Salin Artikel

Tak Perlu Menangisi Gibran, PDIP!

Pasangan capres - cawapres yang akan diusung oleh partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju tersebut dikabarkan akan diumumkan pada Senin (23/10/2023).

Kartu sakti tersebut adalah puncak dari beberapa strategi politik Prabowo selama ini, yang tujuannya secara elektoral adalah memperlebar ceruk pemilih di satu sisi dan memastikan gerbong-gerbong ekonomi politik yang selama ini berada di belakang Jokowi berpindah ke Prabowo di sisi lain.

Harus diakui, strategi tersebut berjalan sangat baik. Dalam survei elektabilitas para kandidat terbaru, tepatnya hasil survei yang dilakukan pada awal Oktober 2023 sebelum nama Mahfud MD keluar sebagai bakal calon wakil presiden untuk Ganjar Pranowo, nama Prabowo berhasil bertengger di posisi teratas.

Dalam simulasi tiga nama versi Lembaga Survei Indonesia (LSI) terbaru, Prabowo Subianto berhasil mengantongi elektabilitas 37 persen, sementara Ganjar Pranowo 35,2 persen, Anies Baswedan 22,7 persen, dan yang menjawab tidak tahu/tidak jawab sebesar 5,2 persen.

Pun dalam simulasi dua nama, Prabowo Subianto mengantongi angka 52,6 persen jika dihadapkan dengan Anies Baswedan yang hanya meraih 33 persen, sementara angka TT/TJ berkisar sekitar 14,3 persen.

Lalu Prabowo Subianto juga berhasil mengantongi angka 49,2 persen jika dihadapkan dengan
Ganjar Pranowo yang hanya menorehkan angka 37,8 persen dengan angka TT/TJ sebesar 13 persen.

Dalam simulasi yang dilakukan jika Prabowo dipasangkan dengan beberapa nama bakal calon wakil presiden, Prabowo juga masih tercatat unggul dibanding dengan Ganjar-Mahfud dan Anies - Amin.

Dalam simulasi pertama, Prabowo-Erick berhasil meraih 38 persen atau unggul atas Ganjar-Mahfud MD dengan 32,3 persen dan Anies-Muhaimin dengan 22,9 persen.

Pada simulasi berikutnya, Prabowo yang dipasangkan dengan Khofifah meraih 36,3 persen, unggul atas Ganjar-Mahfud dengan 33 persen dan Anies-Muhaimin dengan 23,4 persen.

Hasil serupa kembali terulang saat Prabowo berpasangan dengan Gibran yang meraih 36 persen, berbanding 33,1 persen yang diraih Ganjar-Mahfud, dan Anies-Muhaimin dengan 23,5 persen.

Raihan sementara tersebut memang belum memberikan kepastian kemenangan bagi Prabowo. Karena angka TT/TJ dalam survei tersebut masih tinggi, kisaran 13-14 persen, yang bisa saja sebagian besarnya menjadi milik Anies-Imin atau Ganjar-Mahfud.

Dengan kata lain, potensi kalah bagi Prabowo dan Gibran masih cukup besar, setara dengan potensi menang untuk Ganjar-Mahfud MD yang juga masih besar.

Bahkan dengan konfigurasi hasil survei demikian, potensi menang untuk Anies-Imin pun bisa terjadi.

Jika kita lihat ke belakang, sebagaimana sempat saya ulas di beberapa tulisan terdahulu, strategi yang diterapkan Prabowo adalah strategi militer non konvensional ala pasukan khusus atau biasa dikenal strategi operasi khusus (Opsus).

Operasi pasukan khusus berfungsi bukan untuk mengalahkan lawan dalam kancah peperangan, tapi justru untuk mengacaukan pertahanan lawan, memecah konsentrasi lawan, dan jika perlu menciptakan "chaos" di lini pertahanan lawan.

Dua ciri utama operasi khusus dan "black operation" adalah adanya "element of suprise" di satu sisi dan dilakukan dalam waktu yang cepat di sisi lain. Kedua ciri ini sangat terasa dalam tiga gerakan politik Prabowo beberapa waktu belakangan.

Publik dibuat tercengang saat mendadak muncul begitu banyak billboard di banyak lokasi di seluruh Indonesia dengan gambar Jokowi bersama dengan Prabowo. Saya menamakan strategi tersebut sebagai strategi "Pepet Jokowi".

Lalu tidak lama berselang, muncul letupan kecil di tubuh PDIP di mana kadernya masing-masing Effendi Simbolon dan Budiman Sudjatmiko mendadak menyatakan dukungan kepada Prabowo secara terbuka.

