Salin Artikel

Menyayangkan Permisifitas Politik Presiden Jokowi

Sebagaimana sering diteorikan oleh para pendukungnya, Jokowi datang dari segmen kebanyakan, berpenampilan pun sangat biasa, jika pembandingnya adalah Agus Harimurti Yudhoyono maupun Sandiaga Uno, misalnya.

Kondisi tersebut akhirnya membuat legitimasi Jokowi tak langsung mendarat mulus di hati semua masyarakat Indonesia.

Dibutuhkan banyak terobosan baru untuk menciptakan momen-momen keterpanaan publik, agar pelan-pelan pengakuan masif terkumpul agar menjadi penyempurna legitimasi politiknya di Istana.

Memang, sebagian besar publik dididik dengan kriteria persepsional yang ketat untuk menerima seorang pemimpin. Sejarah pun mengajarkan demikian.

Sekalipun latar belakang Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto terkesan sangat populis, misalnya, tapi rekam jejak dan torehan prestasi mereka mendatangkan prestise elitis tersendiri yang berkelas dunia.

Presiden Soekarno tidak diragukan lagi adalah salah satu tokoh proklamator kemerdekaan negeri ini. Suaranya yang mengaudiokan teks proklamasi dianggap sebagai ‘suara sakti’ pemutus relasi kolonialisme di negeri ini.

Begitu pula dengan Presiden Soeharto. Ia tak berbintang empat kala itu, tapi dia aktor utama pemutus relasi sejarah Indonesia dengan era Orde Lama yang dianggap sudah usang kala itu.

Dan Presiden Soeharto, betapapun kentalnya stigma otoriter yang dilekatkan kepadanya, transformasi dan pembangunan ekonomi Indonesia di era kepemimpinannya cukup diakui dunia.

Pun dengan Presiden Prof BJ Habibie dan Presiden Megawati Soekarnoputri, keduanya bergaris sejarah elite yang cukup kental.

BJ Habibie dipersepsikan sebagai salah satu kader pemimpin teknokrat di bawah binaan langsung Presiden Soeharto.

Seorang bintang yang memperkenalkan teknologi tinggi kepada Indonesia. Bahkan kala itu, publik sempat diperkenalkan dengan konsep pembangunan ala Habibie, dengan sebutan Habibienomics, pembangunan berbasiskan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sementara itu, Megawati Soekarnoputri adalah anak kandung dari Presiden Soekarno. Mengalami alienasi yang cukup akut di era rezim Orde Baru. Dikucilkan dari ruang publik dan dibatasi semua gerakan politiknya, persis seperti yang dialami ayahnya pascatahun 1965.

Amunisi yang sudah ada tersebut bertemu dengan statusnya sebagai seorang perempuan. Maka dengan mudah akan muncul persepsi tentang seorang wanita tangguh, yang dianggap sudah siap menjadi wanita pertama yang menjadi presiden di negeri ini.

Publik cukup arif menerima kala itu mengingat modal sosial, modal sejarah, dan modal politik Megawati Soekarnoputri sangat paripurna sifatnya.

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memang berada agak di luar kedua jalur itu, tapi sebenarnya tidaklah terlalu jauh di luar.

Garis kejenderalan masih terbilang kental melekat di dalam autobiografik politiknya. Selain sebagai perwira tinggi, SBY adalah menantu idaman salah satu tokoh militer negeri ini, Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, perwira tinggi yang memang sempat menjadi bintang pada masa transisi Orde Lama ke Orde Baru.

Pun karena berlatar militer, otomatis perawakan SBY memenuhi langsung kualifikasi persepsional publik yang beranggapan bahwa seorang pemimpin biasanya tegap, badan berisi, tinggi, dada membusung, dan berwajah super serius.

Ada di barisan yang sama dengan SBY adalah Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto, pernah menjadi menantu Presiden Soeharto dan sempat digadang-gadang sebagai the rising star pada masanya.

Lainnya, Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto juga berlatar anak seorang begawan ekonomi masa lalu di negeri ini yang kurang terlalu sejalan dengan pemerintahan Orde Lama, alias kelas elite pada masanya.

Dua latar belakang tersebut menyolidkan potensi garis kepemimpinannya. Tak lupa pula, Prabowo adalah salah satu mantan Danjen pasukan super elite nasional, Kopassus, yang namanya sampai hari ini diukir sangat indah di kesatuan elite tersebut.

Jadi jika kita menggunakan kerangka historis seperti itu dalam melatih "rasa" dan "pola pikir" untuk menerima kehadiran seorang pemimpin, maka kita tidak akan menemui Jokowi di titik kesimpulan.

Harus jujur diakui, memang tidak mudah bagi sebagian kalangan untuk begitu saja menerima seorang presiden yang berlatar belakang seperti Presiden Jokowi. Sekali lagi, memang tak mudah.

