Lima hakim yang mengabulkan sebagian gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 itu pun sebetulnya tidak kompak. Ketua MK Anwar Usman, Guntur Hamzah, Manahan Sitompul, berbeda alasan dengan Daniel Foekh dalam menyepakati putusan yang sama.
Anwar, Guntur, dan Manahan Sitompul tak memberi batasan sejauh mana kepala daerah bisa menjadi capres-cawapres. Sementara Daniel menilai bahwa hanya gubernur yang memenuhi syarat konstitusional untuk maju capres-cawapres.
Keempatnya juga beda alasan dengan hakim Enny Nurbaningsih dalam menyepakati putusan yang sama. Senada dengan Daniel, Enny menilai bahwa hanya gubernur yang memenuhi syarat konstitusional untuk maju capres-cawapres.
Baca juga: Nilai Putusan MK Problematik, Yusril Sarankan Gibran Tak Maju Cawapres
Namun, tak semua gubernur memenuhinya. DPR dan pemerintah perlu mengatur lebih jauh kriteria gubernur tertentu yang layak maju sebagai capres-cawapres.
"Merujuk penjelasan di atas, pilihan jabatan publik berupa elected official termasuk pemilihan kepala daerah, kelimanya berada pada titik singgung atau titik arsir jabatan gubernur. Oleh karena itu, seharusnya amar putusan lima hakim konstitusi yang berada dalam gerbong 'mengabulkan sebagian' adalah jabatan gubernur," kata Saldi.
Hakim konstitusi lainnya, Arief Hidayat, turut menyatakan kejanggalan atas putusan MK tersebut.
Ia sempat menyatakan merasakan adanya kosmologi negatif dan keganjilan pada lima perkara a quo yang ditangani MK soal batas usia capres dan cawapres. Keganjilan ini perlu dia sampaikan karena mengusik hati nuraninya.
Soal waktu sidang, misalnya, beberapa perkara harus memakan waktu hingga 2 bulan, yaitu pada perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang ditolak MK, dan 1 bulan pada perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 yang juga ditolak MK.
Baca juga: Sempat Ungkit Mahkamah Keluarga, PKS Kini Enggan Kritisi Putusan MK soal Batas Usia Capres-Cawapres
Oleh karena itu, ia mengusulkan agar Mahkamah menetapkan tenggang waktu yang wajar antara sidang perbaikan permohonan dengan pemeriksaan persidangan untuk mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah.
Dengan begitu, peristiwa seperti ini tidak akan terjadi lagi di kemudian hari.
"Perbaikan ini dilakukan dengan menyempurnakan hukum acara perkara pengujian undang-undang," tutur dia.
Keganjilan lainnya adalah turut sertanya Ketua MK Anwar Usman, yang merupakan ipar Presiden Joko Widodo atas salah satu perkara yang berakhir dikabulkan MK.
Padahal, dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) pada Selasa (19/9/2023), tiga perkara yang akhirnya ditolak MK, Perkara Nomor 29PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023, Ketua MK Anwar Usman tidak hadir.
Saat itu, RPH dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dan Arief menanyakan alasan Anwar Usman tidak hadir.
Baca juga: Gibran Akan Dipanggil PDI-P Setelah Putusan MK, Ini Kata Ganjar
Saldi Isra lantas menyatakan, ketidakhadiran Anwar Usman bertujuan untuk menghindari potensi konflik kepentingan karena isu yang diputus berkaitan dengan syarat usia minimal capres dan cawapres di mana keponakannya dan putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, berpotensi diusulkan dalam Pilpres 2024.
Akhirnya, tiga perkara tersebut diputuskan untuk ditolak. Namun saat memutus dua perkara lain yang salah satunya berujung diputus inkonstitusional bersyarat, Ketua MK hadir.
"Ketua malahan ikut membahas dan memutus kedua perkara a quo dan khusus untuk Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 diputus dengan amar "dikabulkan sebagian". Sungguh tindakan yang menurut saya di luar nalar yang bisa diterima dengan penalaran yang wajar," ucap Arief.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.