Jadi area operasi khususnya bergantian antara ceruk suara Jokowi dan halaman belakang PDIP. Sekuel lanjutannya, sebagaimana telah kita saksikan bersama, adalah relasi ceruk suara Jokowi dengan ceruk suara PDIP, yakni Kaesang Pangarep dan Gibran Rakabuming Raka.

Setelah namanya dimunculkan sebagai bakal calon Wali Kota Depok, lalu mendadak Kaesang Pangarep masuk Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan didapuk menjadi ketua umum. Peristiwa ini juga berlangsung sangat cepat serta mengandung "element of surprise" yang cukup tinggi.

Sebagaimana juga sempat saya bahas sebelumnya, saya memasukkan peristiwa tersebut ke dalam bagian dari strategi opsus yang dimainkan kubu Prabowo, karena tak lama sebelum penguncian salah satu anggota keluarga Jokowi ke dalam area "non PDIP" tersebut didahului dengan kunjungan resmi Ketua Umum DPP Partai Gerindra ke kantor DPP PSI.

Jadi agak sulit untuk tidak mengatakan bahwa tidak ada andil Prabowo dan Partai Gerindra dalam "political moves" yang diambil oleh PSI, setelah pertemuan langka tersebut.

PSI, meskipun partai kecil, tetap ditempatkan oleh Prabowo setara dengan anggota koalisi lainnya.

Peristiwa tersebut secara jelas menggambarkan perpindahan pendulum politik PSI ke kubu Prabowo, sekalipun tak keluar pernyataan eksplisit dari PSI soal dukungan resmi tersebut.

Lalu diikuti dengan kunjungan resmi dedengkot PSI ke Istana, bertemu Presiden Jokowi, sebagai batu loncatan sebelum Kaesang secara resmi bergabung dan menjadi Ketua Umum PSI.

Belum pudar dari ingatan kita tentang fakta perpindahan Kaesang, kemudian masuk ke fase selanjutnya, yakni Gibran.

Sebagaimana saya mengistilahkannya, Gibran adalah kartu sakti Prabowo, yang akan dimainkan pada "last minutes", tapi secara kasat mata bisa dilihat bahwa kartu sakti tersebut sesungguhnya telah dipupuk dan dipelihara sejak lama.

Jauh hari sebelum ribut-ribut soal Effendi Simbolon, Budiman Sudjatmiko, dan Kaesang Pangarep, Prabowo sudah lebih dahulu bertemu secara resmi dengan Gibran di Solo, yang berbuah panggilan dari DPP PDIP kepada Gibran beberapa hari kemudian.

Konon, kabarnya pemanggilan demi pemanggilan DPP atas Gibran ini menjadi salah satu sebab utama juga bagi keluarga Jokowi yang kecewa atas perlakuan PDIP kepada anak sulungnya.

Gibran memang terkesan seperti ‘terdakwa’ saat beberapa kali dipanggil DPP PDIP atas anomali sikap politik yang ia ambil.

Sementara itu, operasi khusus dari sisi pengambilalihan massa dan mesin politik juga bisa dilihat dengan jelas.

Berawal dari berpindahnya salah satu relawan Ganjar Pranowo ke Prabowo, lalu ambigunya sikap politik Projo cs terhadap Ganjar Pranowo yang berakhir dengan terbaginya dua kubu di dalam Projo, berakhir dengan dukungan dadakan Partai Golkar dan PAN kepada Prabowo.

Dan lagi-lagi puncaknya ada pada Gibran. Mengapa saya katakan puncak? Sebagaimana saya bahas di tulisan berjudul "Gibran Kartu Sakti Prabowo", Gibran adalah simbol kuncian langsung Prabowo atas Jokowi.

Jadi jikapun nanti sampai kontestasi berakhir Jokowi tidak menyatakan dukungan resminya kepada Prabowo dan Gibran, dengan dalih bahwa seorang presiden haruslah tetap netral, pemilih Jokowi dengan mudah tetap bisa menerjemahkan bahwa Jokowi sebenarnya memberikan dukungan kepada Prabowo.

Karena tidak mungkin seorang bapak tidak mendukung anaknya sendiri. Sangat tidak mungkin.

Pendeknya, jika memakai konsep "operasi khusus" dan "black operation" ala militer, tujuannya bukanlah untuk memenangkan perang konvensional, karena peperangannya belum dimulai.

