Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ragam Kejanggalan Putusan MK Soal Batas Usia Capres-Cawapres

Kompas.com - 17/10/2023, 21:07 WIB
Fika Nurul Ulya,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kejanggalan demi kejanggalan disebutkan satu per satu oleh hakim konstitusi dalam menyampaikan pandangan berbeda (dissenting opinion) ketika Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 pada Senin (16/10/2023).

Melalui putusan tersebut, MK membolehkan orang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.

Padahal, tiga putusan sebelumnya di hari yang sama, MK menolak seluruhnya tiga gugatan terkait perkara batas usia capres dan cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun.

MK secara eksplisit, lugas, dan tegas, menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7 Nomor 2017 adalah wewenang pembentukan undang-undang untuk mengubahnya.

Baca juga: Pimpinan Komisi II: Kemungkinan Besar Mekanisme Perubahan UU Pemilu Imbas Putusan MK Ditempuh Lewat Perppu

 

Bahkan, dalam dissenting opinion yang disampaikan Saldi Isra, ia mengaku bingung bagaimana bisa MK mengubah putusan dengan cepat dan sekelebat.

"Baru kali ini saya mengalami peristiwa "aneh" yang "luar biasa" dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar. Sadar atau tidak, ketiga putusan (tadi pagi) tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang," ucap Saldi.

Sejatinya, kata Saldi, MK memang pernah berubah pendirian atas putusan sebelumnya.

Namun, perubahan tak sekadar mengenyampingkan putusan sebelumnya, serta didasarkan pada argumentasi yang sangat kuat setelah mendapatkan fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat.

"Pertanyaannya, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga Mahkamah mengubah pendiriannya dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam Putusan a quo?" tanya Saldi.

Baca juga: Tanggapi Putusan MK, Alissa Wahid Berharap Jokowi Cegah Gibran Jadi Cawapres

Terlalu bernafsu

Dalam pertimbangannya, Saldi menyebut sebagian hakim Mahkamah Konstitusi (MK) terkesan berpacu dengan waktu terhadap tahapan pemilu.

Saldi bahkan menuding mereka terlalu bernafsu untuk sesegera mungkin memutus perkara yang digugat tersebut.

Ketika dalam proses pembahasan di tingkat rapat permusyawaratan hakim (RPH), terjadi perdebatan yang menyita waktu di antara hakim konstitusi. Perdebatan ini terjadi lantaran belum ditemukannya titik terang mengenai amar putusan yang akan diambil dalam perkara ini.

Baca juga: Tanggapi Putusan MK, Kaesang: Mungkin Buat Pak Wali Kota Solo “Nyawapres”

Karena perdebatan inilah, terdapat hakim konstitusi yang mengusulkan supaya pembahasan perkara ini ditunda. Hakim tersebut juga mengingatkan agar tidak perlu terburu-buru serta perlu dimatangkan kembali dalam memilih amar putusan.

Akan tetapi, sebagian hakim konstitusi justru tetap dengan keyakinannya atas pilihan amar putusannya.

"Sekalipun RPH ditunda dan berlangsung lebih lama, bagi Hakim yang mengusulkan ditunda, hal tersebut tidak akan menunda dan mengganggu tahapan penyelenggaraan pemilihan, in casu tahapan pemilihan umum presiden dan wakil presiden," imbuh dia.

Hakim lain tak kompak

Lima hakim yang mengabulkan sebagian gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 itu pun sebetulnya tidak kompak. Ketua MK Anwar Usman, Guntur Hamzah, Manahan Sitompul, berbeda alasan dengan Daniel Foekh dalam menyepakati putusan yang sama.

Anwar, Guntur, dan Manahan Sitompul tak memberi batasan sejauh mana kepala daerah bisa menjadi capres-cawapres. Sementara Daniel menilai bahwa hanya gubernur yang memenuhi syarat konstitusional untuk maju capres-cawapres.

Keempatnya juga beda alasan dengan hakim Enny Nurbaningsih dalam menyepakati putusan yang sama. Senada dengan Daniel, Enny menilai bahwa hanya gubernur yang memenuhi syarat konstitusional untuk maju capres-cawapres.

Baca juga: Nilai Putusan MK Problematik, Yusril Sarankan Gibran Tak Maju Cawapres

 

Namun, tak semua gubernur memenuhinya. DPR dan pemerintah perlu mengatur lebih jauh kriteria gubernur tertentu yang layak maju sebagai capres-cawapres.

"Merujuk penjelasan di atas, pilihan jabatan publik berupa elected official termasuk pemilihan kepala daerah, kelimanya berada pada titik singgung atau titik arsir jabatan gubernur. Oleh karena itu, seharusnya amar putusan lima hakim konstitusi yang berada dalam gerbong 'mengabulkan sebagian' adalah jabatan gubernur," kata Saldi.

Penjadwalan sidang terkesan lama

Hakim konstitusi lainnya, Arief Hidayat, turut menyatakan kejanggalan atas putusan MK tersebut.

Ia sempat menyatakan merasakan adanya kosmologi negatif dan keganjilan pada lima perkara a quo yang ditangani MK soal batas usia capres dan cawapres. Keganjilan ini perlu dia sampaikan karena mengusik hati nuraninya.

Soal waktu sidang, misalnya, beberapa perkara harus memakan waktu hingga 2 bulan, yaitu pada perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang ditolak MK, dan 1 bulan pada perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 yang juga ditolak MK.

