DI TENGAH riuh-rendah tahun politik menjelang Pemilu 2024, datang kabar yang membawa pedih: 23 orang warga Distrik Amuma, Yahukimo, Provinsi Papua Pegunungan, meninggal karena kelaparan.
Berita ini menyesakkan dada. Ibarat ayam yang mati di lumbung padi, ada warga yang dicekik mati oleh kelaparan di atas tanah yang subur dan kaya-raya. Tambang yang dikelola Freeport saja sudah menghasilkan Rp 140,84 triliun (CNBC Indonesia, 7 Februari 2023).
Agak miris, karena terjadi menjelang puncak tahun politik, ketika janji-janji politik ibarat knalpot bising meraung-raung menawarkan janji surga: kemiskinan nol persen, kedaulatan pangan, dan lain sebagainya.
Lebih miris lagi, ini bukan kejadian sekali, tetapi sudah berkali-kali. Dari penelusuran Kompas, kasus kelaparan sudah terekam di Papua sejak 1982, 1984, 1986, 1992, dan 1997.
Paling mengerikan terjadi pada 1997, kemarau panjang menyebabkan 421 orang meninggal karena kelaparan.
Pascapemberlakuan Otsus, yang disertai penggelontoran dana dari pemerintah Pusat, kasus kelaparan masih terus terjadi di Papua: 2005, 2006, 2009, 2015, 2022, dan 2023. Yang paling mengerikan pada 2009, dengan jumlah korban meninggal sebanyak 92 orang (KataData, 27 Oktober 2023).
Mengapa ada kelaparan di tanah yang sangat kaya? Bagaimana menjelaskannya?
Papua menjadi contoh paling dekat dari apa yang disebut “kutukan sumber daya alam” atau resource curse.
Kutukan sumber daya, istilah yang digunakan pertama kali oleh Richard Auty pada 1993, merujuk nasib negara-negara kaya sumber daya alam, tetapi ekonomi dan penduduknya justru miskin.
Penyebabnya, ekonomi terlalu bertumpu pada ekonomi ekstraktif dengan orientasi ekspor dalam bentuk mentah.
Daratan Papua, yang sekitar 80 persen merupakan tutupan hutan, merupakan rumah 13.634 spesies tumbuhan, 225 jenis mamalia, 602 jenis burung, dan 3000-an spesies ikan.
Bumi Papua juga menyimpan kekayaan berupa minyak bumi, gas alam, emas, tembaga, batubara, nikel, dan lain sebagainya.
Namun, untuk indikator kesejahteraan, nasib orang Papua justru terjerembab. Angka kemiskinan di Papua sebesar 26,03 persen dan Papua Barat 20,48 persen.
Keduanya merupakan yang tertinggi di Indonesia dan jauh di atas angka kemiskinan nasional yang hanya 9,36 persen (BPS, Maret 2023).
Pemerintah boleh menepuk dada dengan keberhasilan menurunkan angka kemiskinan ekstrem nasional menjadi hanya 1,12 persen pada 2023.