Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rudi Hartono
Penulis Lepas dan Peneliti

Penulis lepas dan pendiri Paramitha Institute

Tragedi Kelaparan di Tanah Kaya Sumber Daya

Kompas.com - 07/11/2023, 10:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DI TENGAH riuh-rendah tahun politik menjelang Pemilu 2024, datang kabar yang membawa pedih: 23 orang warga Distrik Amuma, Yahukimo, Provinsi Papua Pegunungan, meninggal karena kelaparan.

Berita ini menyesakkan dada. Ibarat ayam yang mati di lumbung padi, ada warga yang dicekik mati oleh kelaparan di atas tanah yang subur dan kaya-raya. Tambang yang dikelola Freeport saja sudah menghasilkan Rp 140,84 triliun (CNBC Indonesia, 7 Februari 2023).

Agak miris, karena terjadi menjelang puncak tahun politik, ketika janji-janji politik ibarat knalpot bising meraung-raung menawarkan janji surga: kemiskinan nol persen, kedaulatan pangan, dan lain sebagainya.

Lebih miris lagi, ini bukan kejadian sekali, tetapi sudah berkali-kali. Dari penelusuran Kompas, kasus kelaparan sudah terekam di Papua sejak 1982, 1984, 1986, 1992, dan 1997.

Paling mengerikan terjadi pada 1997, kemarau panjang menyebabkan 421 orang meninggal karena kelaparan.

Pascapemberlakuan Otsus, yang disertai penggelontoran dana dari pemerintah Pusat, kasus kelaparan masih terus terjadi di Papua: 2005, 2006, 2009, 2015, 2022, dan 2023. Yang paling mengerikan pada 2009, dengan jumlah korban meninggal sebanyak 92 orang (KataData, 27 Oktober 2023).

Mengapa ada kelaparan di tanah yang sangat kaya? Bagaimana menjelaskannya?

Kutukan sumber daya

Papua menjadi contoh paling dekat dari apa yang disebut “kutukan sumber daya alam” atau resource curse.

Kutukan sumber daya, istilah yang digunakan pertama kali oleh Richard Auty pada 1993, merujuk nasib negara-negara kaya sumber daya alam, tetapi ekonomi dan penduduknya justru miskin.

Penyebabnya, ekonomi terlalu bertumpu pada ekonomi ekstraktif dengan orientasi ekspor dalam bentuk mentah.

Daratan Papua, yang sekitar 80 persen merupakan tutupan hutan, merupakan rumah 13.634 spesies tumbuhan, 225 jenis mamalia, 602 jenis burung, dan 3000-an spesies ikan.

Bumi Papua juga menyimpan kekayaan berupa minyak bumi, gas alam, emas, tembaga, batubara, nikel, dan lain sebagainya.

Namun, untuk indikator kesejahteraan, nasib orang Papua justru terjerembab. Angka kemiskinan di Papua sebesar 26,03 persen dan Papua Barat 20,48 persen.

Keduanya merupakan yang tertinggi di Indonesia dan jauh di atas angka kemiskinan nasional yang hanya 9,36 persen (BPS, Maret 2023).

Pemerintah boleh menepuk dada dengan keberhasilan menurunkan angka kemiskinan ekstrem nasional menjadi hanya 1,12 persen pada 2023.

Namun, angka kemiskinan ekstrem di pulau Papua masih menjulang tinggi: Papua (7,26 persen), Papua Tengah (11,62 persen), Papua Selatan (3,98 persen), dan Papua Pegunungan (16,50 persen).

Jangan lupa juga, meski Papua sangat kaya-raya, angka stuntingnya mencapai 34,6 persen pada 2022. Artinya, 1 dari 3 anak Papua menderita stunting.

Mengapa kekayaan alam yang melimpah tak memberi kemakmuran terhadap rakyat Papua?
Pertama, pendekatan eksploitasi sumber daya alam yang bertumpu pada model ekstraktivisme, yaitu eksploitasi sumber daya alam untuk dijual dalam bentuk bahan mentah ke pasar global.

Ekstraktivisme mengandalkan akuisisi lahan berskala luas, mulai dari mengalihfungsikan kawasan hutan dan pertanian hingga perampasan tanah rakyat. Dalam banyak kasus, ekstraktivisme di Papua berarti penyingkiran dan marginalisasi warga asli.