Baca juga: Sempat Ungkit Mahkamah Keluarga, PKS Kini Enggan Kritisi Putusan MK soal Batas Usia Capres-Cawapres

 

Oleh karena itu, ia mengusulkan agar Mahkamah menetapkan tenggang waktu yang wajar antara sidang perbaikan permohonan dengan pemeriksaan persidangan untuk mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah.

Dengan begitu, peristiwa seperti ini tidak akan terjadi lagi di kemudian hari.

"Perbaikan ini dilakukan dengan menyempurnakan hukum acara perkara pengujian undang-undang," tutur dia.

Keterlibatan sang paman

Keganjilan lainnya adalah turut sertanya Ketua MK Anwar Usman, yang merupakan ipar Presiden Joko Widodo atas salah satu perkara yang berakhir dikabulkan MK.

Padahal, dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) pada Selasa (19/9/2023), tiga perkara yang akhirnya ditolak MK, Perkara Nomor 29PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023, Ketua MK Anwar Usman tidak hadir.

Saat itu, RPH dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dan Arief menanyakan alasan Anwar Usman tidak hadir.

Baca juga: Gibran Akan Dipanggil PDI-P Setelah Putusan MK, Ini Kata Ganjar

 

Saldi Isra lantas menyatakan, ketidakhadiran Anwar Usman bertujuan untuk menghindari potensi konflik kepentingan karena isu yang diputus berkaitan dengan syarat usia minimal capres dan cawapres di mana keponakannya dan putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, berpotensi diusulkan dalam Pilpres 2024.

Akhirnya, tiga perkara tersebut diputuskan untuk ditolak. Namun saat memutus dua perkara lain yang salah satunya berujung diputus inkonstitusional bersyarat, Ketua MK hadir.

"Ketua malahan ikut membahas dan memutus kedua perkara a quo dan khusus untuk Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 diputus dengan amar "dikabulkan sebagian". Sungguh tindakan yang menurut saya di luar nalar yang bisa diterima dengan penalaran yang wajar," ucap Arief.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Ketika Megawati Ungkap Isi Curhatnya pada Andika Perkasa soal TNI...

Ketika Megawati Ungkap Isi Curhatnya pada Andika Perkasa soal TNI...

Nasional
Jokowi Bagikan Sembako di Yogyakarta Saat PDI-P Gelar Rakernas di Jakarta

Jokowi Bagikan Sembako di Yogyakarta Saat PDI-P Gelar Rakernas di Jakarta

Nasional
Ganjar Yakin PDI-P Bakal Rumuskan Sikap Politik terhadap Pemerintahan Prabowo-Gibran di Rakernas Kali Ini

Ganjar Yakin PDI-P Bakal Rumuskan Sikap Politik terhadap Pemerintahan Prabowo-Gibran di Rakernas Kali Ini

Nasional
PAN Tak Mau Partai Baru Gabung Prabowo Dapat 3 Menteri, PKB: Jangan Baper

PAN Tak Mau Partai Baru Gabung Prabowo Dapat 3 Menteri, PKB: Jangan Baper

Nasional
Prananda Tak Hadir Pembukaan Rakernas V PDI-P, Ada Apa?

Prananda Tak Hadir Pembukaan Rakernas V PDI-P, Ada Apa?

Nasional
Soal Ganjar, Megawati: Belum Dipensiunkan, Terus Berjuang

Soal Ganjar, Megawati: Belum Dipensiunkan, Terus Berjuang

Nasional
Upaya PDI-P Agar Kader Berprestasi Tak Dibajak Partai Lain Saat Pilkada: Beri Surat Tugas

Upaya PDI-P Agar Kader Berprestasi Tak Dibajak Partai Lain Saat Pilkada: Beri Surat Tugas

Nasional
Megawati: Tidak Ada Koalisi dan Oposisi, Sistem Kita Presidensial

Megawati: Tidak Ada Koalisi dan Oposisi, Sistem Kita Presidensial

Nasional
Hari Ke-13 Keberangkatan Calon Haji RI, 85.782 Jemaah Tiba di Saudi, 10 Orang Wafat

Hari Ke-13 Keberangkatan Calon Haji RI, 85.782 Jemaah Tiba di Saudi, 10 Orang Wafat

Nasional
Ditanya Alasan Ganjar-Mahfud Kalah, Megawati: Tanya Sama yang Bikin TSM

Ditanya Alasan Ganjar-Mahfud Kalah, Megawati: Tanya Sama yang Bikin TSM

Nasional
Ganjar Akan Bantu Kepala Daerah PDI-P di Pilkada 2024

Ganjar Akan Bantu Kepala Daerah PDI-P di Pilkada 2024

Nasional
Diwarnai Keterlambatan, Kloter Terakhir Gelombang Pertama Jemaah Haji Tiba di Madinah

Diwarnai Keterlambatan, Kloter Terakhir Gelombang Pertama Jemaah Haji Tiba di Madinah

Nasional
Andika Perkasa Siap Jika Diperintah PDI-P Maju Pilkada Jakarta

Andika Perkasa Siap Jika Diperintah PDI-P Maju Pilkada Jakarta

Nasional
Kata Megawati soal Sikap PDI-P Terhadap Pemerintahan ke Depan

Kata Megawati soal Sikap PDI-P Terhadap Pemerintahan ke Depan

Nasional
Pengamat Nilai Megawati Dukung Puan Jadi Calon Ketum PDI-P

Pengamat Nilai Megawati Dukung Puan Jadi Calon Ketum PDI-P

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com