Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Menyayangkan Permisifitas Politik Presiden Jokowi

Kompas.com - 31/10/2023, 05:43 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BAGI Jokowi, lima tahun pertama di takhta kepresidenan adalah masa penuh perjuangan untuk mendapat pengakuan publik.

Sebagaimana sering diteorikan oleh para pendukungnya, Jokowi datang dari segmen kebanyakan, berpenampilan pun sangat biasa, jika pembandingnya adalah Agus Harimurti Yudhoyono maupun Sandiaga Uno, misalnya.

Kondisi tersebut akhirnya membuat legitimasi Jokowi tak langsung mendarat mulus di hati semua masyarakat Indonesia.

Dibutuhkan banyak terobosan baru untuk menciptakan momen-momen keterpanaan publik, agar pelan-pelan pengakuan masif terkumpul agar menjadi penyempurna legitimasi politiknya di Istana.

Memang, sebagian besar publik dididik dengan kriteria persepsional yang ketat untuk menerima seorang pemimpin. Sejarah pun mengajarkan demikian.

Sekalipun latar belakang Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto terkesan sangat populis, misalnya, tapi rekam jejak dan torehan prestasi mereka mendatangkan prestise elitis tersendiri yang berkelas dunia.

Presiden Soekarno tidak diragukan lagi adalah salah satu tokoh proklamator kemerdekaan negeri ini. Suaranya yang mengaudiokan teks proklamasi dianggap sebagai ‘suara sakti’ pemutus relasi kolonialisme di negeri ini.

Begitu pula dengan Presiden Soeharto. Ia tak berbintang empat kala itu, tapi dia aktor utama pemutus relasi sejarah Indonesia dengan era Orde Lama yang dianggap sudah usang kala itu.

Dan Presiden Soeharto, betapapun kentalnya stigma otoriter yang dilekatkan kepadanya, transformasi dan pembangunan ekonomi Indonesia di era kepemimpinannya cukup diakui dunia.

Pun dengan Presiden Prof BJ Habibie dan Presiden Megawati Soekarnoputri, keduanya bergaris sejarah elite yang cukup kental.

BJ Habibie dipersepsikan sebagai salah satu kader pemimpin teknokrat di bawah binaan langsung Presiden Soeharto.

Seorang bintang yang memperkenalkan teknologi tinggi kepada Indonesia. Bahkan kala itu, publik sempat diperkenalkan dengan konsep pembangunan ala Habibie, dengan sebutan Habibienomics, pembangunan berbasiskan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sementara itu, Megawati Soekarnoputri adalah anak kandung dari Presiden Soekarno. Mengalami alienasi yang cukup akut di era rezim Orde Baru. Dikucilkan dari ruang publik dan dibatasi semua gerakan politiknya, persis seperti yang dialami ayahnya pascatahun 1965.

Amunisi yang sudah ada tersebut bertemu dengan statusnya sebagai seorang perempuan. Maka dengan mudah akan muncul persepsi tentang seorang wanita tangguh, yang dianggap sudah siap menjadi wanita pertama yang menjadi presiden di negeri ini.

Publik cukup arif menerima kala itu mengingat modal sosial, modal sejarah, dan modal politik Megawati Soekarnoputri sangat paripurna sifatnya.

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memang berada agak di luar kedua jalur itu, tapi sebenarnya tidaklah terlalu jauh di luar.

Garis kejenderalan masih terbilang kental melekat di dalam autobiografik politiknya. Selain sebagai perwira tinggi, SBY adalah menantu idaman salah satu tokoh militer negeri ini, Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, perwira tinggi yang memang sempat menjadi bintang pada masa transisi Orde Lama ke Orde Baru.

Pun karena berlatar militer, otomatis perawakan SBY memenuhi langsung kualifikasi persepsional publik yang beranggapan bahwa seorang pemimpin biasanya tegap, badan berisi, tinggi, dada membusung, dan berwajah super serius.

Ada di barisan yang sama dengan SBY adalah Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto, pernah menjadi menantu Presiden Soeharto dan sempat digadang-gadang sebagai the rising star pada masanya.

Lainnya, Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto juga berlatar anak seorang begawan ekonomi masa lalu di negeri ini yang kurang terlalu sejalan dengan pemerintahan Orde Lama, alias kelas elite pada masanya.

Dua latar belakang tersebut menyolidkan potensi garis kepemimpinannya. Tak lupa pula, Prabowo adalah salah satu mantan Danjen pasukan super elite nasional, Kopassus, yang namanya sampai hari ini diukir sangat indah di kesatuan elite tersebut.

Jadi jika kita menggunakan kerangka historis seperti itu dalam melatih "rasa" dan "pola pikir" untuk menerima kehadiran seorang pemimpin, maka kita tidak akan menemui Jokowi di titik kesimpulan.

Harus jujur diakui, memang tidak mudah bagi sebagian kalangan untuk begitu saja menerima seorang presiden yang berlatar belakang seperti Presiden Jokowi. Sekali lagi, memang tak mudah.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Saksi Sebut Kementan Beri Rp 5 Miliar ke Auditor BPK untuk Status WTP

Saksi Sebut Kementan Beri Rp 5 Miliar ke Auditor BPK untuk Status WTP

Nasional
Kasus Dugaan Asusila Ketua KPU Jadi Prioritas DKPP, Sidang Digelar Bulan Ini

Kasus Dugaan Asusila Ketua KPU Jadi Prioritas DKPP, Sidang Digelar Bulan Ini

Nasional
Gubernur Maluku Utara Nonaktif Diduga Cuci Uang Sampai Rp 100 Miliar Lebih

Gubernur Maluku Utara Nonaktif Diduga Cuci Uang Sampai Rp 100 Miliar Lebih

Nasional
Cycling de Jabar Segera Digelar di Rute Anyar 213 Km, Total Hadiah Capai Rp 240 Juta

Cycling de Jabar Segera Digelar di Rute Anyar 213 Km, Total Hadiah Capai Rp 240 Juta

Nasional
Hindari Konflik TNI-Polri, Sekjen Kemenhan Sarankan Kegiatan Integratif

Hindari Konflik TNI-Polri, Sekjen Kemenhan Sarankan Kegiatan Integratif

Nasional
KPK Tetapkan Gubernur Nonaktif Maluku Utara Tersangka TPPU

KPK Tetapkan Gubernur Nonaktif Maluku Utara Tersangka TPPU

Nasional
Soal Kemungkinan Duduki Jabatan di DPP PDI-P, Ganjar: Itu Urusan Ketua Umum

Soal Kemungkinan Duduki Jabatan di DPP PDI-P, Ganjar: Itu Urusan Ketua Umum

Nasional
Kapolda Jateng Disebut Maju Pilkada, Jokowi: Dikit-dikit Ditanyakan ke Saya ...

Kapolda Jateng Disebut Maju Pilkada, Jokowi: Dikit-dikit Ditanyakan ke Saya ...

Nasional
Jokowi dan Prabowo Rapat Bareng Bahas Operasi Khusus di Papua

Jokowi dan Prabowo Rapat Bareng Bahas Operasi Khusus di Papua

Nasional
Kemenhan Ungkap Anggaran Tambahan Penanganan Papua Belum Turun

Kemenhan Ungkap Anggaran Tambahan Penanganan Papua Belum Turun

Nasional
PAN Minta Demokrat Bangun Komunikasi jika Ingin Duetkan Lagi Khofifah dan Emil Dardak

PAN Minta Demokrat Bangun Komunikasi jika Ingin Duetkan Lagi Khofifah dan Emil Dardak

Nasional
Tanggapi Ide 'Presidential Club' Prabowo, Ganjar: Bagus-bagus Saja

Tanggapi Ide "Presidential Club" Prabowo, Ganjar: Bagus-bagus Saja

Nasional
6 Pengedar Narkoba Bermodus Paket Suku Cadang Dibekuk, 20.272 Ekstasi Disita

6 Pengedar Narkoba Bermodus Paket Suku Cadang Dibekuk, 20.272 Ekstasi Disita

Nasional
Budiman Sudjatmiko: Bisa Saja Kementerian di Era Prabowo Tetap 34, tetapi Ditambah Badan

Budiman Sudjatmiko: Bisa Saja Kementerian di Era Prabowo Tetap 34, tetapi Ditambah Badan

Nasional
PAN Ungkap Alasan Belum Rekomendasikan Duet Khofifah dan Emil Dardak pada Pilkada Jatim

PAN Ungkap Alasan Belum Rekomendasikan Duet Khofifah dan Emil Dardak pada Pilkada Jatim

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com