Nyatanya sejarah memang tidak mendidik kita untuk terlalu siap menerima Jokowi secara "taken for granted" seperti orang Amerika Serikat yang penuh euforia saat menerima sosok Barack Obama menjadi Presiden ke 44.

Obama tak pernah ikut berperang atau wajib militer, berlatar senator, berkulit hitam pula.

Kita memang terbiasa berpikir bahwa kepemimpinan lahir dari proses penempaan yang tidak mudah. Dwight Eisenhower, misalnya, dengan mudah diterima masyarakat Amerika Serikat, karena peran pentingnya dalam mengakhiri Perang Dunia kedua.

Sebelum terjun ke Eropa, mantan presiden ke 34 Amerika Serikat yang kerap dipanggil Ike ini tak pernah sekalipun terjun langsung ke dalam kancah perang.

Otomatis, pada awal kedatangannya di benua Eropa, Ike dipandang dengan skeptis pemimpin-pemimpin di Benua Biru itu, terutama oleh Perdana Menteri Inggris, Winston Churchill.
Saya kira, kondisi tersebut mirip dengan lima tahun awal Presiden Jokowi.

Pengakuan pertama muncul setelah Ike dinilai berhasil melakukan pembebasan negara-negara koloni Perancis di Afrika. Operasi pembebasan Tunisia adalah titik awal Ike mulai mendapat perhatian dari Churchill.

Momen kedua adalah saat Ike melakukan terobosan berani dengan menemui Charles André Joseph Marie de Gaulle secara langsung, saat Ike mendapat penolakan dari Churchil terkait penggunaan pesawat pembom angkatan udara Inggris di Calais.

Alasan Churchill ketika itu, Inggris enggan bermasalah dengan Perancis kemudian hari karena pesawat-pesawatnya membombardir salah satu wilayah di Perancis.

Untuk memastikan itu, Ike langsung mendatangi De Gaulle, pemimpin Perancis yang menolak mengakui kekuasaan Jerman, untuk mendengar langsung pendapatnya terkait rencana pemboman Calais.

Menurut Ike, pemboman daerah Calais diperlukan untuk memastikan tipuan terhadap Jerman bahwa D-Day, invasi pembebasan Perancis dan penghentian agresi Hitler, yang bukan dilakukan di Normandy, tapi di Calais. Terobosan Ike mendapat respons positif di mana De Gaulle ternyata setuju.

Bahkan menurut De Gaulle, rakyat Perancis siap berkorban dan tidak akan mendendam Inggris jika pemboman itu dimaksudkan untuk menghentikan Hitler yang telah menginvasi Perancis.

Hasil pertemuan itu meluluhkan penolakan Churchill sekaligus menjadi pengakuan penuh Churchill terhadap kepemimpinan militer Dwight David Eisenhower di Operasi Overlord Normandia.

Dan setelah itu, tantangan yang jauh lebih besar sudah menunggu Eisenhower, yaitu tantangan untuk menyempurnakan pengakuan publik.

Ike harus membuktikan bahwa operasi Overlord yang dia sodorkan, adalah pilihan terbaik untuk menghentikan Hitler.

Berbagai macam strategi dicetuskan. Menciptakan operasi double intelligent untuk memberi sinyal tipuan kepada Hitler, melibatkan Istana Buckingham untuk menguatkan sinyal serangan di Calais, bukan di Normandia, membuat kendaraan-kendaraan perang palsu di Calais, sampai merumuskan strategi dan taktik penyerangan, adalah bagian dari taktik pengelabuan.

Satu setengah jam pertama setelah operasi Overlord diluncurkan, Ike mendapat kabar bahwa pendaratan di Normandia sukses.

Dan sekira 12 jam setelah itu, Churchill yang mewakili Inggris dan segenap aliansinya mengumumkan keberhasilan Operasi Overlord yang sekaligus pengakuan penuh atas pembuktian kinerja Ike.

Keyakinan terhadap Eisenhower tersebut terus berlanjut sampai rezim Nazi tumbang dan memuluskan jalannya ke Gedung Putih sebagai bukti pengakuan rakyat Amerika Serikat kepadanya.

Sejatinya, jika dibuka cerita soal perang dunia kedua, ada sekitar delapan presiden Amerika Serikat yang menorehkan keringat untuk memenangkan perang dan diganjar kursi presiden oleh rakyatnya.

Dwight Eisenhower, Richard Nixon, Gerald Ford, John Kennedy, Lyndon Johnson, Jimmy Carter, Ronald Reagen, dan George H.W. Bush/ Bush Senior, yang kesemuanya diakui jasanya dalam perang dunia kedua.

