GIBRAN Rakabuming Raka telah dideklarasikan menjadi bakal calon wakil presiden bagi bakal calon presiden Prabowo Subianto untuk Pemilu Presiden 2024.
Pada hari yang sama dengan deklarasi, Rabu (25/10/2023), mereka telah mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Pencalonan Gibran membuat publik terhenyak. Pasalnya, Gibran hanya dapat maju menjadi bakal calon wakil presiden setelah ada putusan perkara di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat calon presiden dan wakil presiden. Masalahnya, putusan tersebut dinilai kontroversial.
Baca juga: Ketika Dinasti Jokowi Meninggalkan Megawati
Itu pun, posisi pencalonan Gibran masih belum sepenuhnya aman. Ada sejumlah faktor dan proses berjalan yang dapat berimplikasi pada legalitas pencalonannya.
Ini kilas balik dan ulasannya.
Pasangan Prabowo-Gibran diusung oleh Koalisi Indonesia Maju yang dimotori empat partai pemilik kursi di DPR, yaitu Partai Gerindra, Partai Golkar, PAN, dan Partai Demokrat.
Bersama mereka juga ada empat partai non-parlemen, yaitu PBB, PSI, Partai Garuda, dan Partai Gelora. Satu partai lokal Aceh bergabung pula di koalisi ini, yaitu Partai Aceh. Partai Prima yang tak lolos menjadi peserta Pemilu 2024 juga bergabung ke Koalisi Indonesia Maju.
Gibran dapat maju menjadi bakal calon wakil presiden dan mendaftarkan diri ke KPU setelah terbit putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Senin (16/10/2023).
Putusan tersebut terkait syarat calon presiden dan calon wakil presiden. Semula Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mensyaratkan usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden adalah 40 tahun.
Putusan MK atas perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 mengubah ketentuan tersebut menjadi "Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah."
Dengan putusan ini, Gibran yang belum berusia 40 tahun tetapi masih menjabat sebagai Wali Kota Solo punya dasar untuk didapuk menjadi bakal calon wakil presiden.
Meski demikian, putusan MK yang menjadi pintu bagi pencalonan Gibran ini menjadi kontroversi publik.
Bahkan dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut, kontroversi sudah mencuat.
Adalah hakim konstitusi Saldi Isra yang mengurai kejanggalan proses pengambilan putusan perkara itu dalam dissenting opinion-nya. Kejanggalan juga diungkap dalam dissenting opinion hakim konstitusi Arif Hidayat dalam putusan yang sama.
Baca juga: Ketika Hakim Konstitusi Saldi Isra Bertanya, Quo Vadis MK?
Singkat ceritanya, ada lima perkara berjalan dengan pokok permohonan uji materi menyoal Pasal 169 huruf q UU Pemilu.
Tiga perkara pertama mendapatkan amar penolakan, yaitu perkara nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023. Namun, perkara keempat, yakni perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, tiba-tiba membalik arah putusan dalam pokok persoalan yang sama tersebut.
Kejanggalan dalam proses formal administrasi juga terjadi pada perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 dan nomor 91/PUU-XXI/2023. Dua perkara ini sempat dicabut di tengah proses yang telah berjalan tapi kemudian pencabutan dibatalkan.
Yang menjadi masalah, proses penanganan kedua perkara berlanjut begitu saja, sekalipun sempat ada pencabutan dan pembatalan pencabutan tersebut, seolah tidak ada kedua peristiwa itu.
Kontroversi terbesar, perubahan arah angin putusan MK terjadi karena faktor tidak ikut serta atau ikut sertanya Ketua MK Anwar Usman dalam rapat permusyawarahan hakim (RPH) untuk pengambilan putusan atas kelima perkara tersebut.
Masalahnya, Anwar Usman adalah paman Gibran, yaitu suami dari adik Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Belum lagi, salah satu pemohon uji materi soal batas minimal usia calon presiden dan wakil presiden ini adalah Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang saat ini dinahkodai Kaesang Pangarep, adik Gibran.
RPH untuk tiga perkara pertama yang amarnya menolak permohonan, tidak diikuti Anwar Usman. Adapun dua perkara berikutnya diikuti Anwar Usman.
Bahkan bila dugaan perubahan arah angin putusan MK terjadi karena keikutsertaan Anwar Usman bisa ditepis, posisi pencalonan Gibran masih dapat dipersoalkan dari komposisi suara hakim konstitusi dalam putusan nomor 90/PUU-XXI/2023.
Sebagai catatan, ada empat dissenting opinion dalam putusan ini. Namun, lima suara yang menjadi dasar amar mengabulkan uji materi pun menjadi sorotan.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Hamid Awaluddin, berpendapat putusan ini seharusnya tetap tidak bisa menjadi dasar bagi Gibran mencalonkan diri.
Sebab, kata dia, dari lima hakim konstitusi yang sekalipun setuju menambahkan frasa pengecualian syarat usia yang membuka jalan bagi yang pernah atau masih menjadi kepala daerah untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden itu pun dua di antaranya membatasi pengecualian ini untuk level gubernur saja.
