putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, MK merumuskan sendiri norma bahwa seorang pejabat yang terpilih melalui pemilu dapat mendaftarkan diri sebagai capres-cawapres walaupun tak memenuhi kriteria usia minimum 40 tahun.
Putusan ini memberi tiket untuk putra sulung Jokowi yang juga keponakan Anwar, Gibran Rakabuming Raka, untuk melaju pada Pilpres 2024 dalam usia 36 tahun berbekal status Wali Kota Solo yang baru disandangnya 3 tahun.
Baca juga: Respons Putusan MKMK, MHH PP Muhammadiyah Minta Anwar Usman Mundur dari Hakim MK
Gibran pun secara aklamasi disepakati Koalisi Indonesia Maju (KIM) sebagai bakal cawapres pendamping Prabowo Subianto sejak Minggu (22/10/2023) dan telah didaftarkan sebagai bakal capres-cawapres ke KPU RI, Rabu (25/10/2023).
Alhasil putusan MK memicu perdebatan. Sejumlah pakar hukum tata negara menilai seharusnya yang berwenang mengubah bunyi dari sebuah Undang-Undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah, bukan MK, karena menganut prinsip kebijakan hukum terbuka (open legal policy).
Sejumlah pihak lantas melaporkan dugaan pelanggaran kode etik Anwar ke MK. Pihak-pihak yang mengajukan gugatan adalah praktisi hukum Denny Indrayana serta akademisi pakar tata negara Zainal Arifin Mochtar.
Denny dalam argumentasinya menyebut keikutsertaan Anwar dalam membuat putusan MK terkait syarat batas usia capres-cawapres terindikasi terdapat konflik kepentingan karena Anwar adalah adik ipar Presiden Jokowi sekaligus paman dari Gibran.
Baca juga: MKMK Enggan Ungkap Modus Anwar Usman Sengaja Diintervensi soal Putusan Batas Usia Capres-Cawapres
Denny menilai keikutsertaan Anwar dalam menangani perkara itu melanggar UU Kekuasaan Kehakiman.
Atas berbagai laporan itu, MK kemudian membentuk MKMK pada 23 Oktober 2023. MKMK terdiri dari 3 orang, yaitu mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie, akademisi dan pakar hukum tata negara Bintan Saragih, serta Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams. Tercatat terdapat 14 laporan yang masuk ke MK terkait dugaan pelanggaran etik.
MKMK diberi waktu 30 hari buat bertugas menangani laporan itu. Mereka memulai sidang perdana pada 26 Oktober 2023.
Proses sidang dengan mendengarkan keterangan pelapor dilakukan secara terbuka. Sedangkan sidang terhadap terlapor dilakukan tertutup.
Baca juga: MKMK: Anwar Usman Sengaja Buka Ruang Intervensi soal Putusan Batas Usia Capres-Cawapres
Dalam proses sidang Jimly mengungkap terdapat banyak persoalan terkait pengaduan kode etik.
“Intinya banyak sekali masalah yang kami temukan, jadi dari tiga hakim ini saja muntahan masalahnya ternyata banyak sekali,” kata Jimly.
“Padahal patut diduga ini ada kaitan paling tidak dalam persepsi publik,” ucap Jimly.
MKMK kemudian membacakan putusan sidang yang menyatakan Anwar terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama prinsip ketakberpihakan, prinsip integritas, prinsip kecakapan dan kesetaraan, prinsip independensi, dan prinsip kepantasan dan kesopanan.
Baca juga: Anwar Usman Diberhentikan sebagai Ketua MK, Jimly Asshiddiqie: Yang Salah Kita Katakan Salah
Dalam putusannya, MKMK juga memerintahkan Wakil Ketua MK memimpin penyelenggaraan pemilihan pimpinan MK yang baru dalam waktu 24 jam.
Buntut pelanggaran ini, adik ipar Presiden Joko Widodo tersebut tidak berhak untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan MK sampai masa jabatannya sebagai hakim konstitusi berakhir.
“Hakim terlapor tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta pemilihan gubernur bupati dan wali kota yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan,” tutur Jimly.
Dalam putusan itu terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari Anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) perwakilan akademisi, Bintan Saragih, menilai seharusnya Anwar dijatuhi sanksi pemberhentian tidak dengan hormat.
Baca juga: Anwar Usman Dicopot dari Ketua MK, Yusril: Putusan soal Batas Usia Capres-Cawapres Final
"Karena hakim terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat. Sanksi terhadap pelanggaran berat hanya pemberhentian tidak dengan hormat dan tidak ada sanksi lain sebagaimana diatur pada Pasal 41 huruf c dan Pasal 47 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi," kata Bintan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.