Data Global Forest Watch menyebutkan, Papua kehilangan 641.400 hektare hutannya sepanjang 2001 hingga 2020. Dengan perincian, Provinsi Papua kehilangan 438.000 hektare hutan, sedangkan Papua barat kehilangan 203.000 hektare.

Yang terjadi, ekspansi ekonomi ekstraktif bukan hanya menyingkirkan orang Papua dari tanahnya, tetapi juga mengacaukan sistem pangan yang sudah diwarisi turun-temurun dan sebagian besar subisten.

Situasi ini diperparah isu penjajahan pangan atau gastronomi, yaitu gelontoran pangan impor/dari luar berkualitas rendah dan instan, seperti indomie dan minuman pemanis.

Di media sosial, gastrokolonial dirayakan ketika seorang anak Papua menukar hasil bumi dengan mie instan.

Kedua, ketergantungan pada ekstraktivisme, yang oleh ekonom Faisal Basri disebut “ekonomi yang mengandalkan otot ketimbang otak”, tidak peduli dengan pembangunan sumber daya manusia.

Angka buta huruf usia 15 tahun ke atas di Papua masih mencapai 18,81 persen pada 2022, merupakan yang tertinggi di Indonesia dan jauh dari rata-rata nasional yang hanya 3,65 persen pada tahun yang sama.

Angka partisipasi kasar di semua jenjang pendidikan di Papua merupakan yang terendah di Indonesia. Data dari akademisi Universitas Papua, Agus Sumule, sebanyak 407.546 warga Papua usia sekolah tidak melanjutkan pendidikan.

Ketiga, ekstraktivisme, yang melekat dengan perburuan rente dan kapitalisme kroni, melahirkan institusi politik yang rapuh dan korup.

Institusi yang rapuh dan korup tidak bisa diharapkan berfungsi efektif untuk melayani kepentingan rakyat Papua dan responsif terhadap isu-isu dari bawah.

Tentu saja, institusi yang rapuh dan korup juga menjadi biang masalah mengapa banyak persoalan rakyat Papua, seperti tragedi kelaparan yang berulang, kurang terespons dan terkelola dengan baik.

Situasi itu diperkeruh dengan pendekatan pemerintah pusat yang seakan meniru cara Hindia-Belanda: merangkul elite-elite lokal. Salah satu bentuknya: gelontoran dana yang sangat besar.

Jangan heran, sepanjang 2002-2021, total dana yang diguyurkan oleh pusat ke Papua sudah mencapai Rp 1.092 triliun, dengan perincian dana otsus Rp 135 triliuan, dana transfer ke kabupaten/kota dari pusat sebesar Rp 702,30 triliun, dan dana transfer lewat kementerian/lembaga sebesar Rp 250 triliun.

Namun, efeknya terhadap perbaikan infrastruktur, layanan publik, hingga kesejahteraan rakyat, sangat minimal.

Sedikit solusi

Persoalan kelaparan di Papua, yang terus berulang, tidak bisa dipisahkan dengan persoalan besar lainnya: marginalisasi ekonomi, kemiskinan, pelanggaran HAM, infrastruktur dan pelayanan publik yang kurang memadai, korupsi, dan konflik bersenjata berkepanjangan.

Bertumpuk-tumpuk masalah itu tak bisa diselesaikan hanya dengan gelontoran uang dan bantuan. Tak cukup dengan seruan memperkuat sistem pangan lokal dan menghidupkan sistem lumbung pangan.

Saya kira perlu ada perombakan dari model ekonomi ekstraktivisme sekarang ini menjadi ekonomi yang lebih produktif dan memberdayakan masyarakat lokal.

Aspek penting lainnya adalah membuka ruang partisipasi dan representasi bagi rakyat Papua dari akar rumput, yang selama ini terabaikan dan terdengar suaranya dalam berbagai perumusan kebijakan politik di tingkat lokal.

Harus ada politik afirmasi untuk mengakomodasi representasi warga asli Papua dari 255 suku asli di Papua.

Ada kebutuhan mendesak untuk segera mengakhiri konflik dengan mengubah pendekatan yang militeristik menjadi dialog seluas-luasnya. Saatnya pemerintah pusat turun ke Papua untuk berdialog dan mendengar suara orang Papua, bukan lagi mengirim TNI-Polri.