Sementara itu, Jokowi ada di jalur sipil. Hampir dua periode jadi Wali Kota di Solo, lalu kurang lebih dua tahun menjadi Gubernur DKI Jakarta, keduanya masih belum meyakinkan publik bahwa Jokowi memiliki kapasitas yang cukup untuk mengemban posisi sebagai seorang presiden.

Sebagian menganggap terlalu cepat lompatan yang dilakukan Jokowi, mengingat latar belakangnya tak seindah yang dimiliki oleh mantan-mantan pemimpin lainnya.

Latar tersebut berpadu dengan lompatan cepat yang beliau perlihatkan di dalam perjalanan karier politiknya.

Walhasil, publik dituntut untuk belajar cepat, secepat lompatan beliau, yang terkadang tidak semua pihak mampu melakukan perubahan cara pandang tersebut secara serta merta, tanpa ada momen-momen spesial yang menguatkan keyakinan publik.

Maka tak pelak, lima tahun pertama, Jokowi mencoba terus konsisten dengan proyek infrastruktur masif, untuk meyakinkan publik bahwa beliau mampu memberikan mesin unggul yang akan menggerakkan kendaraan nasional yang bernama pembangunan ekonomi Indonesia.

Banyak pihak terpana, karena rencana besar tersebut diawali dengan pencabutan subsidi energi. Padahal sebenarnya, proyek infrastruktur bukanlah hal baru, semua rezim melakukannya.

Hanya saja, di tangan Jokowi, ada pembesaran alokasi fiskal dan ada pengutamaan keberpihakan untuk infrastruktur, seturut dengan gembar-gembornya.

Proyek-proyek tersebut berjalan seiring dengan rezim inflasi rendah, yang sebenarnya tak melulu bermakna positif karena ditopang dari sisi supply (kebanyakan impor). Setidaknya, publik merasa "secure" bahwa Jokowi ikut berkonsentrasi pada isu stabilisasi harga.

Dan dalam kerangka pikir yang demikian, maka hasil Pilpres 2019 boleh dikatakan bahwa publik sudah memberikan pengakuan atas kapasitas Jokowi sebagai seorang presiden, walaupun sebelumnya selalu beredar angka "approval" publik untuk kinerja Jokowi dari beberapa lembaga survei, yang angkanya konsisten di atas 60 persen.

Pun dalam cara pandang yang sama, bagi Presiden Jokowi (juga Wapres Ma’ruf Amin), lima tahun periode kedua adalah ajang untuk memenangkan pertempuran, yaitu ajang untuk membuktikan bahwa rencana-rencana kebijakan yang telah disodorkan dan diakui publik tersebut akan berbuah kemenangan alias bersesuaian dengan ekspektasi dan kepentingan publik.

Artinya, Jokowi harus membuktikan bahwa rezim infrastruktur akan berbuah pertumbuhan ekonomi yang sepadan, pemerataan yang adil, pembagian kue kekayaan nasional yang berimbang, kapasitas perdagangan nasional mumpuni, pengurangan ketergantungan kepada pasokan impor, kelahiran generasi-generasi muda yang handal, sesuai dengan kebutuhan lokal, nasional, dan global.

Dan rezim inflasi rendah pun demikian, tidak menggerogoti produk-produk dalam negeri, tidak membolongi saku UMKM, usaha mikro, dan pedagang-pedagang kecil.

Sederet tantangan tersebut menunggu Jokowi sebagai penyempurna pengakuan publik, yakni dengan pembuktian-pembuktian sebagaimana yang diekspektasikan. Namun hasilnya nampaknya masih sebatas indah di atas kertas.

Pertumbuhan 7 persen masih mimpi. Rezim infrastruktur hanya memuluskan barang impor untuk masuk dengan harga yang makin bersaing, tapi UMKM lokal semakin banyak yang gigit jari.

Bayangkan, negara sebesar ini toh ujung-ujungnya takut dengan Tiktok Shop.

Hilirisasi masih menjadi ajang mencari kenyang bagi industrialis-industrialis asing. Plus legasi bernama IKN yang entah berasal dari mana awalnya lalu entah mau berakhir di mana ujungnya. Dan deretan panjang persoalan lainnya.

Berlindung di balik semua kompleksitas "ketidakjelasan" yang diaku sebagai "keberhasilan" tersebut, kini sosok berbeda dan inspiratif tersebut tak lagi berbeda dan inspiratif.

Citra orang kebanyakan, yang nampang sederhana dengan kehidupan yang juga berbalut berbagai kesederhanaan, luntur seketika saat Presiden Jokowi menampakan wajah dan gaya "elite-nya" yang terkesan mulai enggan pensiun layaknya orang kebanyakan yang harus pensiun.

