Walhasil, publik dituntut untuk belajar cepat, secepat lompatan beliau, yang terkadang tidak semua pihak mampu melakukan perubahan cara pandang tersebut secara serta merta, tanpa ada momen-momen spesial yang menguatkan keyakinan publik.
Maka tak pelak, lima tahun pertama, Jokowi mencoba terus konsisten dengan proyek infrastruktur masif, untuk meyakinkan publik bahwa beliau mampu memberikan mesin unggul yang akan menggerakkan kendaraan nasional yang bernama pembangunan ekonomi Indonesia.
Banyak pihak terpana, karena rencana besar tersebut diawali dengan pencabutan subsidi energi. Padahal sebenarnya, proyek infrastruktur bukanlah hal baru, semua rezim melakukannya.
Hanya saja, di tangan Jokowi, ada pembesaran alokasi fiskal dan ada pengutamaan keberpihakan untuk infrastruktur, seturut dengan gembar-gembornya.
Proyek-proyek tersebut berjalan seiring dengan rezim inflasi rendah, yang sebenarnya tak melulu bermakna positif karena ditopang dari sisi supply (kebanyakan impor). Setidaknya, publik merasa "secure" bahwa Jokowi ikut berkonsentrasi pada isu stabilisasi harga.
Dan dalam kerangka pikir yang demikian, maka hasil Pilpres 2019 boleh dikatakan bahwa publik sudah memberikan pengakuan atas kapasitas Jokowi sebagai seorang presiden, walaupun sebelumnya selalu beredar angka "approval" publik untuk kinerja Jokowi dari beberapa lembaga survei, yang angkanya konsisten di atas 60 persen.
Pun dalam cara pandang yang sama, bagi Presiden Jokowi (juga Wapres Ma’ruf Amin), lima tahun periode kedua adalah ajang untuk memenangkan pertempuran, yaitu ajang untuk membuktikan bahwa rencana-rencana kebijakan yang telah disodorkan dan diakui publik tersebut akan berbuah kemenangan alias bersesuaian dengan ekspektasi dan kepentingan publik.
Artinya, Jokowi harus membuktikan bahwa rezim infrastruktur akan berbuah pertumbuhan ekonomi yang sepadan, pemerataan yang adil, pembagian kue kekayaan nasional yang berimbang, kapasitas perdagangan nasional mumpuni, pengurangan ketergantungan kepada pasokan impor, kelahiran generasi-generasi muda yang handal, sesuai dengan kebutuhan lokal, nasional, dan global.
Dan rezim inflasi rendah pun demikian, tidak menggerogoti produk-produk dalam negeri, tidak membolongi saku UMKM, usaha mikro, dan pedagang-pedagang kecil.
Sederet tantangan tersebut menunggu Jokowi sebagai penyempurna pengakuan publik, yakni dengan pembuktian-pembuktian sebagaimana yang diekspektasikan. Namun hasilnya nampaknya masih sebatas indah di atas kertas.
Pertumbuhan 7 persen masih mimpi. Rezim infrastruktur hanya memuluskan barang impor untuk masuk dengan harga yang makin bersaing, tapi UMKM lokal semakin banyak yang gigit jari.
Bayangkan, negara sebesar ini toh ujung-ujungnya takut dengan Tiktok Shop.
Hilirisasi masih menjadi ajang mencari kenyang bagi industrialis-industrialis asing. Plus legasi bernama IKN yang entah berasal dari mana awalnya lalu entah mau berakhir di mana ujungnya. Dan deretan panjang persoalan lainnya.
Berlindung di balik semua kompleksitas "ketidakjelasan" yang diaku sebagai "keberhasilan" tersebut, kini sosok berbeda dan inspiratif tersebut tak lagi berbeda dan inspiratif.
Citra orang kebanyakan, yang nampang sederhana dengan kehidupan yang juga berbalut berbagai kesederhanaan, luntur seketika saat Presiden Jokowi menampakan wajah dan gaya "elite-nya" yang terkesan mulai enggan pensiun layaknya orang kebanyakan yang harus pensiun.
Jokowi membiarkan anak-anaknya dipermainkan oleh irama politik yang ditulis pecinta-pecinta kuasa nan rakus, yang sejatinya akan mencoreng "brand" Jokowi nan inspiratif itu persis beberapa saat sebelum masa pensiunnya.
Naik kelas dari "status" pemimpin yang berasal dari orang kebanyakan ke status "non reformis berstempelkan dinasti" memang bisa dihitung sebagai naik kelas.
Tapi dari perspektif demokrasi dan moral, sebenarnya itu bukankah adalah turun kelas? Apalagi tak berbalutkan prestasi yang mentereng.
Hari "gini" masih kepincut politik dinasti, bukan malah makin maju, yang ada adalah makin "kuno" jauh dari inspiratif. Mohon maaf, itu adalah kemunduran, Bapak Presiden, bukan kemajuan.
Lantas dengan latar itu mau menjual narasi Indonesia Maju? Maafkan lagi, saya kira, bukankah hal itu agak sulit diterima?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.