Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Husen Mony
Dosen

Mengajar Komunikasi Politik & Jurnalistik/Penulis

Menyoal Kemarahan Naratif Kaum Penduga

Kompas.com - 18/10/2023, 08:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa mereka yang belum berusia 40 tahun, tapi pernah atau sedang menjabat kepala daerah boleh mencalonkan diri menjadi calon presiden dan calon wakil presiden, membuat sebagian kaum marah.

Kemarahan itu dimuntahkan melalui berbagai narasi yang tersampaikan di berbagai media, baik media massa maupun media sosial. Pada intinya, kemarahan itu menyasar dua pihak, yaitu MK dan keluarga Jokowi.

Untuk pihak pertama, dalam hal ini MK, kemarahan sebagian kaum itu menjadi beralasan dan dapat diterima.

Sebab, putusan tersebut dipenuhi dengan kejanggalan, baik pada tataran proses lahirnya putusan ataupun substansi putusan.

Sebagaimana yang diungkapkan Saldi Isra, salah satu hakim MK yang turut hadir pada saat pembacaan putusan, hak mengubah undang-undang (terkait usia capres dari minimal 40 tahun menjadi minimal 35 tahun) menjadi ranah legislatif (DPR RI).

Tiga putusan MK yang dibacakan pada pagi hari, merupakan manifestasi dari pandangan MK itu. Namun, sore harinya, keluar putusan MK yang membolehkan siapa saja yang sudah pernah atau sedang menjabat kepala daerah (meski belum berusia 40 tahun) boleh diajukan sebagai bacapres atau bacawapres pada pilpres 2024.

Kemarahan, tentu juga dalam dentuman yang tidak kalah besarnya, dilesatkan ke arah keluarga Jokowi, dalam hal ini sasaran utamanya adalah Gibran dan Jokowi sendiri.

Kemarahan itu, bahkan sudah tersebar ke ruang-ruang publik, jauh hari sebelum putusan MK keluar.

Setidaknya ada empat alasan yang membuat sebagian kaum itu marah, hingga hari ini. Pertama, kecurigaan bahwa Jokowi akan membentuk dinasti politik.

Gejala ini semakin mengental setelah mereka melihat terpilihnya Kaesang Pangarep (putra bungsu Jokowi) sebagai ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Kedua, pinangan dari Prabowo Subianto yang datang berkali-kali untuk menjadikan Gibran Rakabuming sebagai bacawapresnya.

Pinangan ini menjadi problematik karena Gibran sendiri, selain merupakan kader PDI Perjuangan (yang notabene sudah mencalonkan Ganjar Pranowo sebagai capres mereka) umur dan pengalaman politiknya masih “seumur jagung”.

Meminjam istilah Panda Nababan alias Opung Panda (politisi senior PDIP), Gibran disebutnya politisi yang masih “anak ingusan”.

Ketiga, baik Gibran maupun Jokowi sampai hari ini belum atau bahkan tidak pernah mengeluarkan pendapat di hadapan umum bahwa pinangan dari bacapres Partai Gerindra itu, ditolak atau diterima.

Keempat, keberadaan keluarga Jokowi, yakni Anwar Usman, sebagai ketua MK yang menangani perkara judicial review Pasal 169 huruf q, UU No. 7 Tahun 2007 tentang Pemilihan Umum. Dalam hal ini keberadaan ketua MK itu akan menyebabkan conflict of interest, terkait putusan.

Putusan MK yang mengabulkan batas usia di bawah 40 tahun boleh menjadi capres atau bacawapres, asalkan pernah atau sedang menjadi kepala daerah, semakin mengentalkan kemarahan tersebut.

Terlebih lagi, ditengarai, sebagaimana terframing di media, putusan penambahan frasa “pernah atau sedang menjadi kepala daerah” keluar dari ketua MK alias pamannya Gibran.

Kemarahan naratif

Sampai sejauh ini, kemarahan-kemarahan yang muncul, terutama kepada pihak keluarga Jokowi, menyeruak dalam bentuk ekspresi naratif.

Kemarahan itu muncul dalam ragam ekspresi berupa kata-kata makian, hinaan, cacian, ejekan, dan lain sebagainya.

Tidak hanya berupa sindiran terkait politik dinasti, Jokowi dan Gibran diserang dengan penggunaan diksi penghianat, kacang lupa kulit, membunuh demokrasi, menggunakan alat negara untuk kepentingan keluarga, dan lain sebagainya.

Narasi-narasi kemarahan tersebut menjadi headline pemberitaan, trending topik di X, fyp di Tiktok, trending di Youtube, dan menghiasi reel serta berbagai story Instagram.

Narasi kemarahan diproduksi tidak hanya para oposisi, bahkan juga oleh mereka yang selama ini mendukung Jokowi atau mendukung anak dan mantunya (mendukung Gibran di Solo serta Bobby Nasution di Medan).

Narasi kemarahan diproduksi oleh berbagai kalangan, seperti akademisi, praktisi hukum, pegiat demokrasi, insan pers, pegamat politik, tokoh masyarakat, masyarakat, serta tentu saja para politisi.

Tentu masing-masing dari mereka memiliki berbagai motif di balik narasi kemarahan yang mereka produksi dan reproduksi tersebut.

Satu hal yang sama dari semua narasi tentang Gibran dan Jokowi tersebut adalah bahwa mereka mendasarkan argumentasinya pada dugaan-dugaan.

Kenapa saya sebut dugaan karena sampai sejauh ini belum ada yang bisa membuktikan bahwa: pertama, Jokowi merestui anaknya, Gibran, untuk maju menjadi cawapres.

Kedua, Gibran menyatakan secara terbuka bahwa dia akan maju menjadi cawapres (entah itu mendampingi Prabowo seperti santer terdengar atau berpasangan dengan Ganjar, capres dari rumah politiknya).

Ketiga, bukti bahwa Jokowi menyuruh PSI atau para pihak (yang kemarin permohonannya sudah diputuskan MK) untuk melakukan uji materil terkait UU Pemilu.

Keempat, Jokowi atau Gibran menyuruh pamannya, ketua MK, untuk mengabulkan permohan uji materi tersebut agar bisa diberikan jalan untuk berkontestasi di pilpres 2024. Atau paling tidak menyuruh menambahkan frasa “pernah atau sedang menjadi kepala daerah”.

Kelima, Jokowi menyuruh atau menekan hakim-hakim MK lainnya (terutama yang mendukung) agar mengabulkan permohonan uji materi tentang batas usia capres dan cawapres itu.

Faktanya, segala luapan narasi kemarahan yang beberapa hari ini mengemuka dari kaum penduga dari hasil sambung-menyambung potongan-potongan peristiwa.

Bahwa ada potensi kebenaran di dalam sambung-menyambung potongan peristiwa itu, tapi juga tentu ada potensi ketidakbenarannya.

Almas Tsaqibbirru, seorang mahasiswi dan anak muda dari Solo, yang secara kebetulan permohonan uji materinya diterima MK, dikatakan kalau gugatannya itu atas suruhan Jokowi.

Kesimpulan itu muncul hanya karena dia berasal dari Solo, menyatakan kekagumannya pada Gibran, serta ayahnya Boyamin Saiman adalah sahabat Jokowi. Tapi tidak pernah diungkapkan bukti langsung adanya perintah atau suruhan dari Jokowi atau pun Gibran itu.

Ironisnya lagi, kaum penduga berupaya menerka sesuatu yang terjadi di belakang panggung (back stage).

Kaum penduga seolah berupaya memaksakan kehendak bahwa analisa panggung belakang Jokowi dan Gibran (yang sebenarnya hanya Jokowi, Gibran, dan Tuhan-lah yang tahu) sebagai kebenaran dan oleh karenanya publik harus tahu dan publik wajib mendukung.

Alhasil, sebagian publik pun sepertinya berhasil terseret dalam narasi kemarahan kepada Jokowi dan Gibran, oleh karena narasi kaum penduga.

Problem Komunikasi

Narasi kemarahan yang disampaikan oleh kaum penduga merupakan problem komunikasi politik aktual kita.

Betapa tidak narasi yang tercipta tidak hanya belum bisa dibuktikan kebenarannya, tapi sedang dipaksakan bahwa narasi itu benar.

Di sisi lain, bahwa memang ada niatan mulia dibalik narasi kemarahan yang ada, seperti misalnya menegakan kewibawaan MK, menjaga mutu demokrasi, menghindarkan adanya kemungkinan abuse of power, memperjuangkan keadilan, kesetaraan, serta lainnya.

Namun, narasi kemarahan sangat tidak bisa dipisahkan dari situasi politik kandidasi yang makin mendekati hari H.

Artinya, ada aktor-aktor politik yang sedang memancing di air keruh guna mendapatkan keuntungan, terutama insentif elektoral.

Lawan-lawan politik Jokowi dan Gibran atau pihak oposisi sedang mengupayakan peruntungan mereka melalui peristiwa politik ini.

Narasi kemarahan sengaja diproduksi, direproduksi, dan bahkan didistribusikan secara lebih luas untuk kepentingan politik mereka. Dan itu adalah fakta politik yang kerap terjadi, bahkan cenderung ternormalisasi.

Sebagaimana disampaikan oleh Walter R Fisher (1987) melalui teori yang disebutnya Paradigma Naratif, manusia adalah homo narans (makhluk naratif).

Pada posisinya tersebut, manusia lebih meyakini atau terbujuk oleh cerita (narasi) yang bagus ketimbang suatu argumentasi yang logis.

Saya melihat, kaum penduga sedang menyusun cerita yang bagus untuk disuguhkan kepada masyarakat yang kemudian sengaja dipaksakan sebagai kebenaran.

Fisher menyebut kegiatan komunikasi dalam wujud demikian sebagai retorika manipulative, yaitu bahwa komunikasi menjadi alat untuk mencapai tujuan komunikator dengan cara “mempermainkan” perasaan dan emosi komunikan (baca: publik).

Pada akhirnya, lanjut Fisher, narasi dapat diterima kebenaranya harus mengandung apa yang disebutnya sebagai “logika alasan yang baik” (the logic of good reasons); bahwa narasi itu tidak hanya tersusun dari fakta-fakta yang mengandung kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan, tapi juga harus disampaikan oleh orang baik.

Tentu saja, saya tidak sedang menuduh bahwa mereka yang hari ini “menyerang” Jokowi dan Gibran melalui narasi kemarahan, sebagai orang yang tidak baik.

Namun, sulit bagi saya juga untuk menerima mereka yang pendapatnya didasarkan pada dugan-dugaan (dan kemudian diklaim sebagai kebenaran), sebagai orang yang baik.

Pada konteks demikian, tulisan ini hanya bermaksud untuk mengajak semua pihak agar objektif dan fair melakukan penilaian.

Pada akhirnya, mari kita sama-sama mengkiritik Jokowi dan Gibran dengan mendasarkan argumentasi kita pada data dan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ada Jalur Independen, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Gubernur Nonpartai?

Ada Jalur Independen, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Gubernur Nonpartai?

Nasional
PPP: RUU Kementerian Negara Masuk Prolegnas, tetapi Belum Ada Rencana Pembahasan

PPP: RUU Kementerian Negara Masuk Prolegnas, tetapi Belum Ada Rencana Pembahasan

Nasional
Latihan Gabungan, Kapal Perang TNI AL Tenggelamkan Sasaran dengan Rudal Khusus hingga Torpedo

Latihan Gabungan, Kapal Perang TNI AL Tenggelamkan Sasaran dengan Rudal Khusus hingga Torpedo

Nasional
Menag Cek Persiapan Dapur dan Hotel di Madinah untuk Jemaah Indonesia

Menag Cek Persiapan Dapur dan Hotel di Madinah untuk Jemaah Indonesia

Nasional
 Melalui Platform SIMPHONI, Kemenkominfo Gencarkan Pembinaan Pegawai dengan Pola Kolaboratif

Melalui Platform SIMPHONI, Kemenkominfo Gencarkan Pembinaan Pegawai dengan Pola Kolaboratif

Nasional
PPP Anggap Wacana Tambah Menteri Sah-sah Saja, tapi Harus Revisi UU

PPP Anggap Wacana Tambah Menteri Sah-sah Saja, tapi Harus Revisi UU

Nasional
Eks KSAU Ungkap 3 Tantangan Terkait Sistem Pertahanan Udara Indonesia

Eks KSAU Ungkap 3 Tantangan Terkait Sistem Pertahanan Udara Indonesia

Nasional
Mayoritas Provinsi Minim Cagub Independen, Pakar: Syaratnya Cukup Berat

Mayoritas Provinsi Minim Cagub Independen, Pakar: Syaratnya Cukup Berat

Nasional
Soal Gagasan Penambahan Kementerian, 3 Kementerian Koordinator Disebut Cukup

Soal Gagasan Penambahan Kementerian, 3 Kementerian Koordinator Disebut Cukup

Nasional
 Belum Diatur Konstitusi, Wilayah Kedaulatan Udara Indonesia Dinilai Masih Lemah,

Belum Diatur Konstitusi, Wilayah Kedaulatan Udara Indonesia Dinilai Masih Lemah,

Nasional
PAN Setia Beri Dukungan Selama 15 Tahun, Prabowo: Kesetiaan Dibalas dengan Kesetiaan

PAN Setia Beri Dukungan Selama 15 Tahun, Prabowo: Kesetiaan Dibalas dengan Kesetiaan

Nasional
PAN Setia Dukung Prabowo Selama 15 Tahun, Zulhas: Ada Kesamaan Visi dan Cita-cita

PAN Setia Dukung Prabowo Selama 15 Tahun, Zulhas: Ada Kesamaan Visi dan Cita-cita

Nasional
Koalisi Vs Oposisi: Mana Cara Sehat Berdemokrasi?

Koalisi Vs Oposisi: Mana Cara Sehat Berdemokrasi?

Nasional
Pansel Capim KPK Diminta Tak Buat Kuota Pimpinan KPK Harus Ada Unsur Kejaksaan atau Kepolisian

Pansel Capim KPK Diminta Tak Buat Kuota Pimpinan KPK Harus Ada Unsur Kejaksaan atau Kepolisian

Nasional
Berkaca dari Kasus Firli, Pansel Capim KPK Diminta Lebih Dengarkan Masukan Masyarakat

Berkaca dari Kasus Firli, Pansel Capim KPK Diminta Lebih Dengarkan Masukan Masyarakat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com