Lalu tidak lama berselang, muncul letupan kecil di tubuh PDIP di mana kadernya masing-masing Effendi Simbolon dan Budiman Sudjatmiko mendadak menyatakan dukungan kepada Prabowo secara terbuka.
Jadi area operasi khususnya bergantian antara ceruk suara Jokowi dan halaman belakang PDIP. Sekuel lanjutannya, sebagaimana telah kita saksikan bersama, adalah relasi ceruk suara Jokowi dengan ceruk suara PDIP, yakni Kaesang Pangarep dan Gibran Rakabuming Raka.
Setelah namanya dimunculkan sebagai bakal calon Wali Kota Depok, lalu mendadak Kaesang Pangarep masuk Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan didapuk menjadi ketua umum. Peristiwa ini juga berlangsung sangat cepat serta mengandung "element of surprise" yang cukup tinggi.
Sebagaimana juga sempat saya bahas sebelumnya, saya memasukkan peristiwa tersebut ke dalam bagian dari strategi opsus yang dimainkan kubu Prabowo, karena tak lama sebelum penguncian salah satu anggota keluarga Jokowi ke dalam area "non PDIP" tersebut didahului dengan kunjungan resmi Ketua Umum DPP Partai Gerindra ke kantor DPP PSI.
Jadi agak sulit untuk tidak mengatakan bahwa tidak ada andil Prabowo dan Partai Gerindra dalam "political moves" yang diambil oleh PSI, setelah pertemuan langka tersebut.
PSI, meskipun partai kecil, tetap ditempatkan oleh Prabowo setara dengan anggota koalisi lainnya.
Peristiwa tersebut secara jelas menggambarkan perpindahan pendulum politik PSI ke kubu Prabowo, sekalipun tak keluar pernyataan eksplisit dari PSI soal dukungan resmi tersebut.
Lalu diikuti dengan kunjungan resmi dedengkot PSI ke Istana, bertemu Presiden Jokowi, sebagai batu loncatan sebelum Kaesang secara resmi bergabung dan menjadi Ketua Umum PSI.
Belum pudar dari ingatan kita tentang fakta perpindahan Kaesang, kemudian masuk ke fase selanjutnya, yakni Gibran.
Sebagaimana saya mengistilahkannya, Gibran adalah kartu sakti Prabowo, yang akan dimainkan pada "last minutes", tapi secara kasat mata bisa dilihat bahwa kartu sakti tersebut sesungguhnya telah dipupuk dan dipelihara sejak lama.
Jauh hari sebelum ribut-ribut soal Effendi Simbolon, Budiman Sudjatmiko, dan Kaesang Pangarep, Prabowo sudah lebih dahulu bertemu secara resmi dengan Gibran di Solo, yang berbuah panggilan dari DPP PDIP kepada Gibran beberapa hari kemudian.
Konon, kabarnya pemanggilan demi pemanggilan DPP atas Gibran ini menjadi salah satu sebab utama juga bagi keluarga Jokowi yang kecewa atas perlakuan PDIP kepada anak sulungnya.
Gibran memang terkesan seperti ‘terdakwa’ saat beberapa kali dipanggil DPP PDIP atas anomali sikap politik yang ia ambil.
Sementara itu, operasi khusus dari sisi pengambilalihan massa dan mesin politik juga bisa dilihat dengan jelas.
Berawal dari berpindahnya salah satu relawan Ganjar Pranowo ke Prabowo, lalu ambigunya sikap politik Projo cs terhadap Ganjar Pranowo yang berakhir dengan terbaginya dua kubu di dalam Projo, berakhir dengan dukungan dadakan Partai Golkar dan PAN kepada Prabowo.
Dan lagi-lagi puncaknya ada pada Gibran. Mengapa saya katakan puncak? Sebagaimana saya bahas di tulisan berjudul "Gibran Kartu Sakti Prabowo", Gibran adalah simbol kuncian langsung Prabowo atas Jokowi.
Jadi jikapun nanti sampai kontestasi berakhir Jokowi tidak menyatakan dukungan resminya kepada Prabowo dan Gibran, dengan dalih bahwa seorang presiden haruslah tetap netral, pemilih Jokowi dengan mudah tetap bisa menerjemahkan bahwa Jokowi sebenarnya memberikan dukungan kepada Prabowo.
Karena tidak mungkin seorang bapak tidak mendukung anaknya sendiri. Sangat tidak mungkin.