Pertama sekali, perlu ada politik pengakuan (rekognisi) terhadap identitas, budaya, sejarah, dan martabat orang Papua. Tidak mungkin ada dialog yang positif untuk mengakhiri konflik tanpa didahului dengan politik rekognisi.

Terakhir, pembangunan Papua ke depan harus meletakkan pembangunan sumber daya manusia sebagai titik pijak untuk kemajuan ekonomi, sosial, politik, dan budaya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Alexander Sarankan Capim KPK dari Polri dan Kejaksaan Sudah Pensiun

Alexander Sarankan Capim KPK dari Polri dan Kejaksaan Sudah Pensiun

Nasional
Draf RUU Penyiaran: Masa Jabatan Anggota KPI Bertambah, Dewan Kehormatan Bersifat Tetap

Draf RUU Penyiaran: Masa Jabatan Anggota KPI Bertambah, Dewan Kehormatan Bersifat Tetap

Nasional
Latihan TNI AL dengan Marinir AS Dibuka, Pangkoarmada I: Untuk Tingkatkan Perdamaian

Latihan TNI AL dengan Marinir AS Dibuka, Pangkoarmada I: Untuk Tingkatkan Perdamaian

Nasional
Siapkan Sekolah Partai untuk Calon Kepala Daerah, PDI-P Libatkan Ganjar, Ahok hingga Risma

Siapkan Sekolah Partai untuk Calon Kepala Daerah, PDI-P Libatkan Ganjar, Ahok hingga Risma

Nasional
Sektor Swasta dan Publik Berperan Besar Sukseskan World Water Forum Ke-10 di Bali

Sektor Swasta dan Publik Berperan Besar Sukseskan World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
BNPB Minta Warga Sumbar Melapor Jika Anggota Keluarga Hilang 3 Hari Terakhir

BNPB Minta Warga Sumbar Melapor Jika Anggota Keluarga Hilang 3 Hari Terakhir

Nasional
Nurul Ghufron Akan Hadiri Sidang Etik di Dewas KPK Besok

Nurul Ghufron Akan Hadiri Sidang Etik di Dewas KPK Besok

Nasional
LHKPN Dinilai Tak Wajar, Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta Dicopot dari Jabatannya

LHKPN Dinilai Tak Wajar, Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta Dicopot dari Jabatannya

Nasional
Alexander Sebut Calon Pimpinan KPK Lebih Bagus Tidak Terafiliasi Pejabat Maupun Pengurus Parpol

Alexander Sebut Calon Pimpinan KPK Lebih Bagus Tidak Terafiliasi Pejabat Maupun Pengurus Parpol

Nasional
Polri Siapkan Skema Buka Tutup Jalan saat World Water Forum di Bali

Polri Siapkan Skema Buka Tutup Jalan saat World Water Forum di Bali

Nasional
KPU: Bakal Calon Gubernur Nonpartai Hanya di Kalbar, DKI Masih Dihitung

KPU: Bakal Calon Gubernur Nonpartai Hanya di Kalbar, DKI Masih Dihitung

Nasional
Korban Meninggal Akibat Banjir Lahar di Sumatera Barat Kembali Bertambah, Kini 44 Orang

Korban Meninggal Akibat Banjir Lahar di Sumatera Barat Kembali Bertambah, Kini 44 Orang

Nasional
KPK Duga Negara Rugi Rp 30,2 M Karena 'Mark Up' Harga Lahan Tebu PTPN XI

KPK Duga Negara Rugi Rp 30,2 M Karena "Mark Up" Harga Lahan Tebu PTPN XI

Nasional
Kejagung Periksa Pihak Bea Cukai di Kasus Korupsi Impor Gula PT SMIP

Kejagung Periksa Pihak Bea Cukai di Kasus Korupsi Impor Gula PT SMIP

Nasional
PDI-P Ungkap Peluang Usung 3 Nama di Pilkada Jabar: Bima Arya, Dedi Mulyadi dan Ridwan Kamil

PDI-P Ungkap Peluang Usung 3 Nama di Pilkada Jabar: Bima Arya, Dedi Mulyadi dan Ridwan Kamil

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com