"Jadi, empat menolak, dua setuju tapi hanya untuk (level) gubernur. Kalau detail ini dicermati, sebenarnya (suara yang melegalkan jalan pencalonan Gibran) hanya tiga suara," kata Hamid saat hadir dalam Obrolan Newsroom di Kompas.com, Rabu (25/10/2023) pagi.
Kontroversi putusan MK tentang syarat calon presiden dan calon wakil presiden masih berlanjut dengan rentetan pelaporan dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi.
Dari belasan pelapor, hakim konstitusi Anwar Usman menjadi yang paling banyak menjadi terlapor. Dugaan konflik kepentingan mencuat.
Namun, Saldi Isra dan Arif Hidayat yang memberikan pendapat berbeda untuk putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 pun tak luput dari laporan dugaan kode etik, justru dari dissenting opinion-nya itu pula.
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MK) mulai menggelar pemeriksaan pada Kamis (26/10/2023). Majelis ini diketuai oleh mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie.
Yang menarik, bila sampai ada hakim konstitusi dalam perkara ini dinyatakan terbukti telah melakukan pelanggaran kode etik, implikasinya bisa meluas. Tak menutup kemungkinan berdampak pada pencalonan Gibran.
Berdasarkan Pasal 17 ayat (5) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim atau panitera wajib mengundurkan diri ketika punya kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.
Bila terbukti terjadi pelanggaran atas klausul tersebut, hakim atau panitera dimaksud dapat dikenai sanksi administratif atau dipidana.
Tak hanya itu, putusan perkaranya pun dinyatakan tidak sah. Ketika putusan dinyatakan tidak sah, perkaranya akan diperiksa kembali oleh majelis hakim yang berbeda.
Putusan MK memang bersifat final dan mengikat (binding), kecuali disertakan pengecualian atau persyaratan yang disertakan dalam amar. Artinya, ketika tanpa keterangan tambahan, putusan MK otomatis berlaku.
"(Namun), secara teknis, putusan MK tetap harus diikuti peraturan pelaksanaan. Karena, sebagaimana UU, putusan MK bersifat umum. Teknis pelaksanaan di lapangan perlu diatur," ujar pengamat hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, Senin (23/10/2023).
Misal, lanjut Feri, harus dijabarkan secara teniks maksud dari syarat pernah atau sedang menjadi kepala daerah.
"Buktinya apa? Misal, (disebutkan di peraturan) ada surat keputusan (SK) pengangkatan," sebut Feri.
Tanpa ada perubahan Peraturan KPU terkait pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden, tutur Feri, KPU tidak bisa langsung menyatakan bahwa mereka telah membuktikan seseorang memenuhi kriteria persyaratan calon presiden dan calon wakil presiden karena ada SK pengangkatan.
"(Karena tanpa perubahan PKPU) putusan MK tidak menyebutkan (bahwa pemenuhan syarat itu dibuktikan dengan SK) itu," ujar Feri.
Menurut Feri, tidak cukup KPU menerbitkan surat edaran dan keputusan yang menyatakan mereka mengikuti putusan MK.
Karena, surat dan keputusan pada dasarnya adalah kebijakan yang bersifat konkret, individual, dan final. Yang itu artinya hanya berlaku untuk orang-orang tertentu saja.
"Kalau begitu akan semakin kuat dugaan bahwa (rangkaian putusan MK hingga langkah KPU) ini diperuntukkan untuk Gibran," kata Feri.
KPU beberapa kali berubah sikap soal langkah teknis menyikapi putusan MK terkait syarat calon presiden dan calon wakil presiden. Pada rabu (18/10/2023), mereka menyatakan tidak akan mengubah PKPU terkait syarat pencalonan tersebut.
Namun, pada Rabu (25/10/2023), pernyataan itu berubah. Mereka mendaku sudah mengirim surat kepada DPR pada Senin (23/10/2023) untuk konsultasi perubahan PKPU.
Konsultasi DPR merupakan syarat untuk KPU dapat mengubah PKPU. Sementara, DPR saat ini sedang reses hingga Senin (30/10/2023).
Pertanyaannya, apakah PKPU ini berlaku surut mengingat batas akhir pendaftaran pasangan calon sudah berakhir pada Rabu (25/10/2023)?
Sebelum KPU menyatakan akan mengubah PKPU, Hamid yang pernah juga menjadi komisioner KPU sempat berseloroh bahwa langkah KPU tersebut bisa membuka celah bagi gugatan atas keputusan penetapan pasangan calon nanti.
Dihubungi kembali pada Jumat (27/10/2023), Hamid berpendapat bahwa secara umum perubahan peraturan tidak berlaku surut ketika hal itu dapat merugikan seseorang.
"Namun, kita harus melihat dulu naskah PKPU setelah diubah nanti akan seperti apa," kata Hamid.
Sementara itu, pakar hukum tata negara dari UGM, Zainal Arifin Mochtar, mengatakan perubahan PKPU masih bisa dipakai untuk penetapan.
Karena, kata dia, yang sudah tutup baru tahap pendaftaran yang masih harus melalui verifikasi dan nanti diikuti oleh penetapan pasangan calon.
"Kemarin kan cuma sekadar daftar. Sekaranglah KPU akan menentukan lolos verifikasi atau tidak. Jadi (perubahan PKPU) bisa dipakai untuk penetapan," kata Zainal, Jumat (27/10/2023).
Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.