Jalan pintas yang ditempuh melalui MK memperlihatkan kehendak berkuasa dan mempertahankannya dengan bersandar pada kelicikan dan pengabaian prinsip meritokrasi.
Kekuasaan dipisahkan dari panduan moral, etika, dan nilai luhur bangsa. Padahal, ketika para pendiri bangsa memilih Indonesia sebagai negara demokrasi, diharapkan ini menjadi jalan terbaik untuk memberi kesetaraan kepada semua warga.
Politik dan kekuasaan hendaknya peka terhadap denyut nadi dan aspirasi publik yang tidak menghalalkan segala cara, mengedepankan kepentingan bangsa, dan menjauhkan diri dari KKN.
Orientasi politik dinasti adalah kekuasaan yang mengarah pada Otoritarianisme baru dan sentralisasi kekuasaan. Gejala ini sangat berbahaya bagi masa depan bangsa.
Diamnya sikap Jokowi dan menyerahkan keputusan kepada gabungan partai politik pengusung menjadi alarm bencana demokrasi Indonesia. Jokowi seolah acuh dan tidak peduli terhadap kondisi yang terjadi.
Alih-alih mendengarkan suara publik sebagai acuan kebijakan publik, negara justru memata-matai gerak-gerik warga negara yang mengancam rezim (Dibley dan Ford dalam Piliang, 2023).
Demokrasi berkredo vox populi vox dei. Suara rakyat suara Tuhan. Ketika rakyat sudah bersuara, mesti diberi nilai tertinggi, terkoneksi misi ketuhanan dan ada sakralisasi demokrasi (Nashir, 2020).
Namun yang terjadi adalah pengabaian dan penyelewenangan suara rakyat. Pemimpin demikian bukan hanya gagal dalam melakukan komunikasi, tetapi juga pengkhianatan terhadap demokrasi demi politik dinasti.
Penelitian terkait dengan politik dinasti yang dilakukan oleh Kenawas (2020) mengungkapkan bahwa buruknya institusionalisasi partai politik menjadi salah satu penyebab utama makin banyaknya anggota dinasti politik yang dicalonkan melalui jalur partai (Harjanto 2011, Chibber 2011).
Partai politik cenderung mengambil jalan pintas dengan memajukan bakal calon yang memiliki tingkat keterpilihan yang cukup tinggi karena mudah dikenal masyarakat. Keluarga elite politik berada pada posisi lebih unggul dari kompetitor mereka.
Kondisi tersebut diperparah dengan sistem rekrutmen dan kaderisasi di partai yang cenderung tertutup dan kegagalan partai dalam menanamkan nilai idealisme melalui proses pendidikan internal atau kaderisasi.
Nyaris kita melihat tidak ada partai yang benar-benar secara serius melakukan kaderisasi secara berkelanjutan.
Akhirnya, yang muncul adalah sikap pragmatis, oportunis, hipokrit berkembang, tidak mengindahkan etika dan moralitas dan semakin terpeliharanya sikap negatif dalam individu kader (Noor, 2021).
Idealnya, achieved status menjadi tolok ukur utama dalam penentuan calon pengemban suksesi dan bukan ascribed status (Zuhro, 2023).
KKN yang sudah melekat dalam budaya kita, perlu ada upaya serius dari semua pihak untuk mengikis kebiasaan tersebut. Hal ini tidak dapat kita ubah secara cepat.
Hanya apabila kita memiliki tekad kuat untuk memberantasnya, teladan para pemimpin bangsa sangatlah diperlukan.
Selain itu, reformasi dan pembenahan partai politik menjadi agenda mendesak untuk segera dilakukan guna mengurangi potensi nepotisme yang terus mengakar.
Oleh karenanya pembenahan partai yang dilaksanakan bukan hanya prosedur dan substansi, melainkan penanaman sikap dan nilai.
Hasil riset dan kajian yang dilakukan oleh Firman Noor (2021), setidaknya menawarkan empat kuadran solusi, yakni internal-prosedural, internal-substansial, eksternal-substansial dan eksternal-prosedural.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.