"Saya dulu memilih Jokowi dan bekerja agar dia menang. Tapi kini saya merasa dibodohi. Jika nanti Prabowo-Gibran/Jokowi menang, kita dan generasi anak kita akan mewarisi kehidupan politik yang terbiasa culas, nepotisme yang menghina kepatutan, lembaga hukum yang melayani kekuasaan." – Goenawan Mohamad,
Tangis dan kekecewaan yang teramat dalam, tumpah ruah dari wajah tua budayawan Goenawan Mohamad di acara Rosi yang tayang di Kompas TV, Kamis, 2 November 2023. Dia pantas kecewa dan “patah hati” karena sosok yang dibelanya mati-matian telah berubah.
Bisa jadi, pendiri Majalah Tempo itu terlalu melankolis. Namun, setidaknya sikap keteguhannya adalah gambaran dari saya, Anda serta jutaan warga Indonesia yang sejak lama merindukan hadirnya pemimpin sejati. Yang antara omongan dan tindakan, berjalan identik dan tidak mencla-mencle.
Goenawan Mohamad pantas dan layak menangis karena perjalanan masa lalunya begitu berkelindan dengan berbagai sejarah kelam negeri ini.
Mulai dari transisi pemerintahan Soekarno ke Soeharto yang menyebabkan terjadinya pembantaian massal dengan dalih pemberontakkan Partai Komunis Indonesia (PKI), jatuhnya rezim Soeharto yang dibarengi berbagai amuk massa yang terskenariokan hingga kerusuhan rasial.
Perjuangan reformasi menuntut hapusnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang ikut diperjuangan Goenawan Mohamad membuat dirinya ikut bertanggungjawab atas pilihannya selama ini.
Membela Jokowi awal masa presidensinya di 2014, bahkan konsisten sejak memimpin Surakarta di 2005 dan berlanjut saat didapuk menjadi Gubernur DKI di 2012, sikap keberpihakan Goenawan Mohamad, saya, Anda dan jutaan rakyat Indonesia adalah bukti keinginan Indonesia terlepas dari bayang-bayang KKN.
Perubahan sikap Jokowi yang begitu drastis, yang semula penuh dengan jiwa kerakyatan kini menjadi muka yang penuh ambisi kekuasaan tidak urung membuat Goenawan merasa telah “mutung”.
Rasionalitas berpikir budayawan pendiri Komunitas Salihara itu begitu mudah dicerna oleh nalar sehat dan sederhana.
Dia ingin Jokowi bisa mengakhiri masa kepemimpinan dua periode presiden berakhir dengan catatan sejarah yang elok. Namun rupanya, harapan itu kini ibarat seperti menggantang asap. Semuanya menjadi sia-sia.
Proses “pembegalan” hukum yang terjadi secara vulgar, dipertontonkan oleh pengadil yang tidak adil di Mahkamah Konstitusi (MK). Baik para pemohon, obyek permohonan, hubungan semenda dari Ketua MK Anwar Usman dengan Jokowi menunjukkan adanya satu tujuan kepentingan yang sama, yakni memberi jalan Gibran Rakabuming Raka – putra sulung Jokowi – maju di Pilpres 2024.
Cara instan yang mengabaikan proses pematangan kepemimpinan dari Gibran tentu saja di mata Goenawan Mohamad, saya, Anda dan jutaan rakyat Indonesia tidak pantas dilakukan oleh seorang Jokowi.
Putusan MK yang memberi lapang jalan untuk Gibran – dan jelas didukung penuh oleh Jokowi – begitu mengingkari makna membuka jalan bagi anak muda untuk berkiprah di pentas politik nasional.
Putusan MK bukan menguak munculnya pemimpin muda selain Gibran. Semuanya adalah untuk Gibran.
Kita sepakat, baik Goenawan Mohamad, saya, Anda dan jutaan rakyat Indonesia tampilnya anak muda di panggung politik nasional adalah keharusan dan harus didukung tanpa syarat.
Hanya saja, cara-cara instan yang dipertontokan Jokowi sungguh pengingkaran akan proses lahirnya kepemimpinan Jokowi. Bermula dari Solo, matang di DKI Jakarta dan teruji lagi saat menjabat presiden.
Dari tayangan Rosi yang bertajuk “Rakyat Percaya Siapa: Jokowi, Ketua MK atau Gibran?” tersebut, akhirnya kita bisa meyakini kenyataan atau bahkan ditunjukkan tabiat “asli” dari seorang Jokowi yang selama ini dibela mati-matian oleh Goenawan Mohamad, saya, Anda dan jutaan rakyat Indonesia lainnya.
Goenawan Mohamad begitu bungah saat mendengar cerita rekannya Eri Riyana Hardjapamekas bertemu Jokowi sebelum terbitnya putusan MK yang memuluskan langkah pencawapresan Gibran.
Cerita Eri yang menyebut Jokowi menyambut saran positifnya agar Gibran tidak maju sebagai Cawapres adalah harapan Goenawan Mohamad. Harapannya, Jokowi nantinya meninggalkan legacy.
Bahkan masih dari kisah Eri, Jokowi mendengar masukannya agar Gibran tetap fokus di Solo saja dan kembali ke PDI-P.
Pantas jika raut muka kolomnis “Catatan Pinggir” di Majalah Tempo itu menjadi keluh dan jawabannya begitu lirih melihat kenyataan langkah-langkah Jokowi selanjutnya.
Sebagai jurnalis senior dan paling terkemuka yang masih hidup saat ini, Goenawan tahu betul jejak rekam Prabowo Subianto sehingga dirinya tidak rela Jokowi malah menyandingkannya dengan Gibran.
Sekali lagi, pantas jika Goenawan Mohamad bersedih ketika kebohongan demi kebohongan terus diproduksi demi proses pelanggengan kekuasaan.
Ketika ide jabatan presiden hingga tiga periode dan perpanjangan masa jabatan karena pandemi ditentang keras oleh Megawati Soekarnoputri, PDI-P dan publik, maka menyiapkan Gibran sebagai Cawapres mendampingi Prabowo Subianto tetap saja bisa dianggap sebagai estafet kepemimpinan Jokowi yang dipaksakan.
Cara-cara yang tidak beradab dengan mengakali hukum dan mengonsolidasikan kekuatan besar partai-parai politik serta dukungan aparat yang memihak rezim, tentu saja pantas dirisaukan oleh Goenawan Mohamad, saya, Anda dan jutaan rakyat Indonesia.
Politik belah bambu yang sengaja dimainkan elite-elite sekarang ini, secara sadar dan tidak sadar begitu membahayakan integrasi bangsa. Bayangkan partai yang berseberangan dengan kehendak elite diadu dengan partai orbital sang elite.
Di tingkat akar rumput, pendukung rasional dan pemuja berkaca mata kuda sengaja dibenturkan untuk mendukung langkah pembenar yang ternyata tidak benar. Silih berganti gerbong relawan dikonsolidasikan di Istana untuk mendukung langkah sang putra.
Sementara partai gurem yang telah “diakusisi” lewat putra bungsunya, kini sigap menampung barisan relawan untuk mendukung Gibran.
Dasyatnya, hampir di semua daerah ekspansi dan promosi partai tersebut menghenyak publik karena tetiba “tajir” bisa memasang baliho raksasa di mana-mana.
Jika infrastruktur pemerintahan bisa digalang untuk mendukung eksistensi sang elite, maka jangan hiraukan soal etika pemerintahan mengingat etika sudah mulai dilupakan.
Seorang wakil menteri dengan terang-terangan memimpin rapat penggalangan untuk Gibran.
Wakil menteri yang lain, secara eksplisit di media sosial menyebut acara pembagian sertifikat lahan dengan embel-embel untuk kepentingan Prabowo – Gibran. Tidak ada malu karena mereka merasa harus melakukan itu demi menyenangkan junjungannya.
Ada pertanyaan Rosiana Silalahi yang menghenyakkan pemirsa sekaligus Goenawan Mohamad di acara Rosi tersbut.
Kenapa Goenawan Mohamad baru sekarang “speak up”? Apakah karena dirinya punya preferensi politik yang berbeda dengan Jokowi?
Jawaban Goenawan Mohamad begitu bijak dan itulah yang membedakan Goenawan dengan para Jokower atau pemuja “garis keras” Jokowi yang menganggap Jokowi selalu benar dan tidak ada yang salah (walau salah dan tidak benar sekalipun).
Sembari menahan tangis, Goenawan Mohamad tidak ingin cucu-cucunya kelak mewarisi sistem nilai yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh kekuasaan.
Generasi muda tidak lagi memiliki optimisme bahwa rakyat jelata bisa menjadi pemimpin negeri. Pemilik kekuasaan hanyalah berasal dari keluarga presiden.
Goenawan betul-betul lara, demikian juga saya, Anda dan jutaan rakyat Indonesia ketika melihat Jokowi yang menjadi tumpuan sekaligus harapan akan kepemimpinan yang merakyat kini telah berubah drastis.
Wajahnya tidak seperti dulu yang lugu dan merangkul rakyat dengan tulus. Kini wajah Jokowi penuh dengan ambisi kekuasaan. Dia lupa Goenawan Mohamad, saya, Anda, dan jutaan rakyat Indonesia. Padahal kita semua tidak melupakan Jokowi.
Sudahlah, jangan menangis lagi, Goenawan Mohamad. Ikhlaskan Jokowi menempuh caranya yang dia mau. Dia tidak lagi ingin menulis tinta emas di secarik kertas bertuliskan legacy. Dia hanya ingin menjadi: Raja, selamanya.
“Zaman kemajuan, inilah zaman kemajuan. Ada sirup rasa jeruk dan durian. Ada keripik rasa keju dan ikan. Ada republik rasa kerajaan.” – KH Mustofa Bisri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.