Operasi khusus dan black operation dijalankan oleh tim kecil dan elite, dengan tujuan utama memecah belah kekuatan lawan, merusak konsentrasi lawan, dan jika perlu, menciptakan chaos di lini pertahanan lawan. Sehingga saat perang konvensional terjadi, lawan sudah tidak dalam posisi prima lagi.

Sebagian sayapnya mungkin sudah rusak, beberapa bagian mesinnya boleh jadi sudah tak berfungsi lagi, radarnya tidak lagi bekerja sebagaimana mestinya, dan tidak sedikit dari lini serang pun pertahanan yang sudah kehilangan arah dan pegangan, sehingga daya gempurnya menjadi tidak lagi optimal.

Bagaimana PDIP dan kubu Ganjar harus menyikapi ini? Dalam pandangan saya, langkah pertama, tentu tidak perlu "kaget" atas berbagai "element of suprises" tersebut.

Artinya secara teknis, tidaklah perlu menangisi Gibran Rakabuming Raka. Biarkan saja hilang, tak perlu disesali dan disayangkan.

Kedua, konsolidasi cepat. Rapatkan barisan, lepaskan bagian mesin yang tak lagi bisa bekerja, patahkan sayap yang telah dibuat oleh lawan terkulai, ambil kembali atensi dari semua lini tempur dan pertahanan, alihkan ke satu kendali penuh, misalnya ke Tim Pemenangan Nasional (TPN), hentikan jebakan "dual focuses" antara Jokowi dan Ganjar, "refocus" kepada Ganjar Pranowo saja, lalu susun ulang strategi tempur. Dan kembali bersiap, seperti tak terjadi apa-apa.

Di satu sisi, PDIP sudah pernah kehilangan orang seperti Budiman Sudjatmiko dan masih tetap berdiri kokoh.

Elektabilitas Ganjar Pranowo tetap bertahan di level yang nyaris stabil. Jadi jika di sisi lain PDIP harus kehilangan lagi, yakni Gibran, jika PDIP bisa tetap dalam posisi siaga tempur dan tetap "fokus" ke Ganjar Pranowo, maka situasinya semestinya juga sama, tetap tidak terpengaruh dan elektabilitas Ganjar Pranowo tetap stabil.

Jadi untuk menanggapi dinamika politik dalam beberapa hari ini terkait dengan Gibran, pesan utama dari saya adalah "Jangan Menangisi Gibran, PDIP!", karena sedari awal sudah tercium bahwa ini pada akhirnya akan terjadi.

Biarkan saja hal itu terjadi, tidak perlu ada sokongan demo, tidak perlu ada tanggapan apapun, biarlah senyap berlalu seperti tak pernah terjadi apa-apa.

Para simpatisan dan anggota koalisi pendukung Ganjar Pranowo harus meniru sikap Megawati Soekarnoputri yang cenderung diam dalam menanggapi dinamika situasi saat ini.

Aksi diam tanpa reaksi, seolah - tidak terjadi apa-apa, perlu dilakukan secara serentak dan bersama-sama.

Sikap diam tersebut harus menjadi sikap resmi dari keseluruhan barisan pendukung Ganjar - Mahfud MD, sebagai bentuk kesetiaan dalam mengikuti komando Megawati Soekarnoputri sebagai pemimpin simbolik kubu Ganjar.

Toh pemilih kita sudah dewasa dan cerdas. Publik akan sangat memahami bahwa kemarahan tertinggi adalah dalam bentuk diam. Jadi, saat inilah waktu yang tepat untuk menunjukkan bahwa "Silent is Golden".

Sikap seperti itu sangat diperlukan saat ini untuk menunjukkan kepada publik bahwa umpan silang yang dilakukan kubu sebelah dan disambut dengan ‘suka cita’ oleh Jokowi dan keluarganya sudah melebihi batas wajar, sudah tidak ada kata-kata yang tepat lagi yang bisa digunakan untuk mereaksinya.

Sehingga, jalan terbaik adalah diam dan membiarkan publik saja yang menilainya.

https://nasional.kompas.com/read/2023/10/22/12580021/tak-perlu-menangisi-gibran-pdip

Terkini Lainnya

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Nasional
Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Nasional
Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Nasional
Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Nasional
Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Nasional
Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Nasional
Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Nasional
Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Nasional
Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Nasional
Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Nasional
Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Nasional
Bawaslu Akui Kesulitan Awasi 'Serangan Fajar', Ini Sebabnya

Bawaslu Akui Kesulitan Awasi "Serangan Fajar", Ini Sebabnya

Nasional
Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke