Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Menyayangkan Permisifitas Politik Presiden Jokowi

Kompas.com - 31/10/2023, 05:43 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Walhasil, publik dituntut untuk belajar cepat, secepat lompatan beliau, yang terkadang tidak semua pihak mampu melakukan perubahan cara pandang tersebut secara serta merta, tanpa ada momen-momen spesial yang menguatkan keyakinan publik.

Maka tak pelak, lima tahun pertama, Jokowi mencoba terus konsisten dengan proyek infrastruktur masif, untuk meyakinkan publik bahwa beliau mampu memberikan mesin unggul yang akan menggerakkan kendaraan nasional yang bernama pembangunan ekonomi Indonesia.

Banyak pihak terpana, karena rencana besar tersebut diawali dengan pencabutan subsidi energi. Padahal sebenarnya, proyek infrastruktur bukanlah hal baru, semua rezim melakukannya.

Hanya saja, di tangan Jokowi, ada pembesaran alokasi fiskal dan ada pengutamaan keberpihakan untuk infrastruktur, seturut dengan gembar-gembornya.

Proyek-proyek tersebut berjalan seiring dengan rezim inflasi rendah, yang sebenarnya tak melulu bermakna positif karena ditopang dari sisi supply (kebanyakan impor). Setidaknya, publik merasa "secure" bahwa Jokowi ikut berkonsentrasi pada isu stabilisasi harga.

Dan dalam kerangka pikir yang demikian, maka hasil Pilpres 2019 boleh dikatakan bahwa publik sudah memberikan pengakuan atas kapasitas Jokowi sebagai seorang presiden, walaupun sebelumnya selalu beredar angka "approval" publik untuk kinerja Jokowi dari beberapa lembaga survei, yang angkanya konsisten di atas 60 persen.

Pun dalam cara pandang yang sama, bagi Presiden Jokowi (juga Wapres Ma’ruf Amin), lima tahun periode kedua adalah ajang untuk memenangkan pertempuran, yaitu ajang untuk membuktikan bahwa rencana-rencana kebijakan yang telah disodorkan dan diakui publik tersebut akan berbuah kemenangan alias bersesuaian dengan ekspektasi dan kepentingan publik.

Artinya, Jokowi harus membuktikan bahwa rezim infrastruktur akan berbuah pertumbuhan ekonomi yang sepadan, pemerataan yang adil, pembagian kue kekayaan nasional yang berimbang, kapasitas perdagangan nasional mumpuni, pengurangan ketergantungan kepada pasokan impor, kelahiran generasi-generasi muda yang handal, sesuai dengan kebutuhan lokal, nasional, dan global.

Dan rezim inflasi rendah pun demikian, tidak menggerogoti produk-produk dalam negeri, tidak membolongi saku UMKM, usaha mikro, dan pedagang-pedagang kecil.

Sederet tantangan tersebut menunggu Jokowi sebagai penyempurna pengakuan publik, yakni dengan pembuktian-pembuktian sebagaimana yang diekspektasikan. Namun hasilnya nampaknya masih sebatas indah di atas kertas.

Pertumbuhan 7 persen masih mimpi. Rezim infrastruktur hanya memuluskan barang impor untuk masuk dengan harga yang makin bersaing, tapi UMKM lokal semakin banyak yang gigit jari.

Bayangkan, negara sebesar ini toh ujung-ujungnya takut dengan Tiktok Shop.

Hilirisasi masih menjadi ajang mencari kenyang bagi industrialis-industrialis asing. Plus legasi bernama IKN yang entah berasal dari mana awalnya lalu entah mau berakhir di mana ujungnya. Dan deretan panjang persoalan lainnya.

Berlindung di balik semua kompleksitas "ketidakjelasan" yang diaku sebagai "keberhasilan" tersebut, kini sosok berbeda dan inspiratif tersebut tak lagi berbeda dan inspiratif.

Citra orang kebanyakan, yang nampang sederhana dengan kehidupan yang juga berbalut berbagai kesederhanaan, luntur seketika saat Presiden Jokowi menampakan wajah dan gaya "elite-nya" yang terkesan mulai enggan pensiun layaknya orang kebanyakan yang harus pensiun.