Jokowi membiarkan anak-anaknya dipermainkan oleh irama politik yang ditulis pecinta-pecinta kuasa nan rakus, yang sejatinya akan mencoreng "brand" Jokowi nan inspiratif itu persis beberapa saat sebelum masa pensiunnya.

Naik kelas dari "status" pemimpin yang berasal dari orang kebanyakan ke status "non reformis berstempelkan dinasti" memang bisa dihitung sebagai naik kelas.

Tapi dari perspektif demokrasi dan moral, sebenarnya itu bukankah adalah turun kelas? Apalagi tak berbalutkan prestasi yang mentereng.

Hari "gini" masih kepincut politik dinasti, bukan malah makin maju, yang ada adalah makin "kuno" jauh dari inspiratif. Mohon maaf, itu adalah kemunduran, Bapak Presiden, bukan kemajuan.

Lantas dengan latar itu mau menjual narasi Indonesia Maju? Maafkan lagi, saya kira, bukankah hal itu agak sulit diterima?

https://nasional.kompas.com/read/2023/10/31/05433701/menyayangkan-permisifitas-politik-presiden-jokowi

Terkini Lainnya

Kasus Korupsi Rumdin, KPK Cecar Kabag Pengelola Rumah Jabatan DPR soal Aliran Dana ke Tersangka

Kasus Korupsi Rumdin, KPK Cecar Kabag Pengelola Rumah Jabatan DPR soal Aliran Dana ke Tersangka

Nasional
KPU Sebut Pemindahan 36.000 Suara PPP ke Garuda di Jabar Klaim Sepihak, Harus Ditolak MK

KPU Sebut Pemindahan 36.000 Suara PPP ke Garuda di Jabar Klaim Sepihak, Harus Ditolak MK

Nasional
Ketua KPU Ditegur Hakim saat Sidang Sengketa Pileg di MK: Bapak Tidur, Ya?

Ketua KPU Ditegur Hakim saat Sidang Sengketa Pileg di MK: Bapak Tidur, Ya?

Nasional
Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis Disebut Diperlukan, Proyek Mercusuar Perlu Pengawasan

Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis Disebut Diperlukan, Proyek Mercusuar Perlu Pengawasan

Nasional
Kapolri Beri Penghargaan ke 11 Personel di Pegunungan Bintang, Papua

Kapolri Beri Penghargaan ke 11 Personel di Pegunungan Bintang, Papua

Nasional
Pegawai Kementan Bikin Perjalanan Dinas Fiktif demi Penuhi Kebutuhan SYL

Pegawai Kementan Bikin Perjalanan Dinas Fiktif demi Penuhi Kebutuhan SYL

Nasional
Sidang SYL, Saksi Ungkap Permintaan Uang Rp 360 Juta untuk Sapi Kurban

Sidang SYL, Saksi Ungkap Permintaan Uang Rp 360 Juta untuk Sapi Kurban

Nasional
Hadiri Perayaan Ultah Hendropriyono, Prabowo Dihadiahi Patung Diponegoro

Hadiri Perayaan Ultah Hendropriyono, Prabowo Dihadiahi Patung Diponegoro

Nasional
Menag Minta Jemaah Jaga Kesehatan, Suhu Bisa Capai 50 Derajat Celsius pada Puncak Haji

Menag Minta Jemaah Jaga Kesehatan, Suhu Bisa Capai 50 Derajat Celsius pada Puncak Haji

Nasional
Tinjau Pasar Baru di Karawang, Jokowi: Harga Cabai, Bawang, Beras Sudah Turun

Tinjau Pasar Baru di Karawang, Jokowi: Harga Cabai, Bawang, Beras Sudah Turun

Nasional
KPK Sebut Eks Dirut Taspen Kosasih Rekomendasikan Investasi Rp 1 T

KPK Sebut Eks Dirut Taspen Kosasih Rekomendasikan Investasi Rp 1 T

Nasional
Hakim MK Tegur Kuasa Hukum KPU karena Tidak Rapi Menulis Dokumen

Hakim MK Tegur Kuasa Hukum KPU karena Tidak Rapi Menulis Dokumen

Nasional
Jokowi Tanggapi Santai soal Fotonya yang Tak Terpasang di Kantor PDI-P Sumut

Jokowi Tanggapi Santai soal Fotonya yang Tak Terpasang di Kantor PDI-P Sumut

Nasional
Cuaca di Arab Saudi 40 Derajat, Jemaah Haji Diminta Jaga Kesehatan

Cuaca di Arab Saudi 40 Derajat, Jemaah Haji Diminta Jaga Kesehatan

Nasional
 Saksi Ungkap Direktorat di Kementan Wajib Patungan untuk Kebutuhan SYL

Saksi Ungkap Direktorat di Kementan Wajib Patungan untuk Kebutuhan SYL

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke