Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Kisah Sang Paman Gibran yang Dicopot Jabatannya

Kompas.com - 08/11/2023, 05:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

"Keadilan adalah hati nurani, bukan hati nurani pribadi tetapi hati nurani seluruh umat manusia. Mereka yang dengan jelas mengenali suara hati nurani mereka sendiri biasanya juga mengenali suara keadilan." - Aleksandr Solzhenitsyn.

HARTA yang ditinggalkannya hanya sepetak rumah yang berdiri di atas lahan seukuran 50 meter persegi di Jogyakarta. Belum lagi, ratusan buku literatur hukum yang tersusun rapi di rumahnya yang sempit.

Bahkan saat bertugas sebagai Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung, sosok kurus dengan busana sederhana yang dikenakannya serta warnanya yang tidak pernah matching itu, sempat mengontrak kamar petakan sederhana di kawasan padat dan kumuh di Kwitang, Senen, Jakarta. Tidak ada karpet apalagi sofa, bahkan tikar pun tiada di kontrakan murah.

Pria kelahiran Situbondo, Jawa Timur itu kesulitan mendapatkan rumah dinas mengingat hakim di Mahkamah Agung enggan beranjak dari rumah dinas yang ditempatinya walau sudah lama pensiun.

Hingga akhir hayatnya pada 28 Februari 2021, tidak ada cerita “cacat” dari figur hakim yang sangat begitu sahaja tersebut.

Tidak pernah diberhentikan dengan hormat karena melanggar etika berat, tetapi yang ada adalah “keharuman” namanya.

Siapa yang tidak kenal dengan Artidjo Alkostar, profil hakim lurus yang begitu mengharamkam suap, sogok, gratifikasi, kongkalingkong, mafia kasus serta ketok hakim bisa diatur dan direkayasa.

Malah kerap, Artidjo memvonis perkara jauh di atas vonis pengadilan di tingkat bawahnya. Pihak yang mengajukan kasasi di Mahkamah Agung merasa menyesal jika ada nama Artidjo di dalam susunan hakim yang akan menangani perkara tersebut.

Di kalangan praktisi hukum, Artidjo bagaikan malaikat yang tidak bisa disentuh apalagi diatur. Integritasnya begitu terpuji dan tidak rajin mengumbar asma Allah serta memuji dirinya sendiri.

Menjadi hakim dianggap Artidjo sebagai “wakil” Tuhan sehingga dalam setiap putusan yang diambilnya, begitu dipertimbangkan dengan rasa keadilan. Bukan karena pengaruh pihak luar atau ada kepentingan kekeluargaan.

Makna filosofis “irah-irah” atau kepala kalimat dalam setiap putusan pengadilan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menguatkan makna bahwa setiap keadilan harus didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.

Makna kalimat tersebut haruslah benar-benar menjadi pedoman dan dasar setiap hakim dalam mengambil putusan perkara yang ditangani. Mungkin inilah yang menjadi pedoman Artidjo dalam memutus setiap perkara. Artidjo begitu takut kepada Tuhan.

Sosok sederhana, bersih dan jujur sekelas Artidjo Alkostar betul-betul langka di zaman sekarang. Selepas purna tugas di 22 Mei 2018 hingga akhir hayatnya, Artidjo mengaku tidak akan lagi berurusan dengan hukum dan memilih tinggal di kampung halamannya.

Artidjo mengisi masa pensiunnya dengan beternak kambing kecil-kecilan dan dibantu para keponakannya mengelola warung kopi sederhana.

Selama pernikahannya dengan Sri Widyaningsih, Artidjo tidak diberi keturunan.

Pelajaran dari Paman Usman

Sesuai dengan irah-irah dalam putusan, sama dengan putusan di MA karena saya hakim konstitusi yang berasal dari MA makai rah-irah putusan MK juga berbunyi demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi putusan itu selain bertanggungjawab kepada bangsa, negara, masyarakat tetapi yang paling utama adalah pertanggungjawaban kepada Allah SWT. Dalam setiap perkara apa pun, itu yang saya lakukan sampai hari ini.

Itulah jawaban yang kerap diulang-ulang oleh Anwar Usman, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang kemarin (7 November 2023), telah dicopot jabatannya oleh Majelis Kehormatan MK saat ditanya wartawan usai putusan uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Putusan MK atas uji materi perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 itulah yang memberi “lapang jalan” bagi Gibran Rakabuming Raka, keponakan Anwar Usman maju sebagai Bakal Cawapres walau usianya di bawah 40 tahun.

Berkat frasa pernah berpengalaman sebagai kepala daerah hasil pemilihan umum dari pemohon seorang mahasiswa perguruan tinggi swasta yang mengagumi Gibran, uji materi ini “diloloskan” berkat intervensi dan “cawe-cawe” Anwar Usman.

Tidak salah jika Majelis Kehormatan MK menilai adik ipar Presiden Jokowi itu terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik atas uji materi dan pantas diberi sanksi pencopotan jabatan.

Anwar Usman juga melanggar prinsip-prinsip ketakberpihakan, integritas, kecakapan dan keseteraan, independensi serta kepantasan dan kesopanan.

Dalam dua hari, MK akan mengadakan pemilihan Ketua MK yang baru dan Anwar Usman tidak berhak mencalonkan dan dicalonkan sebagai pimpinan MK sampai masa jabatannya sebagai hakim konstitusi berakhir.

Suami Idayati, yang juga tante dari Wali Kota Solo, Gibran itu tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan perkara perselisihan hasil pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota DPR, DPD dan DPRD serta pemilihan kepala daerah yang memiliki potensi benturan kepentingan.

Sebetulnya putusan Majelis Kehormatan MK tersebut tergolong “ringan“. Pendapat berbeda atau dissenting opinion dari anggota Majelis Kehormatan MK perwakilan akademisi, Bintan Saragih malah berpendapat hendaknya Anwar Usman dipecat dengan tidak hormat.

Mengapa Anwar Usman tidak diberhentikan saja dengan tidak hormat? Tentu saja alasan mencegah adanya banding atas putusan Majelis Kehormatan MK tersebut dimaksudkan agar putusan segera berkekuatan hukum tetap dan memberi kepastian hukum.

Terlepas dari putusan Majelis Kehormatan MK itu mengundang perdebatan, maka masih dibutuhkan “kewarasan” dan “sikap kesatria” dari seorang Anwar Usman untuk lebih baik memilih mundur dari MK.

Selain menjaga marwah, martabat dan kehormatan MK itu sendiri, langkah mundur dari Anwar Usman juga dimaksudkan untuk memulihkan kepercayaan publik yang demikian “hancur” melihat MK.

Mulai dari sebutan Mahkamah Keluarga, mengubah penamaan di peta online Google Maps serta olok-olok kasih sayang paman terhadap keponakan dalam bentuk memelesetkan lagu, meme hingga sumpah serapah begitu menistakan institusi penjaga konsitusi yang agung itu.

Dalam sejarah peradilan kita sejak dulu hingga kini, kasus “Paman” yang memberikan kasih sayang “berlebihan” terhadap keponakan begitu menjatuhkan derajat hakim di titik nadir yang memalukan.

Keagungan dan kesakralan yudikatif begitu tidak berdaya atas “cawe-cawe” eksekutif dan legeslatif.

Biar rakyat mengadili

Putusan Majelis Kehormatan MK yang tidak menyentuh sama sekali putusan uji materi yang meloloskan Gibran dan dihasilkan dari ulah Anwar Usman yang melakukan pelanggaran berat tentu saja mengundang tanya.

Jika Ketua Majelis Kehormatan MK Prof JImly Asshidiqie berdalil putusannya hanya berkutat soal etika dan tidak menyentuh pokok perkara yang dihasilkan dari perbuatan hakim yang melanggar etika berat, maka publik kini hanya bisa berharap kepada para pemilik suara di Pilpres 2024 nanti.

Dengan demikian, Gibran bisa melenggang menjadi bakal Cawapres pendamping Capres Prabowo Subianto adalah produk dari putusan MK yang ketuanya terbukti melakukan pelanggaran berat soal etika.

Terbukti Gibran bisa menjadi bakal Cawapres karena peran sang paman yang menerabas semua prinsip tentang perilaku hakim konstitusi yang termaktub dalam Sapta Karsa Utama.

Sekali lagi, pesan moral dari aib yang memalukan ini adalah tidak ada “kebohongan” yang sempurna. Setiap kebohongan yang akan disembunyikan, membutuhkan ribuan kebohongan lain untuk menutupinya.

Kita sudah banyak belajar dari kisah keponakan yang cepat dilambungkan; peran paman yang kebablasan; suami keponakan yang jumawa; keponakan lain yang “tengil”; serta kakak ipar yang menyebut pihak lain kerap mempertontonkan drama serta sinetron sementara dirinya adalah sutradara dari semua drama dan sinteron yang dipentaskan.

Ketika salah satu penopang ambisi untuk terus berkuasa telah tertebas dan jatuh hina tak berdaya, yakinlah sang sutradara masih akan memainkan bidak-bidak catur kekuasaan demi syahwat kekuasaan dinasti terus bercokol di negeri subur tetapi rakyatnya masih banyak yang kelaparan.

Satyam eva jayate, hanya kebenaran yang berjaya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bamsoet Sebut Golkar Siapkan Karpet Merah jika Jokowi dan Gibran Ingin Gabung

Bamsoet Sebut Golkar Siapkan Karpet Merah jika Jokowi dan Gibran Ingin Gabung

Nasional
ICW Desak KPK Panggil Keluarga SYL, Usut Dugaan Terlibat Korupsi

ICW Desak KPK Panggil Keluarga SYL, Usut Dugaan Terlibat Korupsi

Nasional
Jokowi Masih Godok Susunan Anggota Pansel Capim KPK

Jokowi Masih Godok Susunan Anggota Pansel Capim KPK

Nasional
Bamsoet Ingin Bentuk Forum Pertemukan Prabowo dengan Presiden Sebelumnya

Bamsoet Ingin Bentuk Forum Pertemukan Prabowo dengan Presiden Sebelumnya

Nasional
Senyum Jokowi dan Puan saat Jumpa di 'Gala Dinner' KTT WWF

Senyum Jokowi dan Puan saat Jumpa di "Gala Dinner" KTT WWF

Nasional
ICW Minta MKD Tegur Hugua, Anggota DPR yang Minta 'Money Politics' Dilegalkan

ICW Minta MKD Tegur Hugua, Anggota DPR yang Minta "Money Politics" Dilegalkan

Nasional
Momen Jokowi Bertemu Puan sebelum 'Gala Dinner' WWF di Bali

Momen Jokowi Bertemu Puan sebelum "Gala Dinner" WWF di Bali

Nasional
Anak SYL Percantik Diri Diduga Pakai Uang Korupsi, Formappi: Wajah Buruk DPR

Anak SYL Percantik Diri Diduga Pakai Uang Korupsi, Formappi: Wajah Buruk DPR

Nasional
Vibes Sehat, Perwira Pertamina Healing dengan Berolahraga Lari

Vibes Sehat, Perwira Pertamina Healing dengan Berolahraga Lari

Nasional
Nyalakan Semangat Wirausaha Purna PMI, Bank Mandiri Gelar Workshop “Bapak Asuh: Grow Your Business Now!”

Nyalakan Semangat Wirausaha Purna PMI, Bank Mandiri Gelar Workshop “Bapak Asuh: Grow Your Business Now!”

Nasional
Data ICW: Hanya 6 dari 791 Kasus Korupsi pada 2023 yang Diusut Pencucian Uangnya

Data ICW: Hanya 6 dari 791 Kasus Korupsi pada 2023 yang Diusut Pencucian Uangnya

Nasional
UKT Meroket, Anies Sebut Keluarga Kelas Menengah Paling Kesulitan

UKT Meroket, Anies Sebut Keluarga Kelas Menengah Paling Kesulitan

Nasional
Anies Ungkap Kekhawatirannya Mau Maju Pilkada: Pilpres Kemarin Baik-baik Nggak?

Anies Ungkap Kekhawatirannya Mau Maju Pilkada: Pilpres Kemarin Baik-baik Nggak?

Nasional
MKD DPR Diminta Panggil Putri SYL yang Diduga Terima Aliran Dana

MKD DPR Diminta Panggil Putri SYL yang Diduga Terima Aliran Dana

Nasional
Kemenag: Jemaah Umrah Harus Tinggalkan Saudi Sebelum 6 Juni 2024

Kemenag: Jemaah Umrah Harus Tinggalkan Saudi Sebelum 6 Juni 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com