Jokowi membiarkan anak-anaknya dipermainkan oleh irama politik yang ditulis pecinta-pecinta kuasa nan rakus, yang sejatinya akan mencoreng "brand" Jokowi nan inspiratif itu persis beberapa saat sebelum masa pensiunnya.

Naik kelas dari "status" pemimpin yang berasal dari orang kebanyakan ke status "non reformis berstempelkan dinasti" memang bisa dihitung sebagai naik kelas.

Tapi dari perspektif demokrasi dan moral, sebenarnya itu bukankah adalah turun kelas? Apalagi tak berbalutkan prestasi yang mentereng.

Hari "gini" masih kepincut politik dinasti, bukan malah makin maju, yang ada adalah makin "kuno" jauh dari inspiratif. Mohon maaf, itu adalah kemunduran, Bapak Presiden, bukan kemajuan.

Lantas dengan latar itu mau menjual narasi Indonesia Maju? Maafkan lagi, saya kira, bukankah hal itu agak sulit diterima?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik, Diprediksi Terus Bertambah Jelang Pilkada

DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik, Diprediksi Terus Bertambah Jelang Pilkada

Nasional
KPK Bakal Usut Dugaan Oknum BPK Minta Rp 12 Miliar Terkait 'Food Estate' Ke Kementan

KPK Bakal Usut Dugaan Oknum BPK Minta Rp 12 Miliar Terkait "Food Estate" Ke Kementan

Nasional
Pejabat Kementan Tanggung Sewa 'Private Jet' SYL Rp 1 Miliar

Pejabat Kementan Tanggung Sewa "Private Jet" SYL Rp 1 Miliar

Nasional
Pejabat Kementan Tanggung Kebutuhan SYL di Brasil, AS, dan Arab Saudi

Pejabat Kementan Tanggung Kebutuhan SYL di Brasil, AS, dan Arab Saudi

Nasional
Gubernur Maluku Utara Akan Didakwa Terima Suap dan Gratifikasi Rp 106,2 Miliar

Gubernur Maluku Utara Akan Didakwa Terima Suap dan Gratifikasi Rp 106,2 Miliar

Nasional
MK Jadwalkan Putusan 'Dismissal' Sengketa Pileg pada 21-22 Mei 2024

MK Jadwalkan Putusan "Dismissal" Sengketa Pileg pada 21-22 Mei 2024

Nasional
Mahfud Ungkap Jumlah Kementerian Sudah Diminta Dipangkas Sejak 2019

Mahfud Ungkap Jumlah Kementerian Sudah Diminta Dipangkas Sejak 2019

Nasional
Tanggapi Ide Tambah Kementerian, Mahfud: Kolusinya Meluas, Rusak Negara

Tanggapi Ide Tambah Kementerian, Mahfud: Kolusinya Meluas, Rusak Negara

Nasional
[POPULER NASIONAL] Perbandingan Jumlah Kementerian Masa Megawati sampai Jokowi | Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah

[POPULER NASIONAL] Perbandingan Jumlah Kementerian Masa Megawati sampai Jokowi | Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah

Nasional
Tanggal 12 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 12 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 11 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 11 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Demokrat Anggap Rencana Prabowo Tambah Kementerian Sah Saja, asal...

Demokrat Anggap Rencana Prabowo Tambah Kementerian Sah Saja, asal...

Nasional
Indonesia Digital Test House Diresmikan, Jokowi: Super Modern dan Sangat Bagus

Indonesia Digital Test House Diresmikan, Jokowi: Super Modern dan Sangat Bagus

Nasional
Menko Polhukam Harap Perpres 'Publisher Rights' Bisa Wujudkan Jurnalisme Berkualitas

Menko Polhukam Harap Perpres "Publisher Rights" Bisa Wujudkan Jurnalisme Berkualitas

Nasional
Saksi Sebut Kementan Beri Rp 5 Miliar ke Auditor BPK untuk Status WTP

Saksi Sebut Kementan Beri Rp 5 Miliar ke Auditor BPK untuk Status WTP

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com